Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SYAIR puji-pujian dan salawat bergema dari pengeras suara di masjid kompleks Pesantren Al-Itqon, Pedurungan, Semarang, Jawa Tengah, Ahad pekan lalu. Tepat pukul enam, usai salat subuh, Kiai Ahmad Kharis Shodaqoh, pemimpin pesantren, duduk bersila di tengah masjid. Baju batik kiai kharismatik itu dibalut selembar sorban yang ujungnya terjuntai ke pundak.
Di dalam masjid, hingga di seputar halaman pondok, ribuan pengunjung setia sudah menanti. Mereka datang berduyun-duyun dari Semarang dan kota-kota sekitarnya seperti Demak, Jepara, Kudus, Pati, Ungaran, Salatiga, dan Kendal.
Sebelum pembacaan kitab, pengajian diawali dengan istighosah sekitar 10 menit. Lalu dibacalah ayat demi ayat Al-Quran melalui kitab klasik yang begitu populer di seantero pesantren Jawa: Tafsir Al-Ibriz.
Kitab ini ditulis al-maghfurlah Kiai Bisri Mustofa, pendiri Pesantren Raudlatut Tholibin, Rembang, Jawa Tengah. Kiai Bisri Mustofa adalah ayahanda dua kiai bersaudara, tokoh akar rumput dari Nahdlatul Ulama yang terkemuka: almarhum Kiai Cholil Bisri dan Kiai Mustofa Bisri. Gus Mus, adik kiai Cholil, dikenal pula sebagai kiai seniman dan kini mengasuh pesantren ayahnya itu.
Buku tafsir itu menggunakan huruf Arab pegon. Bahasanya Jawa tapi ditulis dalam huruf Arab—atau huruf Arab-Jawi. Cara membacanya pun khas agar orang tak sekadar tahu arti kata per kata, tapi sekaligus bisa belajar memahami nahwu-shorof alias tata bahasanya. Simaklah:
Bismillahi kelawan nyebut asmane Allah; Arrohmani kang welas asih ing dalem dunya; Arrohiimi kang welas asih ing dalem dunya akhirat; Alhamdu utawi sekabehane puji; Iku lillahi kagungane Allah; Robbil alamina kang mangerani wong ngalam kabeh....
Membludaknya peserta pengajian membuat hawa di dalam masjid sedikit gerah. Putaran kipas angin tidak terlalu menolong. Di luar masjid, ribuan orang yang mayoritas terdiri atas kaum tua duduk lesehan. Sebagian terkantuk-kantuk, sebagian lagi asyik menyimak. Begitu pula di teras pesantren, madrasah, dan rumah-rumah penduduk. Peserta pengajian duduk lesehan, khidmat mendengarkan uraian sang kiai yang terpancar dari sejumlah pengeras suara.
Pengajian yang berlangsung sejam itu hanya mengupas beberapa ayat. Tak mengherankan bila kitab tersebut baru selesai dibaca setelah 12 tahun. Tahun lalu, sebuah perhelatan besar digelar di pesantren tersebut untuk menandai khataman alias usainya pembacaan kitab.
Kenapa Al-Ibriz? Kiai Ubaedulloh Shodaqoh, adik Kiai Kharis, menjelaskan bahwa kitab tafsir yang artinya ”emas murni” itu dipilih untuk dibacakan di pesantrennya karena ditulis dengan huruf Arab pegon dalam bahasa Jawa pesisir, bahasa Jawa yang tak terlalu tinggi. Dengan begitu, mayoritas pengunjung bisa mudah paham.
Alasan lain membaca Al-Ibriz, kata Ubaedulloh, ”Untuk mendapat barokah,” atau dalam idiom pesantren kerap dikenal dengan ngalap barokah. Berkah dimaksud maksudnya luas: dari kekuatan spiritual hingga cipratan rezeki. Dari pengajian tiap Ahad pagi bisa terkumpul dana sekitar Rp 5–7 juta di kotak amal. Uang itu digunakan untuk mengembangkan pesantren.
Lahir pada 1915 dengan nama Mashadi, Kiai Bisri bukan berasal dari keluarga pesantren. Ayahnya, Joyo Sutopo alias Zainal Mustofa, dan ibunya, Chadijah, lahir dari keluarga pedagang di Rembang. Bisri muda mulai mendalami agama di Pesantren Taman Siswa Islam asuhan Kiai Kholil Harun yang kelak menjadi mertuanya.
Bisri tergolong penulis kitab yang unik. Ia menulis untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Saat situasi memburuk akibat agresi militer Belanda, ia terpaksa mengungsi sampai ke Pare, Kediri, Jawa Timur. Di pengungsian, ia bekerja serabutan, berdagang, hingga menjadi seniman kaligrafi. Namun, semua usaha tersebut dirasa kurang bisa menolong hidup keluarganya.Mengandalkan kemampuan berbahasa Arab, ia kemudian mencoba keberuntungan baru dengan menulis kitab. Buku pertamanya lahir pada 1949 berjudul Awsathul Masalik. Kitab tersebut merupakan terjemahan dan penjelasan kitab Alfiyah, kitab gramatika berisi seribu bait karya ulama tersohor Ibnu Malik yang menjadi literatur wajib dan harus dihafal para santri.Sekembali ke pesantren pada 1950, Bisri makin rajin menulis kitab, baik berupa karangan sendiri maupun terjemahan. Sepanjang hidupnya hingga wafat pada 1977, ia telah menulis sekitar 200 kitab tipis dan tebal. Sebagian besar menggunakan huruf Arab pegon. Kitab-kitab karya Kiai Bisri banyak dipakai di pesantren di Jawa, bahkan sampai di beberapa pesantren di Asia Tenggara.
Ketekunan Bisri dalam menulis sempat menimbulkan kecemburuan Kiai Ali Maksum dari Pesantren Krapyak, Yogyakarta. ”Soal kealiman saya tidak kalah dari sampeyan, tapi mengapa sampeyan bisa terus menulis sementara saya selalu gagal di tengah jalan,” ujar almarhum yang pernah menjadi Rais Am PB NU ini suatu kali. Dengan enteng, Kiai Bisri menjawab, ”Saya menulis dengan niat nyambut gawe (bekerja). Kalau tidak begitu periuk nasi saya bisa ngguling (terjatuh).”
Selain untuk literatur pesantren, Bisri juga mengarang kitab yang berkaitan dengan masalah sosial seperti ”Islam dan Keluarga Berencana” yang terbit 1974. Buku saku tersebut berisi hukum Islam tentang program keluarga berencana. Ada pula bacaan ringan berjudul ”Kitab Kedutan” yang berisi makna kedutan yang sering dirasakan manusia—biasanya di sekitar mata.
Ulama terkenal lain yang menulis tafsir Al-Quran dengan huruf Arab pegon adalah Kiai Sholeh Darat. Ulama asal Semarang itu merupakan guru Kiai Hasyim Asy’ari (pendiri Nahdlatul Ulama) dan Kiai Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah). Tafsirnya bertajuk Faidul Rahman. ”Tafsir itu menggunakan bahasa Jawa yang agak tinggi,” ujar Ubaedulloh.
Kandungan Faidul jauh lebih lengkap ketimbang Al-Ibriz. Bagi Guru Besar Tafsir Quran Institut Agama Islam Negeri Wali Songo, Muhammad Muchoyar, dalam Faidul ada terjemahan ayat, tafsir, pendapat para ulama, dilengkapi pemahaman tasawuf. Namun, Muchoyar tetap memuji Al-Ibriz justru karena untuk mengetahui kandungannya tak perlu menguasai tata bahasa Arab. ”Al-Ibriz sangat pas untuk santri pesisir yang ingin mengetahui kandungan Al-Quran secara mudah,” katanya.
Kelebihan lain Al-Ibriz ialah lebih banyak membahas hal-hal yang menjadi kebutuhan dan problem masyarakat awam, khususnya masalah akidah dan fiqih. ”Al-Ibriz lebih bersifar mujmal (global), bukan mubayyan (spesifik), sehingga awam sangat mudah memahaminya,” kata Muchoyar. Mau mendaras kitab ini? Tafaddal, silakan.…
Nugroho Dewanto, Sohirin (Rembang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo