KKM itu memang ada, kata kepala dinas kesehatan. Itu hanya KKM
semu, jawab Bupati Gunung Kidul. Yang ada, kata Kepala Bulog,
adalah penderita kekurangan gizi. Karena itu Presiden Soeharto
menginstruksikan agar gizi masyarakat di beberapa kecamatan
daerah itu diperbaiki dengan menyiapkan persediaan beras.
Dr. Slamet Tjitrowidjojo, Kepala Dinas Kesehatan Gunung Kidul,
memang punya alasan. Seseorang dikatakan KKM atau tidak, kata
dr. Slamet, dilihat dari segi persediaan pangan yang terbatas
dan keadaan fisiknya. Seseorang disebut KKM, tambahnya, bila
persediaan pangannya tinggal untuk satu bulan dan keadaan
fisiknya kurang baik.
Di Gunung Kidul dua kali dalam setahun selalu diadakan
penelitian adanya KKM atau tidak, yaitu menjelang masa paceklik
(Juni sampai Agustus) dan menjelang panen (Januari sarnpai
Maret). Pihak Dinas Kesehatan Gunung Kidul yang mendapat tugas
melakukan penelitian itu (dari hasil penelitian Juni hingga
Agustus 1981) akhirnya melaporkan, terdapat lebih dari 1.500
orang menderita KKM, tersebar di beberapa kecamatan. Laporan itu
juga menyebut keadaan kesehatan penderita yang kuran baik.
Laporan itu, sebagairnana biasanya dikirim ke Kanwil Depsos D.l.
Yogyakarta untuk dimintakan bantuan pangan untuk mengatasinya.
Sayang, bantuan itu terlambat sampai di tujuan. Akibatnya
persediaan makan bagi mereka yang disebut sebagai KKM tadi makin
menipis. Seharusnya, menurut dr. Slamet, "begitu ditangani dan
dilaporkan adanya KKM, bantuan terus datang." Dua pekan lalu,
bantuan itu, berupa Bantuan Presiden, akhirnya datang juga.
Dijual
Meskipun demikian, Bupati Gunung Kidul, Darmakum, menolak
kebenaran ada KKM di wilayahnya. Yang ada, katanya, adalah
penduduk yang kekurangan gizi atau KKM semu. Malahan kepada
Presiden Soeharto yang memanggilnya dalam peresmian Waduk
Wonogiri pertengahan bulan ini, Darmakum melaporkan pengadaan
beras di kabupatennya tahun ini melampaui target. Ia juga
menyebutkan, 60% hasil gaplek Gunung Kidul yang rata-rata
400.000 ton setahun, selama ini diangkut ke Cilacap untuk
diekspor ke Australia.
Kalau memang tak ada KKM dan target pengadaan beras terlampaui,
mengapa masih minta bantuan? "Kami hanya berusaha memanfaatkan
bantuan, sebagai usaha pencegahan," jawab Bupati Gunung Kidul.
Selama ini Depsos memang selalu menyediakan bantuan itu.
Barangkali karena bantuan itu, Mantri Tani Kelurahan Banyusoco,
Ngadiman, mengakui para petani umumnya memang menyimpan beras,
bahkan memiliki juga sapi dan kambing. "Tapi beras itu mereka
jual untuk membeli gaplek," tutur Ngadiman. Menurut Ngadiman
yang juga menjadi anggota Tim Perbaikan Gizi Banyusoco, "mungkin
karena itu banyak di antara mereka yang lapar gizi."
Hampir separuh dari sekitar 600.000 jiwa penduduk Gunung Kidul
memang makan gaplek. Nasi mereka jadikan sebagai makanan
selingan, atau sebagai pencampur nasi. Selain kebiasaan, hal itu
juga karena daya beli mereka masih terbilang rendah. Di
Banyusoco misalnya, saat ini harga beras tercatat Rp 240 per kg,
sedang gaplek hanya Rp 25/kg. Di kelurahan yang terletak di atas
gugusan Pegunungan Seribu ini terdapat 9orang yang dilaporkan
menderita KKM.
Berita tentang kelaparan, rawan pangan atau kekeringan, bukan
hal baru dari daerah ini. Sejak penanggulangan KKM maupun HO
yang digalakkan pada 1969, sekurang-kurangnya sudah dua kali ini
berita KKM Gunung Kidul menggegerkan. Pertama kali pada 1974,
ketika seorang dokter yang bertugas di sana, dr. Pacar,
mengungkapkan data-data KKM kepada wartawan. Akibatnya ia
dipindahkan dari Gunung Kidul.
Dan geger KKM sekarang ini, benar atau tidak, yang penting
menurut Bupati Darmakum, "Presiden Soeharto sudah mengetahui
keadaan Gunung Kidul." Menurut Presiden, kata Darmakum, "Gunung
Kidul sudah berhasil--penghijauan baik, pangan baik." Tak lupa
bupati itu menyebut anjuran Presiden agar gizi masyarakat daerah
itu diperbaiki dengan beternak kelinci.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini