Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Tak cuma nama harum

Tak hanya nama harum, sri sultan hb ix meninggalkan juga sejumlah kekayaan di pelbagai tempat. termasuk kedaton shwarna bhumi, bogor. sebagian besar kekayaannya untuk pemeliharaan keraton.

22 Oktober 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"HARIMAU mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama." Itu kata pepatah tua. Tapi, Sultan HB IX tidak hanya meninggalkan nama harum, juga dua keraton -- satu di Yogyakarta dan satu di Bogor -- serta sejumlah aset dan perusahaan. Kalau dijumlah, semuanya bisa mencapai nilai beberapa milyar rupiah. Bahkan, menurut sebuah sumber di Bank Dagang Nasional Indonesia, Sri Sultan termasuk salah satu dari 200 -- orang terkaya di negeri ini. Aset total bank itu pada tahun 1987 Rp 506 milyar lebih, dengan keuntungan Rp 1,8 milyar lebih. Sulit memang untuk menaksir berapa kekayaan Sri Sultan. Soalnya, menurut Christianto Wibisono, Direktur Pusat Data Bisnis Indonesia, jarang kelihatan nama Sri Sultan Hamengku Buwono IX pribadi di atas akta perusahaan. Setelah meneliti, Christianto cuma menemukan sekitar selusin perusahaan, dan di situ Sultan tidak muncul langsung secara mencolok. Namun, patut dicatat, sebagian akta itu belum keluar. Kesulitan lain adalah memisahkan kekayaan pribadi dan kekayaan keraton. "Ini tidak kelihatan secara yuridis," kata Christianto. Ia memperkirakan, kalau ditelusuri langsung, dengan melibatkan seluruh aset Keraton Yogyakarta, Almarhum Sultan Hamengku Buwono mungkin bisa masuk dalam daftar 50 orang terkaya di Indonesia. "Tapi kalau kekayaan Keraton Yogyakarta tidak dimasukkan, saya rasa tidak sampai masuk Top 50. Mungkin Top 100 masih bisa," ujar Chris. Christianto menganggap, Sultan bukan seorang businessman. "Dia hanya top leader. Eksekutif atau manajer yang menjalankan perusahaannya juga tidak terlalu agresif. Artinya, sukses dan berkembangnya perusahaan tidak seperti grup-grup yang lain," katanya. Beberapa perusahaan yang melibatkan Sri Sultan, antara lain, PT Nusantour Duta Djaja Investment, yang ikut menanam modal pada PT Wavin Duta Djaja, perusahaan yang memproduksi pipa. Lalu PT Duta Merlin, yang mengelola pusat pertokoan Duta Merlin. Di PT Natour, yang termasuk 10 besar biro perjalanan di Indonesia, Almarhum Sultan juga pemegang saham. Di PT Bank Dagang Nasional Indonesia, yang berkantor pusat di Wisma Hayam Wuruk, Sultan duduk sebagai ketua kehormatan dewan komisaris. Pada bank yang didirikan 5 Oktober 1945 itu, PT Nusantour Duta Development Corp. dan PT Nusantour Duta Djaja Investment Corp. punya 49,29% saham. Salah satu putra Sultan, Pangeran Mangkubumi, juga duduk sebagai anggota dewan komisaris. Untuk apa hasil uang dari bisnis yang dikelola keraton dan oleh Sultan pribadi itu? Pengeluaran Keraton Yogyakarta ternyata cukup banyak. Pada TMPO, G.B.P.H. Hadiwinoto, 40 tahun, putra HB IX dari K.R.Ay. Widyaningrum, pernah menjelaskan itu. Pangeran yang menduduki jabatan Pengageng Tepas Halpitopuro yang mengurusi usaha-usaha keraton dan Pengageng Tepas Paniti Kesmo yang mengurusi masalah-masalah agraria mengatakan, setiap upacara yang diadakan keraton paling tidak menelan biaya 5 sampai 7,5 juta rupiah. Padahal, setiap tahunnya paling tidak diselenggarakan tiga acara utama. Belum terhitung ke dalam biaya rutin itu adalah honorarium prajurit yang berjumlah 500 orang. Itu ditambah dengan sejumlah 2.400 abdi dalem yang mendapat gaji Rp 1.000 sampai Rp 15.000. Ada lagi biaya yang harus dikeluarkan untuk rehabilitasi Keraton Yogya. Perbaikan lingkungan dan pembangunan keraton dimulai sejak tahun 1986. Demikian keterangan Ir. Djoko Budi Sulistyo, Ketua Bappeda Kodya Yogyakarta. Memang, sesuai dengan rencana, untuk rencana kerja 1987-1988 yang dikerjakan adalah rehabilitasi lingkungan, drainase, pembuatan saluran-saluran baru, taman, dan trotoar. Itu membutuhkan biaya sekitar Rp 2,4 milyar yang, alhamdulillah, berasal dari APBN. Kemudian ditambah lagi dengan biaya sekitar Rp 300 juta dari APBD. Pada 1988 sedang dikerjakan rehabilitasi bangunan dan gedung-gedung yang makan biaya Rp 1,4 milyar. Berkat tersedianya biaya untuk pemeliharaan dan rehabilitasi tersebut, Keraton Yogyakarta dewasa ini ada dalam keadaan terpelihara. Untuk perbaikan dan rehabilitasi, tampaknya keraton memang tak usah khawatir, karena pemerintah turun tangan. Tapi untuk menanggung biaya rutm perusahaan- perusahaan yang dikelola, oleh kesultanan, Sultan pribadi tampaknya harus berperan. Karena untuk biaya perawatan lingkungan keraton saja, setiap bulannya paling tidak diperlukan Rp 5 juta. Selain di beberapa perusahaan -- yang tampaknya kurang lagi dicampurinya itu HB IX juga punya beberapa bisnis yang dikelolanya bersama dengan tujuh mitra usahanya. Perusahaan induk yang didirikan pada 1983 dan diberi nama Hasta Mitra Satya Pratama itu punya lima anak perusahaan yang bergerak di berbagai bidang. Bersama dengan istri kelimanya, Norma Musa, yang kemudian mendapat gelar K.R.Ay. Nindyokirono, ia membentuk perusahaan film dengan nama PT Shwarna Bhumi Bhahana Film. Di situ ia menjadi penasihat perusahaan, sedangkan Nindyokirono bertindak sebagai direktrisnya (TEMPO, 15 Oktober 1988). Kesultanan Yogyakarta sendiri punya beberapa perusahaan yang penghasilannya digunakan untuk menghidupi Keraton Yogya. Misalnya, PT Madubaru, pabrik gula milik kesultanan di Madukismo. Konon tanah tempat Hotel Ambarrukmo berdiri ternyata juga milik keraton. Hotel Srimanganti, yang terletak di Jalan Urip Sumoharjo, Yogya, adalah juga salah satu contoh bisnis yang dikelola keraton. Hotel itu memiliki 40 kamar dan dilengkapi dengan restoran. Berdiri pada 1975, hotel berbintang dua itu didirikan oleh PT Srimanganti, yang sahamnya sebagian besar dimiliki keraton. "Untuk investasi itu, kami mengeluarkan dana sekitar Rp 300 juta," kata Pangeran Hadiwinoto, yang menjabat direkturnya. Menurut Pangeran Hadiwinoto, hasil keuangan dari hotel tersebut, setelah dikurangi biaya operasi, sebagian masuk ke dalam kas keraton untuk membiayai kegiatan. Sayangnya, putra Sultan itu tak merinci berapa keuntungan hotel tersebut per tahunnya. Tapi, dikatakan, angka rata-rata penghunian hotel tersebut sekitar 50%. Menurut sebuah sumber, kalau semua kamar terisi, hotel itu setiap bulannya akan mendatangkan penghasilan bersih 25-30 juta rupiah. Selain Keraton Yogya, Sri Sultan juga memiliki sebuah keraton lain terletak di Jalan A. Yani, Bogor. Gedung berpagar setinggi satu meter yang dikelilingi berbagai tanaman itu dari luar kelihatannya biasa-biasa saja. Shwarna Bhumi, demikian nama gedung tersebut. Konon, di istana inilah Sri Sultan lebih sering berada, terutama di akhir pekan, dalam tahun-tahun terakhir masa hidupnya. Shwarna Bhumi, yang luas tanahnya sekitar 1,5 hektar, memiliki corak bangunan yang mirip dengan Keraton Yogya, tapi dipermodern. Ruang pendopo, yang ada di bagian paling depan, dihubungkan dengan jalan blok sepanjang 100 meter dari pintu gerbang. Berbagai tanaman hias, rumput, perdu, dan buah-buahan seperti durian, mangga, dan rambutan menghiasi halaman depan. Istana Shwarna Bhumi, yang dibangun pada 1982 ini, begitu indah, sehingga Ny. Nelly Adam Malik, janda almarhum bekas Wapres Adam Malik, memujinya "lebih bagus dari Keraton Yogya sendiri, dan mirip sebuah hotel berbintang". Gedung yang berbentuk huruf L itu memiliki sebuah pendopo yang berbentuk bangunan joglo, terbuat dari kayu jati berukir yang sebagian dikirim langsung dari Yogya. Pada setiap pintu masuk, juga pendopo terukir simbol NHBIX. "Itu berarti Nonna atau Nindyokirono Hamengku Buwono IX," kata Norma. Di bagian pintu depan tertulis kata-kata dalam aksara Jawa, Yaksaning Madya Korining Jagad dan Wisaning Naga Ginanda Jalma 1985, sedangkan di bagian belakang pintu tertulis Gunungan Jagad dan Wiku Jalmo Ngambar Sadonya 1917. Menurut Norma, itu berarti candrasangkala yang menyebutkan tahun peresmian kedaton pada 1985 atau 1917 penanggalan Jawa. Di belakang pendopo ada Ruang Pusaka HB IX. Ruangan tersebut punya satu kamar khusus yang dikelilingi Jalan selebar satu meter. Di bagian ruang pusaka yang terbuka itu terpajang berbagai benda milik HB IX. Sedangkan di dinding terpampang foto-foto berwarna dari HB IV sampai HB IX, semuanya dalam pakaian kebesaran mereka. Di bawah foto-foto itu terpasang sepasang ukiran naga yang ekornya saling mengikat. Panjangnya sekitar empat meter dan berwarna hijau. Di samping kiri ruang pusaka terdapat ruangan utama kedaton yang luasnya 10 kali 30 meter. Di ruangan inilah biasanya HB IX bersama istri menerima tamu dan kerabat mereka. Di ruangan yang dihias mewah dengan perabotan luks itu terpampang dua lukisan besar menggambarkan HB IX dan Nindyokirono. Selain itu, di sana bertaburan keramik-keramik dan guci, piring-piring kecil dengan tulisan, boneka-boneka kecil, dan berbagai suvenir. Di pojok kiri ruangan ada sebuah dapur kecil berukuran 2 X 1,5 meter, tempat Sri Sultan mempraktekkan hobinya, memasak. Di sebelah kiri ruang utama ada kamar tidur pribadi HB dan Nindyo yang dihubungkan dengan sebuah teras pribadi. Di samping itu, ada kamar-kamar tamu, keputran, keputren, dan lain-lain. Keraton yang dibangun dengan biaya Rp 1,5 milyar itu -- tak termasuk isinya -- punya kamar tak kurang dari 23. Hingga kini, harta peninggalan Sri Sultan yang berupa tanah belum ditata. G.B.P.H. Poeroebojo, ketika ditanya pendapatnya mengenai jumlah kekayaan HB IX, hanya menjawab, "Setelah 40 hari, ketika masa berkabung selesai, kami baru akan mendata kekayaan Sri Sultan tersebut." Namun, ia membagi harta kekayaan itu menjadi tiga. Pertama, kekayaan pribadi yang akan diwariskan kepada para putra-putrinya. Kedua, kekayaan Keraton Yogya yang diwariskan kepada keraton itu sendiri. Dan yang ketiga, kekayaan pemerintahan Kesultanan Yogyakarta, yang hak warisnya akan jatuh ke tangan pengganti Sri Sultan. Nilai dan berapa besar warisan-warisan tersebut baru akan diteliti setelah masa berkabung berakhir. Namun, G.B.P.H. Poeroebojo mengatakan, yang sudah pasti diketahui adalah Pabrik Gula Madukismo, yang ternyata milik pribadi Sri Sultan. Sedangkan milik keraton yang ada sekarang adalah pusaka-pusaka dan kereta. Jumlah kereta yang kini tersimpan di Museum Kereta Keraton Yogya ada 18 buah. Memang, harta kekayaan Sri Sultan yang ditinggalkan Sri Sultan yang sudah jelas kebanyakan adalah yang ada di Yogya. Tapi, ada juga harta peninggalan Sri Sultan di Yogya yang masih belum jelas statusnya. Itu terutama tanah-tanah yang sekarang dimanfaatkan oleh rakyat. "Tanah dan harta keraton masih banyak yang belum diurus, dan kami akan menginventarisasikannya," ujar G.B.P.H. Hadiwinoto. G.B.P.H. Hadiwinoto, adik Pangeran Mangkubumi, adalah Kepala Tepas Wahono Sartokriyo, yang mengurus bangunan dan tanah milik keraton. Dikatakannya, untuk itu ia akan membentuk sebuah tim. Tapi tim itu baru akan bekerja setelah urusan suksesi selesai. "Kami bekerja berdasarkan skala prioritas. Sekarang fokus utama kami adalah memutuskan siapa yang akan menjadi pengganti Sri Sultan," tutur Hadiwinoto lagi. Nantinya, HB X, kalau ada, akan ditunjuk sebagai ketua ex officio tim tersebut, tapi Hadiwinotolah yang akan mengerjakan segalanya sebagai ketua tim tersebut. Yang jadi pertanyaan besar, bagaimana nasib Istana Shwarna Bhumi dalam masalah waris-mewaris itu. Menyinggung hal itu, Hadiwinoto mengatakan, "Yang pertama-tama akan kami lihat adalah segi yuridisnya." Ia belum tahu persis, Kedaton Bogor itu diatasnamakan siapa. "Kalau terjadi keragu-raguan, saya cenderung agar itu dimasukkan ke dalam harta pusaka keraton saja," katanya dengan hati-hati. Tapi, kalau sudah atas nama Norma? "Wah, saya tidak tahu. Kita lihat saja nanti, atas nama siapa bangunan tersebut," katanya lagi. Tapi, buat putra-putri Sultan sendiri, peninggalan paling berharga yang diterima mereka adalah ajaran Sri Sultan tentang hidup. "Sejak kecil sudah ditanamkan pada kami rasa tanggung jawab dan mandiri, tak boleh menggantungkan diri pada orang lain," kata Hadiwinoto. A. Dahana, Gunung Sardjono, Aries Margono, I Made Suarjana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus