Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Al-Ibriz di Tangan Pentaskhih?

14 Mei 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku ”emas murni” ini suatu saat pernah ditawarkan ke Penerbit Salim Nabhan, Surabaya, Jawa Timur. Saat bertemu pemilik percetakan, seperti dikisahkan Yahya Staquf, cucu Kiai Bisri, sang penulis memperkenalkan diri sebagai Ahmad, utusan kiai Bisri Musthofa Rembang. ”Saya bermaksud menjual naskah kitab untuk diterbitkan.”

Bisri terpaksa berbohong karena merasa belum punya nama dalam peta perkiaian. Saat itu, harga yang diajukan Bisri Rp 8.000. Namun, Salim hanya berani menawar Rp 3.000. ”Saya sampaikan dulu tawaran Anda kepada Kiai,” kata Bisri, eh Ahmad. Keesokan harinya, Bisri kembali menemui Salim untuk menerima bayaran Rp 3.000. Selain di Penerbit Salim Nabhan, kitab-kitab Kiai Bisri banyak dicetak di Menara Kudus, Kudus.

Dari semua karya itu, Tafsir Al-Ibriz merupakan kitab yang paling laris dan terus mengalami cetak ulang tiap tahunnya. ”Rata-rata hingga 1.400 set (30 juz),” ujar M. Sofin dari Menara Kudus. Urutan kedua paling laku adalah buku kumpulan khotbah Jumat serta tuntunan haji karya Kiai Bisri.

Entah mengapa Kiai Bisri memberi nama Al-Ibriz pada tafsir Quran karangannya. Kata itu, menurut kitab kamus bahasa Arab terkemuka, Al-Munjid, berasal dari bahasa Yunani yang berarti emas murni. Dari segi judul, bisa jadi dia terilhami kitab manakib klasik Al-Ibriz, yang ditulis sufi besar asal Maroko yang hidup di abad ke-18, Syaikh Abdul Aziz al-Dabbagh.

Mungkinkah ia berharap kitab itu menjadi seperti emas murni yang tak lekang oleh waktu? Yang jelas, sejak dikarang sekitar 60 tahun lalu, kitab setebal 30 juz itu masih akrab dengan masyarakat pesisir Jawa hingga saat ini. Bahasanya memang tidak harfiah seperti pada kitab kuning. ”Terkadang tidak letterlijk, tapi sudah terkandung maksud ayat,” kata Ubaedulloh. Al-Ibriz juga mudah dijumpai di toko-toko kitab, sehingga kalangan santri banyak yang menyimpannya.

Semua karya Kiai Bisri yang diterbitkan Menara Kudus tidak memakai sistem royalti. ”Naskah Al-Ibriz dibayar dengan biaya berhaji untuk enam orang, Mbah Bisri dan keluarga,” kata Yahya Staquf. ”Keluarga tidak pernah mempersoalkan royalti. Yang penting Al-Ibriz bisa menjadi sumbangsih bagi umat Islam.”

Sayang, naskah asli 25 karya Kiai Bisri yang dicetak di sana tak diketahui lagi keberadaannya. Sofin menduga naskah-naskah itu disimpan oleh sejumlah kiai. Naskah Al-Ibriz, misalnya, sebelum naik cetak, di-taskhih (dikoreksi) terlebih dulu oleh beberapa kiai. ”Kemungkinan besar para kiai pentaskhih yang menyimpannya,” kata Sofin.

ND, Sohirin

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus