RATUSAN petugas, terdiri dari polisi, tentara, hansip, mengepung
bangunan besar di sebidang tanah di Blok Belimbing dan
Sumurturi, Begitu perintah uru Sita Pengadilan Negeri Serang
(Jawa Barat) turun, siang 17 November lalu, sebuah buldoer
mulai menggusur sederetan kios dan rumah tinggal.
Dltonton sekitar seribu penduduk kedua kampung itu, sebelumnya
petugas telah menyeret satu-persatu para penghuni yang dianggap
bandel, tak mau mematuhi perintah pengadilan. Seorang kakek,
bersama tiga istri dan 26 cucunya, digusur ke luar dari rumahnya
secara paksa. Dengan demikian, berakhirlah sebuah perkara
panjang, yang berusia sekitar 22 tahun!
Kakek Aslah memang pihak yang kalah. Yang menang ialah ahli
waris Haji Arsad yang mulai menggugat haknya sejak 1959. Semula,
begitu cerita yang ruwet itu mulai, Haji Arsad membeli sebidang
tanah dari seseorang (1952). Namun, tanpa sepengetahuannya, anak
bekas pemilik tanah, Iskak, menjual tanah yang sudah bukan
miliknya kepada Haji Aslah. Tim bullah sengketa.
Belum lagi perkara putus, Arsac terbunuh, ketika tiba-tiba
rumahnya diserbu perampok. Perkara jadi gugur. Namun anak
mendiang, Mukmin (kini berusia 52 tahun), melanjutkan gugatan
orang tuanya. Sementara di aras tanah yang dipersengketakan
telah dibangun beberapa rumah dan sampai saat terakhir
berkembang menjadi kios-kios serta sejumlah kamar sewaan.
Kedua pihak sama-sama menggunakan upaya hukum. Putusan
pengadilan pertama jatuh, 1970, memenangkan Aslah. Ahli waris
Arsad, Mukmin, naik banding dan Pengadilan Tinggi di Bandung
memenangkannya--seraya memerintahkan Haji Aslah dan penghuni
lainnya mengosongkan rumah mereka. Keputusan tersebut dikuatkan
keputusan kasasi Mahkamah Agung (1975).
Meski keputusan telah mempunyai kekuatan hukum pasti, begitulah
kenyataannya, perkara masih terus berjalan berliku-liku. Aslah
masih terus mencoba menggunakan segala upaya hukum. Sekali wakru
permohonan peninjauan kembali perkaranya diterima Pengadilan
Tinggi yang pernah mengalahkannya. Namun Mahkamah Agung tetap
menganggapnya di pihak yang kalah.
Sampai-sampal untuk mempertahankan tanah sengketa tersebut,
Aslah pernah dihukum 4 bulan penjara. Ia dipersalahkan
memalsukan surat perintahMahkamah Agun' untuk menunda eksekusi.
Menurut keterangan Aslah, seperti dinyatakannya kepada hakim
ketika itu, yang memalsukan surat Mahkamah Agung sebenarnya
seseorang yang mengaku wartawan dari Jakarta.
Eksekusi tertunda terus--disela berbagai ikhtiar Asiah
memenangkan perkara. Adalah Mukmin, berbekal keputusan
pengadila, keluar-masuk pintu berbagai instansil Mulai
menghadap para Hakim Agung, pejabat Departemen Kehakiman, Dalam
Negeri sampai ke DPR. Sia-sia. Sampai kemudian keluhannya
ditampung Kopkamtib.
Operasi Tertib Pusat (Opstibpus) menurunkan seorarg perwira ke
Serang. Menurut Mukmin, langkah pertama opstib ialah membuka
jalan damai, melalui perundingan di pengadilan. "Eksekusi
damai," katanya, sulit dicapai. Soalnya, menurut Mukmin lagi,
Aslah mau tetap tinggal di tempat, tapi tak mau membayar
kepadanya Rp 10 ribu untuk setiap meter persegi tanah yang
dipersengketakan.
Aslah hanya berani membayar Rp 625/mÿFD. Paling tinggi ia hanya
mau membayar Rp 2.500/mÿFD -- itu pun dengan cara mengangsur
selama setahun. Mukmin, merasa di atas angin, menolak penawaran
lawannya. Ia tetap menuntut eksekusi sebagaimana mestinya: Aslah
dan penghuni lainnya harus angkat kaki dari Blok Belimbing dan
Sumurturi.
Ketua Pengadilan Negeri Serang, B.E. D. Siregar, sependapat
dengan Mukmin. Keputusan pengadilan yang sudah mempunyai
kekuatan hukurn tetap, katanya, "tidak bisa diganggugugat siapa
pun meskipun ia mempunyai andalan dari pusat." Siregar tak
menyebut siapa "andalan dari pusat" yang menghambat eksekusi.
Namun, katanya lagi, eksekusi yang sedianya berlangsung sekitar
empat tahun lalu itu dijegal "kekuatan" dari luar pengadilan.
Pelaksanaan putusan pengadilan lancar. Pengacara Mangaranap
Tambunan, yang mendampingi Aslah, masih mencoba membujuk agar
pengadilan menunda eksekusi -- sehari pun jadi. Tapi pengadilan
tak mau mundur. Ratalah sudah sengketa tanah yang panjang
tersebut.
Aslah, purnawirawan polisi, kehilangan rumahnya. Lenyap pula
penghasilannya dari 18 kios dan 24 kamar sewaannya. Adilkah
putusan pengadilan? "Maaf, saya tak mau diganggu," begitu jawab
Aslah kepada TEMPO.
Mudjono SH, kini Ketua Mahkamah Agung, mengakui kasus terang
itu sebagai salah satu tunggakan perkara yang belum sempat ia
selesaikan. Ketika masih menjadi Menteri Kehakiman ia memang
bertekad menyelesakan tunggakan-tunggakan perkara yang cukup
banyak waktu itu. Kasus Serang itu tertunda sampai sekian lama,
menurut Mudjono, karena Ketua Pengadilan Negeri Serang waktu itu
"terlalu lemah".
Sehingga, katanya, ia sampai mengirim surat kepada Kopkamtib
agar turut menyelesaikan. Ditambah dengan sikap Ketua Pengadilan
Negeri Serang yang baru, yang dinilai Mudjono cukup tegas, maka
eksekusi pun berlangsung.
Dari sekitar 9.000 tunggakan perkara yang harus dirampungkan
Mudjono ketika masih menjadi Menteri Kehakiman, sampai sekarang
diakuinya belum seluruhnya selesai. Sebab, tambahnya, "dengan
bantuan Operasi Kikis, 9.000 perkara itu baru selesai dalam
waktu 7 tahun." Ia tak menyebut berapa banyak yang telah
diselesaikan sebelum ia diangkat menjadi Ketua Mahkamah Agung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini