Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RAWANNYA keamanan Selat Malaka rupanya membuat Laksamana Thomas Boulton Fargo gemas. Tanpa tedeng aling-aling, panglima AS di kawasan Asia Pasifik itu menyatakan akan membersihkan selat paling ramai di dunia itu dari berbagai jenis perompakan dan terorisme. Caranya? Ia ingin menerjunkan langsung pasukan negeri Abang Sam, khususnya marinir, di kawasan sepanjang 800 kilometer yang dilintasi 50 ribu kapal barang setiap tahunnya itu.
Seberapa parahkah gangguan keamanan di selat sempit antara Semenanjung Malaka, Singapura, dan Sumatera itu, sehingga AS mau repot-repot menyingsingkan lengan baju untuk mengamankannya? International Maritime Bureau (IMB), yang bermarkas di Kuala Lumpur, melaporkan adanya 75 kasus perampokan bersenjata (armed robbery) dan perompakan (piracy) pada tahun 2000. Kasus ini menurun selama dua tahun berturut-turut menjadi 17 kasus dan 16 kasus, tetapi kemudian meningkat lagi menjadi 28 kasus pada 2003. Dan satuan pengawal pantai TNI-AL, meski sudah dilengkapi kapal patroli cepat jenis Sea Rider yang mampu melaju sampai 60 knot (90 kilometer per jam), dibuat seperti macan ompong dan menjadi bulan-bulanan para perompak.
Apalagi, walaupun kawasan ini terhitung kecil, ternyata hampir sepertiga volume perdagangan internasional dan separuh dari kebutuhan minyak dunia mesti melalui perairan ini. Jadi, soal aman, siapa yang tak mau? Tapi membiarkan tentara Amerika pasang badan dan kokang senjata di sana adalah persoalan yang peka.
Ini bukan kondisi yang mudah diterima oleh Malaysia dan Indonesia, dua dari tiga negara?selain Singapura?yang mengapit langsung selat bersejarah yang sudah dilayari sejak 1.500 tahun silam itu. "Adanya (pasukan) AS justru akan memperbesar potensi konflik dengan penduduk setempat yang mayoritas muslim," ujar Menteri Pertahanan Malaysia, Najib Razak. Ia seperti mengingatkan bahwa persoalan keamanan bukan cuma masalah amunisi, tetapi juga pemahaman kultural.
Antusiasme Fargo untuk menjaga keamanan di Selat Malaka tentu lebih berorientasi pada kepentingan nasional negerinya sendiri. Sebab, setelah terjadi eskalasi serangan teroris terhadap Amerika lewat udara, timbul kekhawatiran serangan seperti itu kini akan dialihkan menjadi teror maritim. Apalagi tentara AS bukannya tak punya pengalaman buruk dengan hal ini.
Pada tahun 2000, kapal USS Cole diserang mendadak ketika lewat di lepas pantai Yaman, menyebabkan 17 pelaut Amerika tewas. Dua tahun kemudian, giliran tanker Prancis, Limburg, yang disodok di tengah laut. Satu orang awak berkebangsaan Bulgaria tewas dan 90 ribu galon minyak tumpah ke lautan bebas, menimbulkan pencemaran lingkungan yang tidak ringan.
Menurut pengamat militer Letnan Jenderal TNI (Purn.) Agus Widjoyo, sebagai negara yang berada di tepi perairan Selat Malaka, Indonesia dan Malaysia sudah sepantasnya menjadi pihak yang paling bertanggung jawab mengamankan selat tersebut. "Jika ada pihak atau negara lain ingin turut serta mengamankan Selat Malaka, kerja sama hanya sebatas meningkatkan kemampuan kedua negara (Indonesia dan Malaysia) untuk menjaga keamanan Selat Malaka," ujarnya kepada Sunariyah dari Tempo News Room.
Ada juga yang berkomentar bahwa keterlibatan AS tak dibutuhkan, karena tingkat kriminalitas yang terjadi di kawasan itu sebenarnya merupakan kejahatan ringan. "Mereka kelas bajing loncat, hanya mengambil komputer atau uang, lalu turun dan lari. Itu pun sambil mengintip, kalau ada petugas, mereka tak berani. Jadi, (keterlibatan AS) itu terlalu berlebihan, kita harus mendudukkan hal ini pada proporsinya," kata Laksamana Muda TNI, Y. Didik Heru Purnomo, Panglima Armada Barat TNI-AL (lihat wawancara: Cari Orang di Pasar Senen Saja Susah, Apalagi di Laut).
Bagaimanapun, celotehan Fargo ada manfaatnya juga. Para otoritas keamanan di kawasan ini seperti tersengat dan akhirnya menggelar sebuah latihan angkatan laut bersama yang diikuti oleh 21 kapal perang dan 1.600 personel dari 18 negara di kawasan Asia Pasifik. Acara yang berlangsung pada 26 April hingga 4 Mei dan dihadiri Kepala Staf TNI Angkatan Laut Laksamana Bernard Kent Sondakh dan Menteri Pertahanan Singapura Teo Chee Hean itu mengadakan latihan penyelaman, pembersihan ranjau laut, dan pemasangan radar di beberapa titik di Selat Malaka.
"Apabila (kita) ingin mengundang negara lain untuk ikut membantu menyelesaikan masalah, kita dapat mengundangnya, tetapi komando pengendalian tetap berada di tangan Indonesia maupun Singapura," ujar Sondakh saat latihan sedang berlangsung di perairan timur laut Pulau Bintan (Riau), yang merupakan bagian dari wilayah Selat Singapura.
Duta Besar Malaysia untuk Indonesia Dato Hamidon Ali mengungkapkan, pemerintahnya memang telah bersepakat dengan AS untuk meningkatkan kapasitas pasukan Malaysia dalam mengamankan jalur perdagangan di Selat Malaka. "Tetapi tidak melibatkan mereka (Amerika) secara fisik," ujarnya saat dihubungi Jumat pekan lalu.
Dato Hamidon menambahkan, kesepakatan di antara kedua negara tercapai saat Fargo berkunjung ke negeri jiran tersebut baru-baru ini. Rencana kerja sama, katanya, antara lain melalui pelatihan kepada aparat keamanan Malaysia.
Pihak Singapura sendiri menyatakan, sampai saat ini belum mengajukan proposal resmi untuk mengundang kehadiran pasukan AS di Selat Malaka. "Kita hanya mau mulai bersama-sama dengan negara pantai," ujar Adrian Chung, Sekretaris Pertama Kedutaan Besar Singapura di Jakarta, saat dihubungi secara terpisah. Ia mengakui, memang ada permintaan Amerika untuk turut menjaga keamanan selat tersebut. Namun pihaknya akan membicarakannya bersama-sama dengan negara yang juga berhak atas pengaturan Selat Malaka.
Namun, menurut Duta Besar RI di Singapura, Mochamad S. Hidayat, "Tidak adil bila kasus-kasus di Selat Malaka seolah-olah ditimpakan ke Indonesia dengan alasan di negara kita banyak terjadi perompakan. Bagaimanapun, Singapura dan Malaysia harus lebih proaktif mengamankannya," katanya.
Menyikapi perkembangan yang bergerak cepat itu, Indonesia dan Malaysia akhirnya mengadakan pertemuan di Hotel Kuta Paradiso, Bali, Selasa pekan silam. Ketua Delegasi Indonesia Mayor Jenderal TNI Adam Damiri mengungkapkan, saat ini berkembang wacana untuk menerapkan konsep Maritim Regional Security Initiative (MRSI) guna mencegah berkembangnya aksi terorisme.
Menanggapi wacana itu, menurut Adam, kedua negara yang memiliki perbatasan laut di Selat Malaka perlu merumuskan strategi bersama. "Apalagi kita sudah sepakat untuk menolak kehadiran armada asing," katanya kepada Rofiqi Hasan dari Tempo News Room. Strategi keamanan itu sekaligus untuk menepis anggapan bahwa Selat Malaka adalah wilayah perairan yang rawan kriminalitas. Padahal, kata Damiri, data intelijen justru menyebut, lalu lintas kapal dagang justru makin meningkat, yang membantah anggapan itu.
Penolakan terhadap kehadiran armada militer asing bukan berarti kedua negara akan melarang kapal militer asing melewati Selat Malaka. Hanya, setiap kali melakukan lintasan, kapal-kapal tadi harus melewati prosedur internasional yang telah ditetapkan. Selain itu, tanggung jawab keamanan di Selat Malaka benar-benar hanya akan dipegang oleh Indonesia dan Malaysia, dan mereka dapat melarang kapal asing melakukan operasinya di sana.
Akmal Nasery Basral, Faisal (TNR)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo