Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Guru "teladan", atau guru "beruntung"?

Wawancara tempo dengan moh. said, tokoh taman siswa mengenai pemilihan guru teladan. "teladan" terlampau bagus & luhur bila digunakan begitu saja dalam seleksi yang sifatnya sekilas.(pdk)

9 September 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SETELAH berlangsung 7 kali, pemilihan guru teladan nampaknya akan berganti nama tahun depan. Terutama mengenai predikat teladan yang kelihatan terlalu "tinggi" untuk suatu kegiatan pemilihan yang dilakukan secara sepintas, kurang mendalam. "Penyelenggaraannya akan tetap dilaksanakan tiap tahun. Tentang nama akan diganti. Bukan teladan. Sekalipun lepas dari peristiwa pemilihan tersebut pada hakikatnya guru adalan teladan. Sebab tak banyak orang yang menyukai profesi ini," ulas Prof. Dardji Darmodihardjo, Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah yang mengetuai panitia pemiIihan guru teladan tahun 1978. Diprakarsai oleh nyonya-nyonya menteri yang tergabung dalam "Ria Pembangunan," pemilihan guru teladan itu bertujuan meningkatkan penghargaan terhadap profesi guru. Bagi para pemenang selain mendapatkan kesempatan mengikuti berbagai acara di ibukota, diberikan pula berbagai macam hadiah: terbang ke Jepang dan percepatan naik pangkat. Tapi predikat guru "teladan" itu akhirnya memang menimbulkan perbincangan tertutup ataupun terbuka. Yang mengeritik gelar "teladan" itu secara terus-terang ialah Moh. Said, tokoh Taman Siswa yang terkenal itu. Berikut ini wawancara TEMPO dengan Ketua Pini Sepuh Taman Siswa itu: Anda mengritik pemilihan guru teladan? Kenapa? Untuk guru, mahasiswa atau pelajar, hendaknya hasil seleksi itu jangan disebut teladan. Kata "teladan" terlampau bagus dan luhur untuk digunakan begitu saja oleh suatu hasil seleksi yang sifatnya sekilas. Para calon tidak diamat-amati secara ketat dan cermat ketika di sekolah, di masyarakat ataupun dalam keluarga. Guru yang baik bukan hanya guru di kelas, tapi dia adalah juga anggota masyarakat dan keluarga. Untuk itu diperlukan pengamatan bertahun-tahun. Yang teladan itu hendaknya dikenal sebagai orang yang berdedikasi, tidak menyeleweng. Jadi mereka adalah orang yang kelak bisa digugu dan ditiru. Siapa saja yang pantas dipilih? Saya kira hanya orang yang sudah sepuh memiliki perbendaharaan banyak yang bisa dicatat. Sebab kalau menjadi guru baru 5-10 tahun belum cukup. Tapi kalau sudah jadi guru selama 40 tahun orang yang demikian sebaiknya dikaji. Kalau toh P & K tetap menyelenggarakan pemilihan saya lebih senang menyebutnya sebagai Pemilihan Guru-Guru Yang Beruntung ke Jakarta. Itu saja. Saya akan lebih tidak setuju lagi kalau para guru "teladan" yang pernah dipilih itu lalu membentuk korp atau kelompok. Ini akan mencerminkan sikap eksklusip dan merupakan kesombongan. Apakah pemilihan guru teladan masih perlu diteruskan? Boleh saja setiap tanggal 17 Agustus diselenggarakan pemilihan seperti itu, tapi jangan pakai nama "teladan". Lebih baik seperti yang saya katakan tadi, guru yang lulus tes dengan angka baik dan guru yang beruntung pergi ke Jakarta. Jadi bagaimana sebaiknya pemilihan guru teladan? Pemilihan itu tidak perlu diselenggakan setiap tahun. Calon guru teladan yang terpilih jangan banyak-banyak, sebab menjadi teladan bukan hal gampang. Sebaiknya orang yang telah meninggal yang dipilih, untuk mencegah kultus individu. Pemilihan guru itupun hendaknya tidak diselenggarakan sperti memilih Lurah Teladan. Sebab masih perlu dipertanyakan apakah Lurah yang terpilih itu adalah Lurah yang bisa mengumpulkan duit banyak? Sebab barangkali saja Lurah TeIadan itu terlalu kejam pada rakyatnya. Bagaimana tehnik pemilihannya saya kira pengalaman P&K cukup banyak. Bagaimana dengan kewibawaan guru sekarang? Kewibawaan seorang guru menurut saya bukan hanya dibentuk oleh kesejahteraan dan ditunjang oleh finansiil yang baik. Tahun 1950 saya pernah mengajar di PTIK hanya dengan celana pendek, toh mahasiswa yang calon komisaris itu tetap menghargai saya. Jadilah guru yang berpakaian pantas, tak usah berlebihan. Kalau kiyai di pesantren hanya dengan sarung dan baju sederhana bisa melahirkan santri yang ulet dan disegani, mengapa guru tidak bisa. Selama guru tidak mau menerima uang dari anak didiknya, si anak tetap akan menghormati gurunya. Juga kalau guru tidak lagi memberikan les kepada murid-muridnya dengan menarik bayaran uang. Wibawa guru bukan seperti ini: kalau murid naik motor maka gurunyapun harus naik motor.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus