IBUKOTA Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), Mataram, tidak
banyak berubah dalam masa sepuluh tahun terakhir. Kecuali
penambahan gedung-gedung baru -- dan juga lapangan tenis di
wilayah kota yang diperluas. Kota tersebut tetap berfungsi utama
sebagai pusat administrasi pemerintah bagi 2,6 juta penduduk
NTB.
Penduduk NTB memang termasuk daerah yang pendapatan per
kapitanya paling rendah. Terutama karena kurangnya lapangan
kerja di luar sektor pertanian. Kegiatan industri kecil hanya
ada di beberapa tempat saja, antaranya di Cakranegara. Usaha
kehutanan yang kecil hanya ada di Calabai, Kabupaten Dompu.
Pertambangan samasekali belum diusahakan, walaupun kabarnya
sumber mineral cukup banyak di Pulau Sumbawa. Dengan begitu,
tidak ada kegiatan sektoral yang bisa menjadi motor untuk
mempercepat pertumbuhan ekonomi.
Di sektor pertanian pangan, keadaannya tidak lebih
menggembirakan. Di Pulau Lombok, dengan kepadatan penduduk lebih
dari 400 jiwa per kilometer, areal tanah pertanian rata-rata
0,21 Hektar sedang di Jawa 0,22 hektar per kepala keluarga.
Kemudian, ada lagi masalah Lombok Selatan yang kekurangan makan
secara periodik. Di wilayah ini, sekitar 600 ribu penduduk di 9
kecamatan kritis menggantungkan hidup pada air hujan. Kalau
hujan sedikit, panen gagal dan kekurangan makan merajalela.
Bahkan tahun ini kekurangan makan sudah menjalar ke beberapa
kabupaten lain di Pulau Lombok juga Sumbawa akibat panen yang
gagal karena serangan wereng dan tikus. Sementara petani
sebagaimana dikatakan ir Mahmud, Kepala Sub Dinas Produksi dari
Dinas Pertanian kepada pembantu TEMPO Oka Sunandi, sering tidak
mengindahkan petunjuk-petunjuk yang diberikan petugas. Misalnya
membantah perlunya menanam padi anti wereng (VUTW).
Sampai-sampai Camat Cakranegara Mas'ud misalnya "merasa senang
padi rakyat pada rusak supaya mereka sadar perlunya mengikuti
petunjuk atau anjuran Dinas Pertanian."
Ijon
Untungnya, hal-hal di atas disadari oleh Gubernur NTB yang baru
Gatot Soeherman. "Saya sekarang dalam tahap konsolidasi untuk
suatu take-off pembangunan yang sesuai dengan keadaan NTB,"
katanya baru-baru ini. Lombok katanya, akan diusahakan kembali
menjadi gudang pangan. Untuk itu, antara lain pola distribusi
dan perdagangan akan dirubah. Prosesing dan distribusi beras
diserahkan pada BUUD.
Pola distribusi ini memang menentukan struktur ekonomi di Pulau
Lombok, di samping pemilikan tanah. Umumnya penggilingan padi
milik kaum non-pribumi yang dengan sistim ijon mengikat
petani-petani jauh sebelum panen datang. Ini tidak jarang
menyebabkan terjadinya ekspor beras keluar daerah pada saat
sebagian penduduk Lombok kelaparan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini