MUSIM panen cengkeh di Minahasa tahun ini jatuh bulan Juli
hingga Oktober nanti. Desa-desa di kawasan itu sekarang sedang
sibuk memetik biji cenkeh di perkebunan masing-masing Rame-rame
pata cingke itu ternyata bukan hanya mendorong naiknya
harga-harga barang (lihat box), tapi juga turunnya pamor Heintje
Kaurow. Menjelang panen bupati Minahasa itu menurunkan surat
keputusan nomor Ekon. 5/1/10/ 73, "Untuk mengarahkan hasrat para
petani cengkeh berpartisipasi dalam lembangunan daerah, perlu
dibentuk team buat menampung sebagian hasil panen untuk
dimanfaatkan dalam berbagai proyek". Demikian antara lain bunyi
instruksi tanggal 12 Juni 1973 itu. Dan berbareng dengan
dimulainya panen, DPRD pun buru-buru dirnintakan persetujuannya.
Hukum Tua. Reaksi pertama tentu saja datang dari parapetani.
Barangkali demikian kerasnya itu reaksi hingga tak urung tembus
juga ke telinga HV Worang. Maka gubernur Sulawesi Utara ini pun
segera menulis instruksi. "Berdasarkan laporan, ternyata
pelaksanaan pemungutan-yang disebut 'partisipasi' dalam
pembangunan daerah dari petani cengkeh tak sesuai dengan lapran
yang saudara sampaikan", bunyi pokok instruksi nomor Ekdag.
5/1/41/73 itu. Yang dimaksud dengan tak sesuai, rupanya adalah
cara-cara paksaan seperti yang terungkap dalam bagian lain dari
instruksi tanggal 31 Juli - 1973 itu. Bunyinya: "laporan
pengambilan secara paksa sampai 7% dari seluruh hasil cengkeh
kering. Malahan pada beberapa desa lebih dari 7%".
Jumlah prosentase 7% tampaknya tidak seberapa. Kalau panen tahun
ini diperkirakan mencapai 10 ribu ton, maka 7% berarti 700 ton.
Dan kalau harga terendah sudah mencapai Rp 1.000 ller kilogram,
berarti uang yang terkumpul bisa meliputi Rp 700 juta. Jumlah
yang bisa bikin pembangunan Minahasa benar-benar manyala. Jadi
kalau tak ada pungutan yang 7%, maka seluruh kekayaan petani
Minahasa dari hasil panen cengkeh akan mencalpai jumlah Rp 10
milyard. Ini dihasilkan dari 1.068.753 batang pohon cengkeh yang
berbuah. Tahun depan mungkin akan lebih produktif lagi, menginat
pohon cengkeh yang tumbuh akan bertambah lagi menjadi 1.973.501
batang.
Malang bagi bupati. Rupanya bukan sekedar pungutan saja yang
harus dihentikan. Dalam instruksi kedua tanggal 1 Agustus 1973
nomor Ekdag. 5/1/42/1973, gubernur menghendaki agar bupati
"segera mengembalikan buah cengkeh yang telah terkumpul kepada
petani yang bersangkutan". Agaknya Heintje lupa bahwa dalam hal
pungut-memungut, sudah ada ketentuan tersendiri dari pusat.
Jelasnya, pungutan-pungutan itu tak boleh menyimpang dari
ketentuan yang berlaku. Maka buru-burulah bupati
menyebar-luaskan kedua instruksi gubernur ke sehlruh camat dan
hukum alias lurah di wilayahnya, dalam sebuah rapat kilat yang
khusus diselenggarakan untuk itu.
Tanpa Bekas. Lalu bagaimana suara DPRD Minahasa yang terlanjur
mendukung SK bupatinya? Jauh sebelumnya konon mereka telah
menduga nasib SK itu. "Tapi kami ak bisa berbuat apa-apa", sahut
salah seorang wakil rakyat. "Waktu bupati minta dukungan, yah
kami mendukung saja. Walaupun dalam hati berkecamuk keinginan
untuk mem bicarakannya dalam sidang komisi untuk kemudian
diplenokan". Akan dukungan itu, diberikan secara buru-buru pula.
Sebab konon Kaurow suka menarik beslit anggota Dewan yang berani
mengkritik kebijaksanaannya. Misalnya yang pernah dialami oleh
enam anggota, yang kemudian diralat setelah meliwati upaya
penjernihan.
Tapi menilik kesukaan para petani berboros-boros menghamburkan
uang hasil panen hingga mendorong naiknya barang-barang,
kebijaksanaan bupati Minahasa Heintje Kaurow itu nampaknya ada
juga benarnya. Dan kenaikan hargaharga barang itu niscaya sangat
sulit dikendalikan terutama pada saat-saat menjelang puasa,
lebaran, natal dan tahun baru. Minimal awal tahun depan
diperkirakan harga-harga akan tetap bertahan nun.di puncak sana.
Ertahlah, apakah bupati juga sudah memperhitungkannya dari sudut
ini. Sebab setelah panen usai, para petani tak punya apa-apa
lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini