Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Takhyul manusia modern

Ada yang mengatakan manusia pada abad ini lebih bertakhyul dibanding orang abad tengah. kita selalu percaya pada apa yang dikatakan para ahli tanpa ingin membuktikannya. ilmu dilihat sebagai sabda.

11 Juni 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ILMU bisa juga melahirkan takhyul. Kalau tak percaya, ikutilah perdebatan di bawah ini, tentang bagaimana Anda tahu bahwa bumi berbentuk bundar. A: "Dari mana kau tahu bumi berbentuk seperti bola?" B: "Ah, mudah saja. Coba kita berdiri di tepi pantai. Jika hari cerah, di kaki langit akan dapat kau lihat tiang atau cerobong kapal -- sementara kapalnya sendiri tak nampak." A: "Apa artinya itu?" B: "Itu artinya permukaan bumi tidak rata seperti meja, tapi melengkung cembung. Seperti permukaan bola. Mosok begitu saja tidak tahu?" A: "Ya tahu. Tapi itu kan belum membuktikan bahwa bumi berbentuk bundar seperti bola. Mungkin saja bentuknya lonjong, seperti telur ayam." B: "Telur-ayam-mu ! Coba saja lihat bulan dan matahari. Kan tidak seperti telur ayam?" A: "Memang tidak. Tapi dari mana kau tahu mereka berbentuk seperti bola? Jika dilihat sehari-hari, bisa saja mereka berbentuk seperti piring, kan?" B: "Wah, ketinggalan zaman!" A: "Lagi pula, kalau pun bulan dan matahari berbentuk bola, apa bumi juga harus seperti itu?" B: "Ah, kok maunya debat kusir terus. Pernah lihat gerhana bulan apa tidak? Nah, bayangan yang menutupi bulan itu adalah bayangan bumi. Dan bentuknya bulat. Kalau tidak, bulan itu tidak akan tertutup, dan gerhana tak akan terjadi . . . " A: "Lho, dari mana kau tahu bahwa gerhana bulan terjadi gara-gara bayangan bumi ?" B: "Memangnya kamu tidak pernah belajar di sekolah? Kan soal ini sudah banyak dibicarakan para ahli astronomi?" A: "Itulah justru soalnya. Kamu cuma mengamini para ahli astronomi. Kamu cuma menelan kata-kata guru ilmu falak. Kamu sendiri tak pernah membuktikan -- bahkan ingin membuktikan sendiri pun tidak pernah." B: "Oke-lah. Tapi apa salahnya menyetujui pendapat para ahli astronomi? Mereka kan sudah menyelidiki, menghitung, memperdebatkan. Mereka juga sudah membuktikan keahlian mereka, misalnya dengan tepat meramal saat gerhana. Itu artinya pendapat mereka tentang tata surya bisa diandalkan. Jadi kalau mereka bilang bumi bulat seperti bola, pasti mereka titak main-main." Debat itu bisa diperpanjang, tapi rasanya tak perlu benar. Diadaptasikan dari sebuah esei kecil George Orwell di akhir tahun 1946, beberapa bagian argumentasinya kini mungkin terasa lapuk. Namun pada dasarnya Orwell bukan hendak mempersoalkan bundarnya bumi. Ia hendak membicarakan sesuatu yang lain: bagaimana kita -- dengan segala bantuan para ahli ilmu -- sebenarnya belum beranjak dari sikap puak-puak purba. George Bernard Shaw, konon dalam kata pengantar buat lakonnya tentang Joan d'Arc yang dihukum bakar karena dianggap tukang sihir, mengatakan sesuatu yang mengagetkan: manusia, di abad ini, sebenarnya lebih bertakhyul ketimbang orang Abad Tengah. Bukankah kebanyakan orang cuma percaya begitu saja bahwa bumi berbentuk bulat, tanpa pernah bisa mengajukan alasannya sendiri untuk menopang statemen itu? Berlebih-lebihan, tentu. Namun betapa sering kita pada akhirnya memang hanya bisa bersandar pada pendapat para ahli. Kian majemuk suatu cabang ilmu, kian bengong pula kita di hadapannya. Lalu kita pun jadi makmun, di belakang, mengikut. Kita amin ketika para ahli bilang ada energi di korona matahari, ada DNA di sel-sel kita, dan ada cadanan devisa yang cukup di suatu tempat. Kita bahkan percaya bahwa Gajah Mada berwajah tembem, seperti diputuskan Muhammad Yamin. Sebagian besar pengetahuan kita agaknya memang berada di tingkat itu: tidak berdasar pada penalaran ataupun eksperimen, melainkan, seperti dikatakan Orwell, pada "otoritas". Dan ketika segala gelar disebut dan stempel keahlian sudah diterakan, ilmu pun tak lagi dilihat sebagai proses, melainkan sabda. Kekuasaan semakin besar, maka semakin besar pula kemungkinannya untuk menggampangkan, memandekkan, menjustai. Kemudian lahirlah takhyul.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus