AIR berdebur dari pintu-pintu waduk dan ratusan burung dilepas
ke alam bebas, ketika Presiden Soeharto menekan tombol. Hadirin
yang memenuhi plaza pun bertepuk tangan. Maka resmilah
penggunaan bendungan serba guna Wonogiri sebagai pengendali
banjir, Selasapekan lalu.
Bendungan sepanjang 1,4 km ini memiliki waduk seluas 88 km2.
Terletak 2 km dari kota Wonogiri, tepat pada pertemuan Sungai
Kedaung dan Bengawan Solo. Bendungan terbesar di Jawa Tengah
ini, sanggup menampung 750 juta m3 air, yang mengalir deras dari
sela-sela Pegunungan Seribu dan bukit Gajah Mungkur. Debit air
Bengawan Solo sebesar 4.000 m3/detik, bisa ditekan menjadi 400
liter/detik saja.
Ini artinya wong Solo dan Sragen bisa tersenyum. Banjir besar
seperti yang merendam Kota Solo 15 tahun lalu, dijamin tak bakal
daung lagi. Tapi untuk daerah hilir--Ponorogo dan Ngawi,
misalnya--perlu waktu 3 tahun lagi agar bisa bebas banjir.
Pembangunan bendungan Wonogiri, kata Menteri PU Purnomosidi,
"memang baru langkah awal unuk menjinakkan dan meman faatkan
Bengawan Solo."
Selain Wonogiri, akan dibuat 3 bendungan serba guna lain di arah
hilir. Yaitu bendungan Badegan, Bendo dan Jipang. Yang terakhir
ini, terletak palin hilir dan rencananya akan lebih dulu
dlbangun. Juga akan dibuat 25 bendungan lain, hingga potensi
Bengawan Solo bisa dimanfaatkan secara maksimal.
Selama ini aliran sungai terpanjang diP. Jawa (600 km) ini
memang seperti mubazir. Mengalirkan air sekitar 14 milyar
m3/tahun, yang 6 milyar m3 terbuang sia-sia ke laut. Hanya 8
milyar m3 air yang bisa dimanfaatkan untuk mengairi sawah dan
keperluan lain.
Tapi menjinakkan sebuah sungai memang perlu biaya yang tak
sedikit. Bendungan Wonogiri yang dibangun sejak Juli 1976, telah
menelan biaya Rp 58 milyar lebih--dari APBN Rp 36 milyar dan
pinjaman pemerinuh Jepang.
Biaya besar itu, antara lain untuk memberikan ganti rugi kepada
14.135 KK (40.000 jiwa) sebesar Rp 13,7 milyar. Mereka adalah
penduduk dari 51 desa (7 kecamatan) yang terpaksa pindah, karena
daerahnya digenangi air. Sementara 10 ribu lebih kepala keluarga
bertransmigrasi bedol desa ke Sum-Sel Rimbo Bujang, Sitiung dan
Bengkulu-atau ada juga yang memilih menggeser, alias pindah ke
lereng-lereng gunung tak jauh dari waduk itu.
Silir
Setelah diresmikan, bendungan Wonogiri kini jadi daerah
Pariwisata yang cukup menarik. Juga ada sarana untuk olahraga,
seperti ski air, balap sepeda, layang gantung dan terjun payung.
Dan di airnya yang dalam, Juni lalu Fakultas Biologi UGM menebar
100 ribu bibit ikan tawes. Bupati Wonogiri, R. Sudiarto
optimistis, masyarakat sekitar waduk bisa jadi nelayan.
Diperkirakan tak kurang dari.1.000 ton ikan/tahun bisa diperoleh
dari waduk itu.
Tapi bendungan Wonogiri ternyata belum bisa berfungsi komplit.
"Belum ada sawah yang memperoleh air dari waduk," tutur Imam
Hidayat, Humas Proyek Bengawan Solo. Pembangkit listrik pun --
diperkirakan bisa menghasilkan 12,4 MW--masih dalam proses
penyelesaian.
Fungsi irigasi bendungan Wonogiri, menurut Imam, baru bisa
terlaksana sekitar Maret tahun depan, setelah dam Colo siap
dibangun. Dam yang berjarak 13 km dari bendungan Wonogiri ini
akan mempunyai panjang 111 meter. Dilengkapi dengan saluran
induk, saluran sekunder dan tersier, diperkirakan 23 ribu hektar
lebih sawah bisa terairi. Ini artinya, sawah tadah hujan yang
biasa panen setahun sekali, akan bisa panen 5 kali dalam 2
tahun.
Irigasi memang menjadi tumpuan penduduk. "Sekarang saya ayem
(tenang) sebab ada yang ditunggu," tutur Sukarno, seorang
petani. Kehidupan masyarakat Wonogiri selama. ini memang agak
payah.
Wonogiri yang gersang mendorong membanjirnya tenaga kerja ke
kota-kota. Lelaki menjadi buruh kasar atau penarik becak,
perempuan menjadi pembantu rumah tangga. Para pelacur di
kompleks lokalisasi Silir di Sala kebanyakan berasal dari
Kecamatan Ngadirojo, Wonogiri. Para wanita dari daerah ini
terkenal cantik. Banyak di antaranya yang menjadi Waranggana
(pembawa lagu dalam seni karawitan). Bahkan para selir
raja-raja Jawa kabarnya banyak diambil dari sana.
Kini harapan mulai menyentuh mereka. Adanya harapan inilah,
barangkali, yang menyebabkan sebagian warga Wonogiri enggan
bertransmigrasi dan lebih senang menggeser. Sakimin, misalnya,
setelah mendapat ganti rugi Rp 1,4 juta, pindah ke Solo. Setelah
beli rumah dan pekarangan, ayah 3 anak ini masih punya sisa uang
untuk membeli sepeda motor. Ia kini memburuh di pabrik batik.
Dan Sakimin punya gagasan baik. "Kalau nanti panen saya baik,
saya mau beli kolt. Orang Solo pasti banyak yang kepingin piknik
ke waduk," katanya gembira.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini