Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Guru menyulap, murid mengamuk

Gara-gara guru mengatrol nilai murid, 81 siswa smp 17-i yogyakarta batal lulus. para orang tua dan siswa menyerbu sekolah. tawaran kesempatan dari pihak sekolah. kepala sekolah minta maaf.

29 Juni 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gara-gara guru mengatrol nilai muridnya, sebanyak 81 siswa SMP 17-I Yogyakarta batal lulus. Akibatnya, para orangtua dan siswa menyerbu sekolah. Kepala sekolah minta maaf. JADI guru itu baik, jadi pemain sulap juga bagus. Tapi jika guru sekaligus menjadi pemain sulap, siswa bisa celaka. Contohnya, 81 siswa SMP 17-I Yogyakarta, Minggu pekan lalu, batal lulus ujian akhir gara-gara sang guru menyulap nilai murid-murid tersebut. Akibatnya, para siswa itu, yang sebelumnya sempat merayakan keberhasilan mereka dengan pesta dan hura-hura, kecewa berat dan mengamuk. Supraptini, siswi kelas tiga di SMP swasta itu, misalnya, ketika mendengar kabar buruk itu langsung mengamuk di rumahnya. Semua barang yang ada di dekatnya dibantingnya. Kaca lemari dihancurkan. "Saya kecewa dan malu," katanya sesenggukan. Pada 5 Juni lalu, saat pengumuman hasil ujian akhir, suasana sekolah swasta itu diwarnai kegembiraan. Sebab, 156 siswa atau sekitar 90% siswa kelas tiga dinyatakan lulus. Para remaja itu pun seperti biasanya berhura-hura. Ada siswa yang saat itu juga menggiring 50 temannya ke warung sate. Sebelas hari setelah itu, atau Minggu malam pekan lalu, suasana berbalik. Tiba-tiba kurir sekolah mendatangi sebagian besar rumah pelajar yang lulus itu. Utusan sekolah tersebut membawa kabar buruk kepada orangtua murid, bahwa keputusan anak-anak itu lulus dibatalkan. Tentu saja berita itu bagaikan petir di siang bolong. Heru Mulyono, misalnya, malam itu juga minggat dari rumahnya. Di keremangan malam, katanya, ia menyusuri lorong-lorong Kota Yogyakarta. Baru esok sorenya dia nongol di rumah. "Kalau tak ingat orangtua, rasanya saya tak ingin pulang. Sumpek," katanya kesal. Lebih tragis lagi akibat yang menimpa Lisa Prisanti Ekarini. Ketika orangtuanya menerima kabar itu, ia nguping dari balik pintu. Begitu mendengar keputusan pembatalan itu, ia langsung kejang-kejang hampir pingsan. Seisi rumah kelabakan. "Seharusnya, berita itu disampaikan guru kepada orangtua murid di sekolah saja," kata ayah Lisa, Peristianto. Kekecewaan dan kemarahan merebak setelah kurir sekolah berkeliling. Esok paginya, secara serempak siswa yang bernasib buruk itu beserta orangtua mereka "menyerbu" sekolah di Jalan Gowongan Lor, Kota Gudeg itu. Semakin siang jumlah mereka terus bertambah. Sekitar 50 orangtua murid dan puluhan siswa berjubel di halaman sekolah. Suasana sekolah di bawah naungan Yayasan Pendidikan 17 milik bekas Kompi Garuda Tentara Pelajar Indonesia itu semakin tegang. Beberapa siswa melempar batu ke gedung sekolah. Sebagian lainnya menginjak-injak helm milik guru. Kerusuhan itu baru reda setelah polisi turun tangan. Untung, tak ada korban. Dua jam kemudian Kepala SMP 17-I, Moh. Dalimoen, muncul menemui rombongan pengunjuk rasa. Tapi suasana sudah panas. Sempat terjadi adu otot. Hingga sore hari tidak tercapai titik temu. Pada Jumat pekan lalu orangtua murid bertemu lagi dengan pihak sekolah yang kali ini didampingi pihak yayasan. Dalam pertemuan tersebut pihak yayasan memberikan tawaran, antara lain: kesempatan pada siswa yang batal lulus untuk mengikuti ujian ulangan pada Januari nanti. Atau siswa tersebut bisa mengikuti pelajaran di SMA- terutama di lingkungan sekolah Yayasan Pendidikan 17- dengan syarat jika ada rekomendasi dari Kakanwil P dan K Yogyakarta. Jika mereka mau mengulang, maka mendapat pembebasan uang sekolah satu semester. Sebenarnya, soal sulap-menyulap nilai bukan hal baru. Hanya saja, kali ini mungkin tak ada kesepakatan antara pihak kepala sekolah SMP 17-I dan pihak Sub-Rayon 4 Yogyakarta yang mengurus soal nilai itu. Berdasarkan olahan Sub-Rayon 4 Yogyakarta, hasil Ebtanas SMP 17-I tahun ajaran 1990/1991, dari 177 peserta, hanya 75 siswa yang lulus. Merosotnya jumlah lulusan itu, menurut Dalimoen, karena rendahnya nilai ebtanas murni (NEM) yang dikantungi siswa. Karena itu, kata Dalimoen, kepala Sub-Rayon 4 menyarankan merekayasa nilai. Kepala sekolah kemudian mengubah nilai semester 6- salah satu komponen nilai yang mempengaruhi kelulusan siswa. "Itu pun hanya untuk bidang studi yang nilainya payah dan paling tinggi hanya 0,1," kata Dalimoen. Walaupun nilai yang disulap itu kecil, toh 81 siswa terkatrol lulus. Hasil rekayasa tersebut lalu diserahkan kepada Sub-Rayon 4 untuk dikoreksi. Hari itu juga Kepala Sub-Rayon mengembalikan berkas ke SMP 17-I, namun tanpa ada tanda L (lulus) atau TL (tidak lulus). Karena berkas itu sudah dibubuhi cap Sub-Rayon 4, maka kepala sekolah menganggap berkas itu sudah dikoreksi. Karena itu, kepala sekolah berani mengambil kebijaksanaan meluluskan 156 siswa. Nah, ketika Dalimoen mengambil blangko STTB (Surat Tanda Tamat Belajar) di Kantor P dan K Yogyakarta, ternyata hanya mendapat jatah 75. Artinya, hanya 75 siswa dari 156 siswa yang dinyatakan lulus. Pimpinan sekolah segera berembuk dengan yayasan. Keputusannya, 81 siswa yang dikatrol nilainya dibatalkan kembali. Sore hari itu juga beberapa kurir dikirim untuk menyampaikan putusan tersebut kepada para orangtua murid. Esoknya, meledaklah protes mereka yang bernasib buruk itu. Kasus tersebut, menurut Kasubag Penerangan Kanwil P dan K Yogyakarta, Koesdartoamono, merupakan tanggung jawab kepala sekolah. Tentang tawaran yang diberikan pihak yayasan? "Tunggu saja nanti, sampai masalah ini tuntas dulu," katanya. Dalimoen, di depan para orangtua murid, juga menyampaikan penyesalannya. "Kami beserta seluruh staf minta maaf. Karena kami mencabut keputusan yang telah kami umumkan sebelumnya," katanya terbata-bata. Gatot Triyanto (Jakarta) dan Sri Wahyuni (Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus