Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Haji Agus Salim adalah seorang diplomat, jurnalis, dan negarawan Indonesia. Salah satu tokoh bangsa ini sempat menjabat sebagai Menteri Luar Negeri Indonesia pada 1947-1949.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam buku H. Agus Salim (1884-1954): Tentang Perang, Jihad dan Pluralisme (2014) karya St Sularto, Agus Salim mendapat julukan sebagai “The Grand Old Man” karena kepiawaiannya dalam melakukan perundingan dengan negara-negara Arab serta memimpin delegasi Indonesia di forum PBB pada 1947.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Agus Salim lahir dengan nama Masjhoedoelhaq Salim pada 8 Oktober 1884 di Desa Koto Gadang, Bukittinggi. Nama lahirnya, yang berarti “pembela kebenaran”, diubah menjadi Agus Salim di awal masa kecilnya.
Salim menempuh pendidikan dasar di Europeesche Lagere School, yang pada saat itu dianggap sebagai hak istimewa bagi anak non-eropa. Kemudian ia melanjutkan studinya di Hogere Burgerschool di Batavia, dan lulus dengan skor tertinggi di seluruh Hindia Belanda.
Gagal Belajar Kedokteran, Berubah Haluan Menjadi Jurnalis hingga Aktivis
Dilansir dari arsip Majalah TEMPO edisi 14 Agustus 2013, Agus Salim sempat gagal mendapatkan beasiswa untuk belajar kedokteran di Belanda. Bahkan, R.A Kartini berniat menawarkan untuk menunda beasiswanya untuk dialihkan ke Salim, tetapi itu pun ditolak. Akhirnya, pria bertubuh kecil ini mengubah halauannya.
Pada 1905, C.S. Hurgronje, seorang admistrator kolonial terkemuka membawa Salim meninggalkan Hindia Belanda untuk bekerja sebagai penerjemah dan sekretaris di konsulat Belanda di Jeddah. Di sana, ia menangani urusan haji.
Selesai dari situ, Agus Salim kembali ke Hindia Belanda pada 1911. Ia kemudian mengejar karier di bidang jurnalisme. Ia menerbitkan karya-karyanya di penerbitan, seperti Hindia Baroe, Fadjar Asia, dan Moestika.
Salim sempat menjabat sebagai editor di Neratja, sebuah surat kabar yang berkaitan dengan Sarekat Islam. Selain itu, ia juga mendirikan sekolah Hollandsche Indische di kampung halamannya, meski setelah itu ditinggal untuk kembali ke Jawa.
Salim merupakan salah satu pendukung paling vokal dari gerakan nasionalis Indonesia yang berkembang, pada periode yang dikenal sebagai kebangkitan nasional. Ia menjadi pemimpin terkemuka dalam Syarikat Islam dan dianggap sebagai tangan kanan pemimpinnya, H.O.S Tjokroaminoto.
Kiprah Agus Salim
- 1915
Menjadi Pengurus Besar Central Sarekat Islam.
- 1917
Menjadi wartawan harian Neratja selama setahun, bekerja di Balai Pustaka hingga 1919, lalu menjadi redaktur Bataiaasch Nieuwsblad.
- 1921-1924
Menjadi anggota Volksraad (Dewan Rakyat) sebagai wakil Sarekat Islam.
- 1927
Bersama H.OS Tjokroaminoto menerbitkan harian Fadjar Asia, lalu memimpin harian Mustika di Yogyakarta pada 1931-1932.
- 1933
Menjadi Ketua Dewan Partai Sarekat Islam Indonesia, tetapi tiga tahun kemudian keluar dan mendirikan Partai Penyadar.
- 1940-1945
Nonaktif dari politik dan berdagang arang.
- 1945
Menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
- 4 April 1947
Ketua misi diplomatik ke Timur Tengah serta menghadiri Sidang Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
- 19 Desember 1948
Ditawan Belanda bersama Sukarno dan Hatta. Diasingkan Berastagi, Parapat, Bangka, dan baru kembali ke Ibu Kota Yogyakarta pada 6 Juli 1949.
- 17 Januari 1953
Menjadi dosen tamu mata kuliah agama Islam di Cornell University, Ithaca, dan menghadiri Simposium-Kolokium Islam di Princeton University. Kembali ke Indonesia pada 26 November 1953.
- 4 November 1954
Wafat pada pukul 14.42 di Rumah Sakit Umum Jakarta setelah sakit beberapa hari. Ia dimakamkan keesokan harinya di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
- 27 Desember 1961
Agus Salim ditetapkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan.
M. RIZQI AKBAR
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.