Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Empat Organisasi Wartawan di Malang Menolak UU TNI dan Minta Hentikan Kekerasan

Empat organisasi wartawan meminta aparat keamanan untuk berhenti menggunakan tindak kekerasan terhadap jurnalis yang sedang menjalankan kerja.

26 Maret 2025 | 08.04 WIB

Seorang aktivis pers mahasiswa terluka saat terjadi kericuhan dalam aksi demonstrasi menolak UU TNI di depan kantor DPRD Kota Malang, Minggu malam, 23 Maret 2025. Foto dokumentasi PPMI Kota Malang.
material-symbols:fullscreenPerbesar
Seorang aktivis pers mahasiswa terluka saat terjadi kericuhan dalam aksi demonstrasi menolak UU TNI di depan kantor DPRD Kota Malang, Minggu malam, 23 Maret 2025. Foto dokumentasi PPMI Kota Malang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, MALANG — Sebanyak empat organisasi wartawan di Malang Raya (Kabupaten Malang, Kota Malang, dan Kota Batu) yang menjadi konstituen Dewan Pers meminta kepada aparat keamanan untuk berhenti menggunakan tindak kekerasan terhadap jurnalis yang sedang menjalankan kerja jurnalistik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Demikian disampaikan oleh Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Cahyono, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Malang Benni Indo, Ketua Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Koordinator Daerah Malang Raya Muhammad Tiawan, dan Ketua Pewarta Foto Indonesia (PFI) Malang Darmono melalui siaran pers yang dibagikan kepada para wartawan pada Selasa, 25 Maret 2025.

Permintaan keempat organisasi wartawan itu merujuk pada kejadian yang dialami dua wartawan media arus utama, delapan jurnalis mahasiswa yang tergabung dalam Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Kota Malang, serta sejumlah demonstran saat terjadi kericuhan dalam aksi unjuk rasa menolak Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia di depan kantor DPRD Kota Malang pada Minggu malam, 23 Maret kemarin. 

“Kami telah menerima laporan adanya tindak kekerasan terhadap jurnalis saat meliput aksi demo menolak UU TNI di depan gedung DPRD Kota Malang,” demikian isi siaran pers.

Dalam rilis disebutkan, seorang jurnalis mahasiswa berinisial DN yang mengalami tindak kekerasan berupa pemukulan. DN diseret oleh aparat berbaju preman, lalu dipukul dan diinjak-injak. Aparat tetap bertindak represif sekalipun DN membawa kartu pers yang menjadi identitas bahwa dirinya seorang jurnalis. 

“Tindak kekerasan ini jauh dari kata kesatria dan mencoreng (slogan) mengayomi dan melindungi.”

DN bukan satu-satunya jurnalis mahasiswa yang mengalami kekerasaan. Dalam laporan yang dibuat PPMI Kota Malang disebutkan bahwa kekerasan juga terjadi kepada KI, salah seorang jurnalis mahasiswa dari lembaga pers mahasiswa (LPM) Kavling 10 Universitas Brawijaya. KI dipukul aparat di depan depan Hotel Tugu dan atau di depan Hotel Splendid Inn (kedua hotel berdampingan) saat hendak menjauh dari sekitar lokasi aksi. Aparat juga sempat merampas ponsel KI.

Jurnalis perempuan juga mengalami kekerasan yang dilakukan aparat. Seorang awak jurnalis perempuan Unit Aktivitas Pers Mahasiswa (UAPM) Inovasi Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim alias UIN Malang dipukul polisi ketika hendak meninggalkan lokasi aksi.

Polisi sempat meneriaki jurnalis tersebut untuk segera pergi sembari memukulkan tongkat pada kaki sang jurnalis. Ia juga mendapatkan pelecehan verbal berupa diskriminasi gender. Setelahnya, ia dipukul dua kali menggunakan tongkat di leher dan betis kanan hingga lebam.

Dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers ditegaskan bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara. Berikutnya pada ayat (3) disebutkan bahwa untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. 

Ketentuan Pasal 4 ayat (1) dan ayat (3) tersambung dengan Pasal 17 ayat (1) yang menegaskan bahwa masyarakat dapat melakukan kegiatan untuk mengembangkan pers dan menjamin hak memperoleh informasi yang diperlukan.

Keempat ketua organisasi wartawan itu menilai tindak kekerasan yang dilakukan aparat sebagai bentuk kebrutalan menangani massa aksi. Aparat TNI/Polri diduga melakukan kekerasan, baik terhadap jurnalis maupun demonstran lainnya.

Lebih parah lagi, aparat diduga juga melakukan kekerasan terhadap petugas paramedis. Bahkan, berdasarkan informasi dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pos Malang, diduga telah terjadi pelecehan seksual saat aparat membubarkan posko kesehatan atau pos paramedis yang membantu para demonstran.

Tindakan kekerasan tersebut menunjukan aparat tidak menjaga moral dan intelektualitasnya saat menangani massa aksi, sekalipun kondisinya ricuh. Padahal, dalam Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tata Cara Lintas Ganti dan Cara Bertindak Dalam Penanggulangan Huru-hara sangat jelas tiada instruksi untuk melakukan kekerasan dan sebaliknya aparat kepolisian diperintahkan untuk mengutamakan tindakan yang humanis. 

“Jika ada kekerasan oleh aparat, pedoman mana yang mereka ikuti?” begitu ditulis dalam rilis. 

PWI, AJI, IJTI, dan PFI mengingatkan aparat kepolisian dan militer bahwa sikap mengemukakan pendapat di depan umum perihal menolak pengesahan RUU TNI menjadi UU TNI dijamin keamanannya oleh negara; bahwa hak setiap warga mengemukakan pendapat di muka umum tidak boleh dihalangi atau malah dipukuli. 

TNI/Polri diminta harus instropeksi karena seragam hingga pentungan yang mereka gunakan berasal dari uang pajak rakyat. Tindakan mementung rakyat yang menyatakan pendapat di muka umum adalah pengkhianatan serius oleh institusi TNI/Polri.

Dengan tegas pula keempat organisasi wartawan menyatakan menolak UU TNI, yang mereka nilai telah mencederai supremasi sipil dan juga berpotensi mempersempit ruang demokrasi. TNI harus kembali ke barak militer untuk tetap menjalankan tugas pokok menjaga kedaulatan negara, bukan alat penguasa untuk melanggengkan kekuasaan. 

Siaran pers yang dibuat bersama PWI, AJI, IJTI, dan PFI ditutup pernyataan sikap, yaitu:

1.   Menuntut aparat agar menjaga supremasi sipil demi terjaganya tata negara yang demokratis.

2.   Menuntut aparat untuk tidak menggunakan tindak kekerasan terhadap jurnalis maupun demonstran.

3.   Menuntut aparat agar tidak melakukan pelecehan seksual terhadap masa aksi.

4.   Menuntut pembatalan UU TNI karena mencederai supremasi sipil.

5.   Menuntut aparat untuk menghormati Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.  

6.   Mengutuk aksi kekerasan yang dilakukan oleh aparat terhadap wartawan. 

7.   Menuntut agar aparat harus bertanggung jawab atas aksi kekerasan tersebut dan mengambil tindakan yang tepat terhadap pelakunya.

8.   Mengingatkan aparat tentang pentingnya kebebasan pers dan hak-hak wartawan dalam melakukan tugas jurnalistik.

9.   Mengajak semua pihak untuk menghormati dan melindungi kebebasan pers dan hak-hak wartawan. 

 

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus