Karsan baru saja memerintahkan anak buahnya menyalakan lampu sorot ketika seorang kelasi kapal motor Tunggal Jaya Abadi itu mendatanginya di ruang kemudi. "Ada kapal mendekat, Bos," kata sang kelasi.
Malam telah larut di perairan Pulau Belitung, Sumatera Selatan, 11 Mei lalu. Tak sedikit pun terbetik rasa curiga pada diri Karsan atas kabar anak buahnya itu. Pria ramping 54 tahun itu memang telah ratusan kali melayari perairan di sana.
Bahkan, ketika dari kapal kecil yang datang itu beberapa lelaki berloncatan ke geladak kapalnya, ia pun hanya memandang sekilas. "Saya pikir mereka hanya petugas yang memeriksa kelengkapan surat-surat," kata sang nakhoda kepada TEMPO.
Tapi, ketika Karsan turun dari ruang kemudi, tiba-tiba ada sesuatu yang dingin menempel di lehernya. Golok. Sepucuk pistol di tangan seorang laki-laki juga teracung mengarah ke dadanya. "Saat itulah saya sadar, kami dirompak," ujar Karsan. Dengan kondisi seperti itu, tidak banyak pilihan yang dimiliki Karsan kecuali diam menunggu. Apalagi ketika ternyata hampir semua pembajak memegang senjata api, termasuk senapan laras panjang.
Lelaki berpistol itu lalu membentak semua kru Tunggal Jaya supaya berkumpul di geladak. Karsan menurut. Ia memperkirakan ada 12 orang lanun yang beroperasi: tiga di antaranya berjaga-jaga di kapal mereka sendiri.
Sembilan yang lain mengikat tangan dan kaki Karsan serta dua puluhan orang anak buahnya. Tidak banyak yang terekam di benak Karsan ketika para perompak itu beraksi. "Golok yang tetap menempel di leher membuat saya sukar memalingkan muka," tuturnya. Sebagai nakhoda, hanya dialah yang terus-menerus ditempeli parang.
Yang ia ingat betul, sebagian besar perompak bercelana loreng seperti pakaian seragam lapangan tentara. Selain itu, pistol yang teracung padanya bukanlah dari jenis revolver. "Itu pistol bermagasin. Modelnya juga kelihatan baru," cerita Karsan.
Dua orang anak buah Karsan, Zaenuddin dan Sipur, mendapat pengalaman lain. Ketika kapal digerebek, keduanya sedang memandang bintang di atap kapal berlunas 15 meter itu. "Itu kebiasaan kami untuk membunuh waktu dan kerinduan pada keluarga," kata Zaenuddin. Sebelumnya mereka juga diperintah oleh nakhoda agar menghidupkan lampu sorot untuk memancing ikan datang. Dari atap kapal, keduanya melihat para perompak berloncatan. "Secara refleks, kami langsung tiarap, sembunyi," kata Sipur.
Ketika semua awak kapal Tunggal Jaya dikumpulkan, Zaenuddin dan Sipur masih menggigil di persembunyian. Kami melihat kawan kami dipukul, ditendang, dan dibacok hanya karena mereka dianggap lamban," kata Zaenuddin. Saat perompak memerintahkan awal kapal berkumpul, Zaenuddin mendengar pimpinan kawanan itu bicara tidak lagi menggunakan bahasa Indonesia, "Tetapi satu bahasa daerah Sumatera," kata Zaenuddin.
Karena mereka berbahasa daerah itulah muncul insiden. Pimpinan kawanan meminta Karsan mematikan lampu sorot. Tampaknya ia khawatir kehadiran mereka diketahui nelayan atau kapal lain yang kebetulan lewat. Karsan tak paham dan balik bertanya, "Apa sih, Pak?" Hanya sedetik, parang melesat ke bagian kiri wajah Karsan. "Beruntung saya sempat berkelit dan hanya mengalami luka kecil," kata Karsan. Ketika golok hendak sekali lagi ditebaskan, seorang anggota kawanan memberi tahu bahwa Karsan tak paham bahasa mereka. Karsan pun lolos dari elmaut.
Tak ada negosiasi apa pun antara Karsan dan para perompak. Selain karena kendala bahasa, para perompak memang tidak memberi kesempatan untuk itu. "Saya hanya bisa pasrah," kata Karsan.
Di atap, Zaenuddin dan Sipur tak lama bisa berleha-leha. Ketika salah seorang perompak naik ke atap untuk mencopot antena navigasi, ia memergoki mereka. "Dia marah. Kami dipukuli sebelum digabung dengan teman-teman yang lain," kata Sipur.
Sambil berlinang air mata, Zaenuddin bercerita kepada TEMPO bahwa seluruh harta milik mereka lalu digasak. Televisi, pemutar cakram VCD, peralatan navigasi seperti kompas, tiga jeriken minyak goreng, aki, bahkan isi kantong para awak Tunggal Jaya pun dikuras tandas. "Uang cadangan Rp 500 ribu, uang pribadi Rp 300 ribu, KTP, dan surat izin nakhoda pun mereka sikat," kata Karsan. Demikian pula semua pakaian yang ada di kapal. Mereka benar-benar hanya menyisakan pakaian yang melekat di badan awak Tunggal Jaya. Tak lupa, juga sekitar 10 liter beras.
Kebengisan kawanan itu tak berhenti sampai di situ. Setelah menguras semua harta, mereka pun menggiring ke-29 awak Tunggal Jaya ke lubang di palka kapal. Asal tahu saja, ini lubang kematian.
Dibuat dari kayu padat pada bagian luar dan berlapis busa setebal 10 sentimeter, lubang berukuran 2,5 x 3 meter itu dilapisi penutup plastik. Lubang ini dibuat kedap udara agar bisa mengawetkan ikan hasil tangkapan selama mungkin. "Saya yakin, jika disekap di sana, tak sampai dua puluh menit kami semua akan mati," kata Zaenuddin.
Beruntung, kawanan itu agak lalai. Begitu Zaenuddin dan Sipur selesai digabungkan, pintu palka tak sepenuhnya tertutup. Ada celah menganga beberapa senti yang membuat udara bisa masuk. "Celah itu juga yang membuat kami bisa keluar," kata Karsan. Mereka pun selamat.
Tidak semua perompak memang sekeji kawanan penggasak kapal Tunggal Jaya. Para lanun yang spesialis merompak kapal-kapal besar biasanya hanya menguras isi kapal, tanpa harus menyakiti awaknya. "Kami tidak akan memakai kekerasan kalau mereka tidak melawan," kata Tarnadi, salah seorang anggota kawanan perompak kapal besar yang tertangkap, kepada Arief Ardiansyah dari TEMPO. Tarnadi belum lagi menikmati semua pembagian hasil rompakannya sebesar Rp 50 juta ketika ia dicokok polisi sebulan lalu. April 2004 ia merompak kapal Tirta Gama, yang bermuatan 2.000 ton minyak sayur.
Dengan atau tanpa kekerasan, dirompak tetap saja menyakitkan. "Kami rugi tak kurang dari Rp 10 miliar," kata Samuel, kepala gudang PT Tirta Eka Sabda, perusahaan distributor minyak goreng untuk wilayah Cirebon. Kapal dengan muatan milik PT Tirta ini sempat dibajak para lanun pertengahan Mei lalu. "Muatannya seberat 2 juta kilogram disedot habis," kata pria kekar yang keberatan menyebutkan nama lengkapnya ini kepada Ivansyah di Cirebon. Di laut, para lanun gelap mata tak pernah pilih bulu.
Darmawan Sepriyossa dan Ari Aji (Tegal)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini