ILMU bisa juga melahirkan takhyul. Kalau tak percaya, ikutilah
perdebatan di bawah ini, tentang bagaimana Anda tahu bahwa bumi
berbentuk bundar.
A: "Dari mana kau tahu bumi berbentuk seperti bola?"
B: "Ah, mudah saja. Coba kita berdiri di tepi pantai. Jika hari
cerah, di kaki langit akan dapat kau lihat tiang atau cerobong
kapal -- sementara kapalnya sendiri tak nampak."
A: "Apa artinya itu?"
B: "Itu artinya permukaan bumi tidak rata seperti meja, tapi
melengkung cembung. Seperti permukaan bola. Mosok begitu saja
tidak tahu?"
A: "Ya tahu. Tapi itu kan belum membuktikan bahwa bumi berbentuk
bundar seperti bola. Mungkin saja bentuknya lonjong, seperti
telur ayam."
B: "Telur-ayam-mu ! Coba saja lihat bulan dan matahari. Kan
tidak seperti telur ayam?"
A: "Memang tidak. Tapi dari mana kau tahu mereka berbentuk
seperti bola? Jika dilihat sehari-hari, bisa saja mereka
berbentuk seperti piring, kan?"
B: "Wah, ketinggalan zaman!"
A: "Lagi pula, kalau pun bulan dan matahari berbentuk bola, apa
bumi juga harus seperti itu?"
B: "Ah, kok maunya debat kusir terus. Pernah lihat gerhana bulan
apa tidak? Nah, bayangan yang menutupi bulan itu adalah bayangan
bumi. Dan bentuknya bulat. Kalau tidak, bulan itu tidak akan
tertutup, dan gerhana tak akan terjadi . . . "
A: "Lho, dari mana kau tahu bahwa gerhana bulan terjadi
gara-gara bayangan bumi ?"
B: "Memangnya kamu tidak pernah belajar di sekolah? Kan soal ini
sudah banyak dibicarakan para ahli astronomi?"
A: "Itulah justru soalnya. Kamu cuma mengamini para ahli
astronomi. Kamu cuma menelan kata-kata guru ilmu falak. Kamu
sendiri tak pernah membuktikan -- bahkan ingin membuktikan
sendiri pun tidak pernah."
B: "Oke-lah. Tapi apa salahnya menyetujui pendapat para ahli
astronomi? Mereka kan sudah menyelidiki, menghitung,
memperdebatkan. Mereka juga sudah membuktikan keahlian mereka,
misalnya dengan tepat meramal saat gerhana. Itu artinya
pendapat mereka tentang tata surya bisa diandalkan. Jadi kalau
mereka bilang bumi bulat seperti bola, pasti mereka titak
main-main."
Debat itu bisa diperpanjang, tapi rasanya tak perlu benar.
Diadaptasikan dari sebuah esei kecil George Orwell di akhir
tahun 1946, beberapa bagian argumentasinya kini mungkin terasa
lapuk. Namun pada dasarnya Orwell bukan hendak mempersoalkan
bundarnya bumi. Ia hendak membicarakan sesuatu yang lain:
bagaimana kita -- dengan segala bantuan para ahli ilmu --
sebenarnya belum beranjak dari sikap puak-puak purba.
George Bernard Shaw, konon dalam kata pengantar buat lakonnya
tentang Joan d'Arc yang dihukum bakar karena dianggap tukang
sihir, mengatakan sesuatu yang mengagetkan: manusia, di abad
ini, sebenarnya lebih bertakhyul ketimbang orang Abad Tengah.
Bukankah kebanyakan orang cuma percaya begitu saja bahwa bumi
berbentuk bulat, tanpa pernah bisa mengajukan alasannya sendiri
untuk menopang statemen itu?
Berlebih-lebihan, tentu. Namun betapa sering kita pada akhirnya
memang hanya bisa bersandar pada pendapat para ahli. Kian
majemuk suatu cabang ilmu, kian bengong pula kita di hadapannya.
Lalu kita pun jadi makmun, di belakang, mengikut. Kita amin
ketika para ahli bilang ada energi di korona matahari, ada DNA
di sel-sel kita, dan ada cadanan devisa yang cukup di suatu
tempat. Kita bahkan percaya bahwa Gajah Mada berwajah tembem,
seperti diputuskan Muhammad Yamin.
Sebagian besar pengetahuan kita agaknya memang berada di tingkat
itu: tidak berdasar pada penalaran ataupun eksperimen,
melainkan, seperti dikatakan Orwell, pada "otoritas".
Dan ketika segala gelar disebut dan stempel keahlian sudah
diterakan, ilmu pun tak lagi dilihat sebagai proses, melainkan
sabda. Kekuasaan semakin besar, maka semakin besar pula
kemungkinannya untuk menggampangkan, memandekkan, menjustai.
Kemudian lahirlah takhyul.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini