SIANG itu Jalan K.H. Mas Mansur di Tanah Abang, Jakarta Pusat,
lega. Hanya 5 becak yang mangkal di pinggir jalan. Biasanya
jalan ini sesak oleh si roda tiga yang mencari nafkah. "Saya
tidak takut dioperasi sebab becak saya pakai pening. Jadi
resmi," kata Paimo, 38 tahun, pengendara becak asal Wonogiri,
Ja-Teng.
Minggu lalu, selama 5 hari, dilancarkan operasi penertiban becak
secara serentak dan menyeluruh di 5 wilayah DKI. Yang digaruk
hanya becak-becak liar atau becak resmi yang melangga. DBB
(daerah bebas becak). Operasi yang berlangsung pagi sampai sore
ini merupakan pelaksanaan dari SK Gubernur tanggal 1 Februari
lalu.
Khawatir terjaring operasi, banyak pengusaha kabarnya telah
mengungsikan becaknya ke luar kota. Sampai Selasa minggu lalu,
sehari sebelum operasi, masih banyak truk mengangkut becak ke
Bekasi, Karawang, Bogor, dan Tangerang. Ada pula yang menuju
Tegal atau Tasikmalaya.
Menurut Gubernur Soeprapto, penertiban kali ini merupakan
prioritas dari kebijaksanaan penertiban ibu kota secara
menyeluruh. "Seperti halnya kaki lima, becak-becak liar ini
kalau dibiarkan akan merajalela," katanya kepada TEMPO. Akan
halnya si tukang becaknya sendiri, menurut Gubernur, "bisa
disalurkan ke profesi lain."
Ia tak menjelaskan secara terperinci profesi yang kiranya cocok
buat si abang becak yang tergolong tenaga kasar itu. Tapi,
katanya, "mereka itu lebih dari 95% tenaga musiman, bukan
penduduk Jakarta. Kalau mau pulang kita pulangkan, kalau masih
mau menarik becak di Jakarta harus menarik becak yang resmi.
Tapi lebih baik mereka disalurkan setelah dilatih keterampilan
pertukangan, misalnya. Atau bertransmigrasi."
Menurut laporan Biro Ketertiban DKI, 27 April 1983, jumlah
seluruh becak di DKI sekitar 40.000 buah, 80% di antaranya liar.
Tetapi sampai hari terakhir operasi, Senin minggu ini, dari
sekitar 32.000 yang liar hanya sekitar 6,5% yang terjaring.
Menurut kepala Urusan Kamtib Jakarta Pusat, T.A. Manurung,
sehari rata-rata hanya bisa diciduk 20-30 becak, padahal
targetnya 200 becak. Becak yang terjebak operasi itu ditampung
di Gudang Induk DKI Jalan Pemuda, Jakarta Timur.
Untuk memperketat hak hidup si roda tiga, Dinas Pajak tidak lagi
mengeluarkan Surat Keterangan Pemilikan (SKP) atas becak baru,
sementara SKP yang kadaluwarsa tidak akan diperpanjang. Selain
itu pengawasan terhadap perusahaan komponen becak juga
ditingkatkan dan perusahaan perakitan becak yang baru akan
ditutup. Sementara itu akan dicegah masuknya becak dari luar
kota ke DKI.
A. Soesdarjono, kepala Biro Ketertiban DKI mengusulkan kepada
gubernur agar membagi jatah becak resmi untuk masing-masing
wilayah Jakarta Pusat, misalnya, hanya 750 buah, sedang wilayah
lain a 1.000 lebih. Hal ini tampaknya demi "ketertiban", namun
belum tentu membantu kebutuhan masyarakat akan alat transpor
yang mudah dan murah. Banyak ibu rumah tangga yang kini mengeluh
karena mengalami kesulitan berbelanja ke pasar.
Sebagian pengusaha becak sebenarnya mengerti kebijaksanaan ini.
Misalnya Tohayuhana, 59 tahun, ketua Korps Karyawan Angkutan
Becak Indonesia (Kokarbi) Jakarta Pusat. "Hanya saya
menyayangkan mengapa operasi dilancarkan pada tahun ajaran baru,
dan menjelang puasa," kata pensiunan prajurit TNI-AD itu. "Kan
banyak tukang becak yang ingin memasukkan sekolah anaknya atau
menyambut Lebaran."
Penerangan mengenai akan dilancarkannya operasi becak agaknya
masih kurang merata, meskipun jauh hari sudah disebarluaskan.
Salah seorang pimpinan Kopat (Korps Kendaraan Jenis Keempat) di
Jakarta Pusat, misalnya, ada yang mengeluh tidak diberi
kesempatan bertanya hendak dibawa ke mana becaknya. Beberapa
tukang becak juga ada yang belum paham, hingga hampir saja
timbul insiden.
Pada hari kedua operasi, 100 lebih tukang becak "menyandera" 2
truk di kawasan Cijantung. Mereka bermaksud menemui Walikota
Jakarta Timur, Sabeni Efendi. Sampai di Kramat Jati sebuah truk
dihadang petugas. Yang lain lolos tapi berhasil digiring ke
halaman Kodim 0505. Setelah diberi penjelasan, mereka mengerti.
Tapi dari 128 tukang becak, hanya 80 yang bersedia dipulangkan
ke kampung asal mereka. Yang lain ingin tetap mencari nafkah di
Jakarta -- dan tak seorang pun mengacungkan tangan bersedia
bertransmigrasi.
Tukirman, 46 tahun, asal Kuningan, terjaring di dekat Pasar
Genjing, Kemayoran. Bapak 2 anak ini sudah 20 tahun mengadu
nasib di Jakarta. Sedang istrinya menggarap sepotong tanah
warisan di kampung seluas 300 bata. "Sebulan saya bisa dapat Rp
30.000," katanya. Ia bertekad tetap narik. "Berjualan di kaki
lima kan modalnya harus banyak. Jadi kuli bangunan, masuknya
juga susah. Dan sering tidak dibayar. Mandornya suka lari,"
katanya lagi sambil mengusap jidatnya dengan handuk kecil yang
dekil.
Memang di masa sulit pekerjaan seperti sekarang, menarik becak
atau berjualan di pinggir jalan, setidaknya bisa mengurangi
beban pengangguran, yang setiap tahun terus bertambah. Lagi
pula, seperti kata seorang pengamat sosial, "menggusur abang
becak tidak memecahkan persoalan penyaluran kerja, kecuali
sekadar penertiban."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini