SABTU, 1 Oktober di Washington, kami bangun jam 04.30 waktu setempat. Setelah itu sarapan. Bapak sudah berpakaian, tetapi merasa tidak enak badan. Bapak bilang, "Saya kayaknya masuk angin." Saya menyahut, "Terus bagaimana?" Bapak menjawab. "Kita di hotel saja." Lalu, Bapak minta dikeroki. Yati, Sekretaris Atase Pertahanan yang sudah 16 tahun di Amerika yang kebetulan berada di hotel, saya minta mengeroki Bapak. Bapak sempat berkata, "Kalau mau ngeroki minta uang benggol sama Ibu". Dan saya tiduran di samping Bapak, karena sedang malas. Sesudah itu Bapak minta kakinya dipijati. Yati yang melakukannya. "Enak, kok, Yat," ujar Bapak. Setelah dikeroki, Bapak duduk di kursi. Beberapa saat kemudian Bapak keluar ruangan dan bertemu dengan Atase Pertahanan, Pak Jauhari. Pak Jauhari bertanya, "Apakah Bapak sakit? Kok nggak keluar7" Jawab Bapak, "Ah, enggak, saya cuma masuk angin." Mayor Slamet Basarah, petugas atase pertahanan yang mestinya bertugas mengantar kami berkeliling, hanya diminta membelikan nasi goreng. Maka, kami sarapan nasi goreng, ayam goreng, dan orange beef, daging dengan rasa jeruk. Kami makan di ruang tamu. Waktu itu Bapak sudah kelihatan sehat, ndak apa-apa. Sehari penuh kami di hotel. Yati saya minta tetap di hotel, menemani saya. Saya takut kalau Bapak sakit. Saya nggak enak di hotel sendirian. Kalau ada Yati, kan gampang. Tapi saya nggak merasa akan ada bahaya. Malamnya, Bapak sempat nonton teve. Saya dan Yati juga nonton di ruang tamu sampai jam setengah empat pagi. Waktu itu teve sedang menyiarkan penutupan Olimpiade. Sehabis nonton, saya masuk ke kamar. Saya lihat Bapak sudah tidur. Ada sebuah kejadian aneh, esok harinya Mingu 2 Oktober 1988. Kami semua sudah bangun. Ketika masih sama-sama di tempat tidur, Bapak berkata, "I always make you trouble." Tentu saja saya membantah, "Ah, enggak, ah. Biasa saja. Masa Bapak menyusahkan saya." Sewaktu saya keluar kamar, tiba-tiba Yati bertanya, "Apakah Bapak tadi pagi keluar kamar?" Saya bilang enggak. "Kok tadi pagi saya lihat Bapak duduk diam saja, termenung di kursi itu." Maksudnya, kursi di sebelah sofa tempat Yati tidur. "Saya jadi malu. Baru mau tidur kok ada Bapak di situ. Terpaksa saya pergi. Nggak lama kemudian saya kembali lagi, eh Bapak hilang," tutur Yati. Dengan setengah heran saya bertanya pada Yati, "Bapak pakai baju apa?" Sweater biru dan kain sarung, jawab Yati. Itu tidak mungkin. Bapak selalu memakai hem Arrow putih lengan pendek dan kain sarung bila tidur. Bagi saya, cerita Yati tersebut sangat aneh. Saya yakin, itu bukan Bapak. Ketika Bapak keluar kamar, Yati kembali menanyakan kejadian itu langsung pada Bapak. "Bapak tadi keluar kamar?" Bapak menjawab, "Nggak.". Lalu Bapak bertanya tentang baju yang dikenakannya. Yati menjawab, "Sweater biru." Bapak menyangkal, "Lho . . saya pakai ini, hem putih." Yati jadi terheran-heran mendengar jawaban tersebut. Mungkin karena kasihan melihat Yati keheranan, Bapak bertanya lagi, "Saya ngomong enggak, Yat?" Yati menjawab, "Nggak, Pak. Bapak diam saja." Mendengar jawaban itu, Bapak berkata lirih, "Oh, kalau begitu, artinya ...." Bapak tidak melanjutkan kata-katanya. Sesudah omong-omong dengan Yati itu, Bapak cukur kumis, jenggot, dan mencuci rambut. Pokoknya, pada hari Minggu itu, Bapak sangat bersih. Tak lama kemudian, Bapak minta sarapan toast dengan selai marmalade, hay grape fruit -- jeruk yang agak pahit, dan teh panas. Kami makan bersama. Yati juga ikut. Sambil makan, saya berkata, "Yang, apakah kita akan di hotel saja?" Bapak menjawab, "Ah, keluar saja. Bosan saya di hotel terus. Kita ke toko, menukar sepatu Mimi yang sudah kekecilan." (Mimi adalah panggilan Sultan untuk Nyonya Norma, sedang Yang panggilan Norma untuk Sultan). Saya menanyakan apakah tidak akan mengganggu kesehatan Bapak. "Nggak . . . wong saya sudah sehat, kok", jawabnya. Kami mengendarai mobil Cadillac. Mayor Yayat Rochayat, petugas atase pertahanan yang mendapat giliran tugas pada hari Minggu itu, menjadi sopir. Kami menuju ke Virginia Tyson Corner. Di situ saya membeli sepatu dan tas. Bapak membeli kaus kaki warna cokelat enam pasang. Seusai berbelanja, Bapak mengajak kami, makan ke Hunan Restaurant, sebuah restoran Cina di Rockfield, kira-kira 3 kilometer dari Virginia Tyson Corner. Inilah rumah makan tempat kami pernah makan bersama dokter pribadi Bapak, Prof. Dr. Sadatun, beserta istri, pada awal April lalu. Pelayan restoran segera mencarikan tempat duduk di pojok, persis di tempat kami makan dahulu. Bapak makan sup, orange beef, keilan dengan saos tirem, dan minum ginger ale. Kami makan bersama, sambil tertawa ria. Biasanya, sehabis makan, Bapak minta dessert melon, tapi kali ini minta pisang goreng yang diberi tepung. Di sana namanya banana delight. Sehabis makan pula, restoran Cina di Amerika memberikan fortune cooking -- kue kering yang di dalamnya berisi kartu nasib. Saya meminta Bapak mengambil sebuah. "Bacain, dong," pinta Bapak setelah mengambil. Saya pun membacanya, "When a couple always agree, one of them is a boss -- bila sepasang manusia senantiasa merasa cocok maka salah satu di antaranya adalah bos. Bapak segera menyahut, "For sure it'- not me." Maksudnya, Bapak tidak ingin disebut bos. "Kalau dua orang sama-sama merasa bos, biasanya malah bertengkar terus. Tapi kalau yang satu lebih, dan lainnya mengalah, pasti nggak akan bertengkar," kat Bapak melanjutkan. Saya tertawa saja. Sebab, saya pikir Bapak hanya bergurau. Kira-kira jam lima sore, kami selesai makan. Kami kembali ke hotel. Bapak segera ingin beristirahat, sementara tamu-tamu yang bersama kami tadi meminta izin pulang. Setelah tinggal kami berdua, Bapak duduk sebentar, lalu buka baju di kamar. Yang tersisa di tubuhnya tinggal celana dalam dan singlet. Segera sesudah itu, Bapak pergi ke tempat tidur. Tiba-tiba, saya mendengar suara muntah-muntah. Serentak saya bangkit dan lari ke kamar. Saya lihat Bapak muntah-muntah. Saya mengambil air dan memberikannya kepada Bapak untuk berkumur. Selesai berkumur, Bapak tiduran lagi. Bapak muntah lagi. Saya beri air. Bapak tiduran. Sambil memijati tengkuknya, saya duduk di tepi pembaringan dan berkata, "Muntahkan di mana saja, nanti saya lap." Benar saja Bapak muntah lagi. Yang keluar adalah semua makanan yang tadi dimakan di Restoran Hunan. Saya pikir, perut Bapak memang tidak bisa menerima makanan itu. "Masuk angin lagi ya, Yang?" tanya saya. "Barangkali. Mungkin minta dikerokin lagi sama Yati," jawab Bapak. "Jangan dulu," saya mencegah. Tidak lama kemudian Bapak muntah lagi. Tubuhnya sudah terasa dingin. Saya memakaikan sweater biru, sweeater yang dilihat Yati kemarin. Saya juga memakaikan kain sarung. Ketika Bapak muntah lagi, saya mengambil tempat sampah yang saya beri alas kain. Saya mulai cemas. Saya berkata padanya, "Bapak kayak-kayaknya jadi mau sakit." Dalam keadaan lemas, Bapak menjawab, "He-eh nih, kayaknya nggak enak saya, Mi." Melihat kondisi itu, saya memutuskan menelepon rumah Atase Pertahanan. Tetapi ia tidak ada di rumah, karena sedang rapat di kedutaan. Lalu saya menelepon ke sana. Karena letaknya hanya di seberang hotel, sebenarnya saya bisa berteriak, tetapi saya khawatir tidak terdengar. Saya menceritakan keadaan Bapak. Sebentar kemudian mereka datang dan bertanya mengapa keadaan Bapak begitu. Saya menjawab, tidak tahu. Kami sama-sama memeriksa Bapak. "Bapak mau minum?" tanya saya. "Saya minta teh panas saja," jawab Bapak lirih. Bergegas saya memanggil room service, meminta apa yang dipesan Bapak. Sebelum teh datang, Bapak muntah lagi, mengenai sweater birunya. Tubuh Bapak semakin dingin. Para petugas Atase segera memesan ambulans dan dokter yang tiba bersamaan dengan teh panas. "Saya minta tehnya," kata Bapak. Dokter mencegahnya dengan alasan nanti muntah lagi. Bapak dilarikan ke Rumah Sakit George Washington. Biasanya kalau check up, Bapak pergi ke Walter Reed Army Hospital. Tetapi untuk memburu waktu, kami memilih George Washington, yang hanya lima menit dan hotel. Sampai di sana Bapak dibawa ke Ruang ICU. Saya ingin ikut, tapi dilarang, dan menunggu bersama para staf KBRI yang sudah datang. Kira-kira pukul 20.05, dokter yang memeriksa keluar. Saya dipanggil. Saya meminta Ibu Denzahri menemani saya ke ruang dokter. Di situ dokter berkata," Your husband had a heart attack." Saya kaget. Dokter melanjutkan kata-katanya "But he just passed away a few minutes ago." Saya berteriak, "No ... it's impossible. No . . . !" Saya jatuh, meski tidak semaput -- pingsan. Saya dipegangi Ibu Denzahri. Para staf KBRI mendekat dan menangis. Innalillahi wa innailaihi rojiun. Saya menyesal, mengapa saya tidak melihat ketika Bapak mengembuskan napas terakhir. Beberapa saat kemudian saya diizinkan masuk menemui Bapak. Saya cium dia. Sambil menangis, saya menyilangkan kedua tangannya di atas dada. Tangannya masih hangat, belum kaku. Bapak terlihat begitu tenang. Tersenyum dalam kediamannya. Saya terduduk di kursi di tepi ranjang, dan hanya bisa menangis. Menurut aturan di sana, bila ada orang meninggal tanpa sebab-sebab yang jelas tidak boleh keluar. Itulah sebabnya dokter meminta agar Bapak diautopsi, dan dua orang polisi sempat menanyai saya. Dokter bertanya, apakah Bapak mengidap penyakit jantung. Saya jawab, tidak. Bapak bukan pasien penyakit jantung. Tetapi memang, tekanan darahnya rendah. Paling tinggi 120/80. Saya juga menanyakan berapa tekanan darahnya sebelum meninggal. Dokter menjawab fifty/zero -- 50/0. Aduh, bagaimana bisa drop begitu? Dokter juga menanyakan jenis makanan Bapak. Saya jawab ini, ini, ini, dan ini, persis sebagaimana yang dimakannya di Restoran Hunan. Saya tambahkan bahwa saya dan Yayat, Nining, serta Ambe Rombat memakannya juga. Bedanya, Bapak minum ginger ale, saya tidak. Dokter tidak mengatakan Bapak keracunan makanan. Dokter hanya bilang tekanan darahnya turun. Mengapa turun, dokter belum tahu. Itulah sebabnya dokter meminta saya agar mengizinkan Bapak diautopsi. Saya ragu-ragu. Tepat ketika itu, Pak Ramly, Dubes Indonesia untuk Amerika, datang. Beliau menggeleng-gelengkan kepala, memberi isyarat agar Bapak tidak diautopsi. Melihat itu, saya berkata pada dokter, "Tidak usah. Biarkan sebagaimana adanya." Tetapi dokter mengatakan Bapak akan sulit dikeluarkan. Memang, Bapak agak lama ditahan. Kami menjelaskan siapa Bapak sebenarnya. Bapak bekas wakil presiden, disayangi banyak orang, tak mungkin ada yang membunuhnya. Akhirnya, Bapak dapat dikeluarkan dan dibawa ke funeral home perusahaan yang mengurus soal pemakaman. Malam itu juga diadakan pengajian. Saya masih sempat melihat wajah Bapak sebelum dimandikan dan disembahyangkan. Wajah Bapak begitu tenang, tidak menakutkan. Saya menangis, meski sudah dilarang. Malam itu, Bapak disembahyangkan, tapi saya tidak turut. Saya diminta Pak Ramly untuk memilih peti jenazah, di funeral home itu juga. Di situ terdapat begitu banyak peti jenazah. Ada dua pilihan. Peti berwarna biru terbuat dari kayu mahoni, dan satunya lagi berwarna krem agak cokelat. Yang cokelat kayunya kurang bagus. Saya memilih yang biru. Waktu itu saya berpikir bahwa peti itu cantik dan indah, meski tanpa kaca. Setelah kabar buruk disampaikan ke Jakarta, saya mendapat telepon untuk mencari peti berkaca agar rakyat bisa melihat dengan mudah. Tetapi sudah terlambat. Belakangan saya menyesal mengapa membeli peti yang berat dan tanpa kaca. Akhirnya diputuskan untuk membuka tutupnya saja bila orang ingin melihat. Ketika Bapak tiba di Jakarta dan disemayamkan di Prapatan, saya meminta agar peti dibuka saja. Tetapi karena meja tempat peti diletakkan terlalu tinggi, pelayat terpaksa jinjit untuk dapat melihatnya. Dan susahnya, mereka menyerbu. Terpaksa hanya dibuka selama satu jam, kemudian ditutup lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini