Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hawa dingin malam menusuk tulang anak buah kapal tanker MT Pematang ketika nakhoda baru saja menurunkan perintah lempar jangkar. Di perairan Pulau Berhala, Selat Malaka, kapal menunggu masuk Pelabuhan Belawan, Medan, Sumatera Utara.
Belum lagi rokok habis diisap para awak, sebuah kapal lain mendekat. Segerombolan orang memanjat dinding kapal, lalu menerobos masuk. Bersenjata senapan serbu, mereka langsung menuju ruang kemudi dan menodongkan senjata, lalu meminta uang.
Beruntung, masih ada mualim yang tak disekap. Dengan telepon satelit, dia mengontak nomor hotline markas Armada Kawasan Barat TNI-AL di Gunung Sahari, Jakarta. "Kapal kami disandera di Pulau Berhala," ujarnya sambil menyebut nama kapal dan posisi koordinat.
Perwira piket di Pusat Kendali Operasi Armada Barat segera mengontak kapal patroli terdekat. Nasib baik, ada KRI Karel Sasuit Tubun, yang tengah berpatroli kira-kira 80 mil laut dari lokasi. Kebetulan pula: KRI ini bermesin baru sehingga segera bisa dipacu 21 knot. Empat jam kemudian, MT Pematang pun terlihat.
"Ini KRI, ini KRI," kata Letkol Laut (P) Taufik, kapten kapal KRI Karel Sasuit Tubun, menghubungi mualim dengan telepon satelit. Namun tak ada jawaban, meski telepon diangkat. Dari berisik telepon, terdengar suara orang mendikte. Taufik mengirim dua sekoci dengan 10 personel bersenjata senapan AK-47. Pasukan lalu merayap naik dan, tanpa diketahui pembajak, berhasil mengevakuasi beberapa anak buah kapal.
Pembajak yang tersisa terlibat baku tembak dengan aparat. Hasilnya, tiga tewas dan dua lainnya terjun ke laut. Menjelang pagi, kapal bisa dikuasai dan tak seorang pun anak buah kapal MT Pematang terluka.
Drama yang terjadi awal bulan lalu itu hanya secuil kisah perompakan di Selat Malaka. Data Polisi Perairan Mabes Polri menyebutkan dalam empat bulan terakhir ada 19 kasus perompakan di seluruh Indonesia, 15 di antaranya di Selat Malaka. Pada 2003, terdapat 68 kasus perompakan dan 30 kasus terjadi di selat yang memisahkan Pulau Sumatera dan Semenanjung Malaka itu. Padahal di perairan sepanjang 800 km itu hilir-mudik 50 ribu kapal setiap tahunnya. Jumlah itu merupakan sepertiga dari perdagangan dunia dan 80 persen di antaranya merupakan kapal minyak dari Timur Tengah menuju Jepang.
Angkernya selat ini yang menjadi alasan Biro Maritim Internasional (IMB) menempatkan Selat Malaka sebagai daerah hitam (black area). Memang tidak tercatat korban jiwa karena perompakan, tetapi kerugian yang diakibatkannya membubung hingga ratusan miliar rupiah.
Yang juga ketar-ketir adalah Singapura. Maklum saja, banyak kapal yang melintas melego jangkar di Negara Singa tersebut. Menganggapnya bagian dari terorisme, Singapura berharap Marinir Amerika bisa ikut mengamankan kawasan Selat Malaka?sesuatu yang mentah-mentah ditolak Malaysia dan Indonesia. Selasa lalu Indonesia dan Malaysia mengadakan pertemuan di Hotel Kuta Paradiso, Bali. Menurut ketua delegasi Indonesia, Mayor Jenderal TNI Adam Damiry, dalam pertemuan itu dibicarakan kemungkinan penerapan konsep maritime regional security initiative (MRSI) guna mencegah berkembangnya aksi terorisme.
Tapi, siapa para lanun yang meresahkan itu?
Sejauh ini diketahui ada tiga kelompok yang bermain. Mereka adalah perompak Gerakan Aceh Merdeka, dengan daerah operasi sepanjang Selat Malaka dari Aceh sampai Sumatera Utara. Kelompok inilah yang disinyalir menggasak kapal tanker MT Pematang, meski Panglima GAM wilayah Peureulak, Ishak Daud, membantahnya. "Laut sudah dikuasai TNI. Kalau kami dituduh, ajukan saja ke Mahkamah Internasional. Kami hanya kambing hitam," katanya.
Kelompok kedua adalah kelompok yang biasa beroperasi di sekitar Batam, di Selat Phillip, dan Selat Singapura. Dan yang terakhir adalah kelompok yang beroperasi di sekitar Palembang dan Selat Bangka, Sumatera Selatan.
Panglima Armada Kawasan Barat TNI-AL, Laksamana Muda Y. Didik Heru Purnomo, menyebutkan modus yang biasa dipakai perompak adalah dengan merampas kapal nelayan. Mereka biasa menakut-nakuti kapal dengan menembakkan senapan ke udara. Dengan kapal itu, mereka mencari korban yang lebih besar, seperti kapal dagang ataupun tanker. Selain merampas barang berharga, mereka juga meminta uang tebusan yang jumlahnya bisa mencapai miliaran rupiah.
Angkatan Laut sebenarnya terus memelototi kawasan sekitar Belawan. Sebab, ada dua kawasan yang paling dicurigai sebagai tempat perompak GAM, pertama di Tanjung Jambu Air, Aceh, dan lainnya di perairan Berhala dekat Belawan. "Tapi kami sulit memastikan adanya perompak GAM lantaran di sepanjang pantai timur Aceh sangat banyak terdapat muara sungai asal nelayan melaut," ujar Didik.
Dugaan keterlibatan gerilyawan GAM sebetulnya bukan tanpa bukti. Dari para korban perompakan, Polisi Perairan Mabes Polri menemukan surat edaran yang dikeluarkan Panglima GAM wilayah Medan Deli. Surat dalam bahasa Aceh yang berkop Acheh Sumatra National Liberation Front (ASNLF) itu ditujukan kepada para tekong dan majikan pemilik kapal. Intinya, mereka diminta memiliki semacam "surat izin berlayar" yang dikeluarkan GAM. Tanpa surat itu, mereka harus berurusan dengan Bagian Keuangan Komando Pusat GAM di Pase.
Berbeda dengan kelompok GAM, kelompok kedua yang beroperasi di Selat Phillip dan Selat Singapura mengincar kapal-kapal asing yang hendak masuk ke pelabuhan Singapura. Baru-baru ini Polisi Perairan Polda Riau membekuk komplotan Slamet bersama lima anak buahnya. Namun, walaupun kerap beraksi, mereka tak terlalu berbahaya karena hanya bersenjata tajam dan hanya mengambil barang berharga dan brankas di ruang nakhoda.
Karena ketatnya pengawasan dari pemerintah Singapura dan Indonesia, di sini sebetulnya jarang terjadi aksi perompakan. Dalam lima bulan terakhir hanya ada dua kasus. Itu pun semua dapat diungkap oleh polisi. Satu di antaranya adalah komplotan Slamet, yang kini mendekam di tahanan polisi perairan di Tanjung Batu, Riau Kepulauan.
Sebelumnya juga beraksi komplotan Anderson dan Zulkarnaen, yang memilih lokasi di sekitar Pulau Kentar dan Senayang. Komplotan ini dikenal sebagai perompak bertopeng karena setiap beraksi memakai penutup muka.
Di masa lalu, kawasan ini memang dikenal memiliki perompak ulung, terutama mereka yang berasal dari Pulau Babi, sekitar satu jam dari Pulau Batam. Di tahun 1990-an, di pulau yang dulunya bernama Pulau Mat Belanda ini?nama diambil dari penghuni orang Belanda?ada dua tokoh perompak legendaris, Syaful Rozi dan Rohman, yang pernah hidup.
Tahun 1994, Tim Gegana Polisi menciduk semua anggota komplotan. Saat ini cerita Pulau Babi sebagai sarang perompak pun lenyap sudah (lihat Duta Perompak Pulau Babi).
Kelompok yang dikenal paling kejam adalah perompak dari Palembang. Meski tak sesering yang terjadi di Kepulauan Riau, kelompok ini tak segan melukai korban. Dalam empat bulan terakhir tercatat dua kasus perompakan di Selat Bangka. Sebelumnya, pada tahun 2003 tercatat ada delapan kasus perompakan di sepanjang perairan Sumatera Selatan.
Kasus terakhir adalah komplotan Kapten Buang, yang merompak kapal MT Tirta Gama yang mengangkut minyak sayur 2.000 ton. Komplotan Buang terdiri dari 20 orang, bersenjatakan tiga pistol rakitan, senjata golok, dan parang. Seperti diceritakan Tarnadi alias Adi, anggota komplotan yang kini mendekam di tahanan Polda Sumatera Selatan, mereka beraksi pada 24 April lalu dengan target minyak sayur (palm oil), CPO, dan kapal tanker Pertamina. "Ini komoditas yang bagus di pasaran," kata Inspektur Satu Sahrul Bawadi, anggota buru sergap yang berhasil membekuk Adi.
Kepada TEMPO, Taryadi berkisah. Katanya, setelah melalui perencanaan matang, kawanan berangkat merompak pada tengah malam 23 April 2003. Dua speedboat dengan 20 anggota kelompok meluncur membelah Sungai Musi dengan tujuan Selat Bangka. Tepat di Tanjung Buyut, perahu mereka berhenti. "Kami menunggu sekitar dua jam," ceritanya.
Tak lama kemudian kapal MT Tirta Gama, yang membawa 2.000 ton minyak sayur, mendekat. Kapal yang membawa barang milik PT Sinar Alam Permai ini bertolak dari Palembang menuju Cirebon. Kapal dinakhodai Murto Asmono dibantu 18 ABK.
Sekitar pukul 24.00, Kapten Buang memerintahkan dua speedboat memepet kapal korban. Seperti dalam adegan film laga, mereka menaiki dinding kapal dengan seutas tambang. Tim pelumpuh 16 orang segera sampai di palka. Target utama adalah ruang nakhoda.
Di bawah todongan pistol terkokang dan acungan parang, kapten kapal menyerah. Dengan tangan terikat, nakhoda diperintahkan mengumpulkan semua ABK untuk diikat dan dimasukkan dalam satu kamar. Tidak ada darah yang tercecer.
Haluan kemudian dibelokkan menuju perairan Malaysia. Selama tiga hari, kapal berada di tangan perompak. Malam ketiga, datang dua kapal lain yang mengawal kapal besar bernama MT Soraya. Isi kapal rampokan kemudian dipindah ke kapal yang baru. "Dibutuhkan waktu delapan jam untuk memindahkan seluruh muatan," kata Adi.
Malang bagi Adi, belum lagi puas menghabiskan Rp 50 juta uang hasil kejahatannya, ia keburu dicokok polisi. Aparat curiga ketika di kampungnya di Ogan Komering Ilir pengangguran itu memborong dua motor.
Kisah dramatis lain terjadi sebulan kemudian, tepatnya 22 Mei lalu. Perompakan terjadi di Tanjung Lelari, Selat Bangka. Kali ini yang menjadi korban adalah kapal Royal Palma, yang mengangkut minyak sawit mentah. Kapal dibajak dan penjaganya, Brigadir Satu Sugeng, ditembak. Perompak pun berhasil merampas kapal dan senjata Sugeng. Kasus ini sudah dapat diungkap, walau belum semua perompak diciduk polisi. Senjata serbu pun sudah ditemukan aparat.
Di Laut Malaka, armada Kapten Hook?tokoh bajak laut dalam cerita Peter Pan?berjaya. Sementara itu, TNI Angkatan Laut dengan personel dan persenjataan yang terbatas tak bisa berbuat banyak. "Kami membutuhkan 38 kapal patroli lagi agar bisa membagi selat sepanjang 613 mil dalam 12 sektor," kata Didik Heru Purnomo. Tanpa itu semua, "Mencari orang di Pasar Senen saja susah, apalagi di lautan," ujar Didik bertamsil.
Edy Budiyarso (Jakarta), Arif Ardiansyah (Palembang), Rumbadi Dalle (Batam)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo