MINGGU sore itu ia muncul tanpa jas. Mengenakan celana kelabu
dan kemeja putih lengan panjang dengan dasi abu-abu berbintik
merah, Perdana Menteri Australia Bob Hawke mungkin merupakan
kepala pemenntahan asing pertama yang mengadakan pertemuan pers
di Wisma Negara dengan begitu informal.
Itu memang watak Hawke, pemimpin Partai Buruh Australia yang
dalam pemilu bulan Maret lalu secara mengejutkan mengalahkan PM
Malcolm Fraser. Dengan santai dan terbuka, ia menjawab
pertanyaan para wartawan. Empat jam setelah konperensi pers itu,
Hawke mengakhiri kunjungan tiga harinya di Jakarta, yang dimulai
Jumat sore pekan lalu.
Kebanyakan pertanyaan wartawan berkisar mengenai sikap Australia
tentang Timor Timur. Ini bisa dimengerti. Dalam tujuh tahun
terakhir, masalah Tim-Tim bagaikan awan gelap yang memayungi
hubungan Indonesia-Australia. Dan Hawke, setelah berkuasa,
tampaknya berusaha menghembus bersih mendung itu.
Itu tampak tatkala dalam jamuan makan malam di Istana Negara,
Sabtu malam, Hawke mengatakan bahwa perkembangan di Tim-Tim pada
akhir 1976 dan 1977 menandai kemunduran dalam hubungan kedua
negara. "Namun saya percaya pada kemampuan kita untuk memecahkan
perbedaan (pendapat) tersebut, dan meninggalkannya di belakang,
hingga tidak lagi merintangi hubungan penting kita di masa
mendatang," katanya.
"Australia," lanjut Hawke, "menerima dan ingin mendorong
usaha-usaha yang telah dilakukan pemerintah Indonesia untuk
memperbaiki hubungan, dan untuk meningkatkan taraf hidup rakyat
Timor Timur setelah berabad-abad dijajah." Hawke kemudian
menjanjikan sumbangan Australia sebesar US$1,5 juta pada program
Palang Merah Internasional dan organisasi bantuan internasional
Unicef bagi Tim-Tim.
Dalam konperensi persnya, Hawke ternyata tak beranjak dari
pernyataan Menlu Bill Hayden sewaktu berkunjung ke sini April
lalu. "Sebagaimana dikatakan Hayden kami menerima apa yang
terjadi dan keadaan sekarang (di Timor Timur). Tapi setelah
menerima fakta ini, kami menyatakan penyesalan yang mendalam
karena belum adanya tindak penentuan nasib sendiri rakyat Timor
Timur yang diakui kalangan internasional."
Mengenai rencana kunjungan misi parlemen Australia ke Timor
Timur Juli mendatang, Hawke berharap agar kunjungan itu akan
dapat menambah pengertian tentang apa yang terjadi di Tim-Tim,
dan membuat penilaian tentang upaya memaukan kepentingan
masyarakat di sana. "Mudah-mudahan suatu perdebatan dapat
dilangsungkan (di Australia), yang akan mengarah pada sikap
pemerintah Australia dalam sidang umum PBB mengenai masalah
ini," ujar Hawke.
Pernyataan Hawke itu ternyata mengundang tanggapan yang keras di
negaranya sendiri. Ken Fry, anggota Parlemen dari Canberra yang
tergolong sayap kiri Partai Buruh, mengatakan,
"pernyataan-pernyataan Hawke di Jakarta merupakan penjauhan dari
kebijaksanaan partai." Fraksi-fraksi dalam Partai Buruh,
katanya, dapat terpecah akibat pernyataan itu.
Partai Buruh, sebelum memenangkan pemilu, memang mempunyai
kebijaksanaan yang "keras" terhadap masalah Tim-Tim. Mereka
tidak mengakui penggabungan Timor Timur pada Indonesia dan
menuntut dilaksanakannya hak menentukan nasib sendiri oleh
rakyat Tim-Tim. Namun setelah berkuasa, PM Hawke dan Menlu
Hayden tampaknya menganggap keputusan itu menyulitkan posisi
pemerintah yang berkuasa. Dan ingin mengubahnya.
Itu jelas kelihatan dalam serangkaian wawancaranya sebelum
meninggalkan Australia pekan lalu. Hawke, misalnya, mengatakan:
kebijaksanaan yang diambil dalam konperensi Partai Buruh tahun
lalu itu, "diputuskan pada saat tertentu." Karenanya "kita harus
mendasarkan pembicaraan pada (kenyataan) sekarang dan
kemungkinan masa mendatang." Ditambahkannya lagi, "jika Anda
menolak mempunyai hubungan normal dengan suatu negara
semata-mata karena tidak bisa sepenuhnya menerima tindakannya
pada suatu waktu, saya dapat mengatakan, Australia hanya akan
punya hubungan dengan sedikit negara di dunia."
Kecaman pada Hawke, seperti dilaporkan koresponden TEMPO di
Canberra, Zulaekha Chudori, juga datang dari George Preston,
ketua Perkumpulan Australia-Timor Timur. Hari Minggu lalu, lewat
radio dan televisi, ia menyatakan mendukung kebijaksanaan Partai
Buruh mengenai Tim-Tim, tapi bukan "oposisi yang diambil Hawke
di Jakarta." Ia, lagi-lagi, juga memperingatkan adanya ancaman
agresi Indonesia ke Papua Nugini. Kecemasan yang sama juga
diutarakan oleh Senator Mason, juru bicara urusan luar negeri
Partai Demokrat Australia.
Namun ada juga yang mendukung Hawke. Pemimpin oposisi Andrew
Peacock yang semasa pemerintahan Fraser pernah menjabat menlu
dan beberapa kaii mengunjungi Indonesia, Senin malam lalu
mengatakan, pada prinsipnya ia mendukung pernyataan Hawke. Toh
ia mengecam Partai Buruh. "Seharusnya mereka sudah berunding
dahulu tentang kebijaksanaan luar negerinya sebelum perjalanan
Hawke ke manca negara," ujarnya.
Beberapa koran berpengaruh di Australia juga memberi reaksi
mendukung pernyataan Hawke. Mereka menyatakan, tidak ada
alternatif lain yang bisa dilakukan. "Ini adalah jalan yang
realistis," tulis koran-koran itu. "Kita harus menerima
kenyataan bahwa Australia telah gagal untuk secara efektif
mendukung diadakannya penentuan nasib sendiri bagi rakyat Timor
Timur."
Tampaknya setelah kunjungan 18 harinya ke Port Moresby, Jakarta,
Washington, Paris, dan Toronto, Hawke harus bersiap menghadapi
kemungkinan retaknya partainya.
Buat Indonesia, sikap Australia dalam Sidang Umum PBB Oktober
nanti dianggap sangat penting. Menlu Mochtar Kusumaatmadja dalam
wawancaranya dengan Radio ABC pekan lalu mengatakan: Selama tiga
tahun berturut-turut dalam perdebatan mengenai masalah Tim-Tim
di SU PBB, Australia selalu mendukung Indonesia. "Jika sikap
Australia berubah, perubahan itu secara keseluruhan mempunyai
arti yang sangat dalam, terutama karena Australia adalah negara
tetangga terdekat Indonesia," ujar Mochtar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini