MUSIM panen cengkeh telah membuat desa-desa Minahasa vang semula
sunyi mendadak berpesta-pora. Sejak pagi-pagi para pemetik sudah
berangkat ke perkebunan. Para pedagang pun tak ketinggalan.
Mereka tawar-menawar di bawah pohon cengkeh. Itu pagi hingga
sore. Malamnya bak pasar malam. Para petani ramai-ramai
menunggui kebunnya, jangan sampai cengkehnya dipetik oleh orang
yang tak berhak. Sehari-hari para pemilik kebun cengkeh mengeluh
sulitnya mencari tenaga pemetik. Barangkali karena perbandingan
yang tak seimbang antara jumlah kebun cengkeh dan tenaga yang
tersedia. Ada tenaga pemetik berarti keterlambatan panen. Dan
biji yang terlambat dipetik akan segera tumbuh menjadi bibit.
Sebaliknya, keburu dipetik untuk buru-buru dikeringkan, akan
merlurunkan kwalitas pula. Dalam hal menurunnya kualitas, petani
juga dihantui oleh hujan yang akhir-akhir ini banyak tercurah di
sana. Hingga biji cengkeh tak sempat kering. Ini berarti rugi
melulu.
Lepas dari soal kwalitas, ada pula petani yang jauh-jauh hari
sudah mengijonkan cengkehnya. Pada musim panen seperti sekarang
ini, mereka tinggal menjadi penonton saja. Dengan hati
dag-dig-dug mereka menyaksikan cengkeh di perkebunannya dipetik
oleh pemetik-pemetik sewaan si pengijon yang pada umumnya
takmengindahkan cara-cara yang lazim. Mereka memetik berikut
rantingnya sekaligus. Padahal ranting inilah tempat munculnya
biji cengke di masa berbuah kelak. Dalam hal ini, ada tarif
tersendiri. Sekalipun harga cengkeh kering pada musim panen bisa
mencapai Rp 1.000 sampai Rp 1.300 sekilogram,,tapi pada musim
ijon meraja-lela bisa jatuh antara Rp 250 sampai Rp 700 saja
Variai harga ini ditentukan pula oleh semakin mendekatnya masa
panen. Kalau sudah demikian, maka tampillah Cina-Cina mengecap
hasil panen sebagai pedagang monopoli. Ngerinya ,lagi, sekarang
mereka bukan saja mengincar biji-biji cengkeh, tapi sekaligus
juga kebun-kebunnya.
Bir-kalengan. Bagi penduduk yang tak memiliki perkebunan,
pembicaraan berkisar pada kian menaiknya harga-harga - barang.
Terutama pada saat panen mulai merata di seluruh Minahasa, di
mana volume uang yang beredar semakin besar. Boleh dikata,
seorang murid SD kelas II selalu memiliiki lembaran-lembaran
ribuan di kantongnya. Belum lagi yang berjubel di kocek para
petani yang biasanya lalu berbondong turun ke kota, terutama
Menado. Tentu saja harga barang otomatis naik. Dan penduduk yang
tak memiliki kekayaan hasil panen cengkeh, terkena getahnya
pula.
Kelakuan suka berboros-boros ini rupanya dilihat pula oleh
Worang. Tak ayal lagi, gubernur pun berseru agar mereka
membatasi diri. Tapi apa boleh buat. Seruan semacam itu
tenggelam dalam bisingnya lagu-lagu yang muncrat dari pick up
atau tape recorder berbagai merk yang menghias setiap gubug
petani. Apalagi mereka pun tenggelam pula dalam gemuruh
pesta-pora, bergelimang bir kalengan atau minuman keras impor
lainnya, plus kepulan asap rokok luar negeri. Tak ketinggalan
adalah muda-mudinya. Mereka seolah berlomba memborong aneka-rupa
pakaian. Tentu saja yang bagus-bagus dan mahal. Walhasil,
pedagang mana yang tak ingin menaikkan harga? Kalau saja ada
yang menjual televisi, para petani pun tentu akan membelinya
pula. Bayangkan saja, sekalipun di sana listrik masih langka,
mereka toh tak sedikit yang memiliki lemari es. Entah buat apa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini