PERANG batu di Jalur Gaza dan Tepi Barat agak reda, tapi di balik tembok kamp pengungsi ada ketegangan yang merayap. Di antara dinding-dinding pengap, anak-anak Palestina terancam kelaparan, sementara orangtua mereka hampir tidak bisa berbuat apa-apa. Menu yang mereka kunyah sehari-hari adalah roti kering, bercampur dendam dan amarah. Tujuan besar mereka "membikin pusing Israel" memang tercapai, tapi, pada saat yang sama, kerabat mereka menderita. Menhan Israel Yitzhak Rabin menegaskan Selasa lalu, "Kami tidak membiarkan komoditi apa pun masuk ke tempat-tempat mereka." Seiring dengan perintah itu,tentara Israel di pos utara Gaza mengusir balik konvoi yang terdiri atas lima truk penuh bahan makanan. Sumbangan warga Arab di Israel ini tak bisa sampai ke tujuan. Padahal, di kamp pengungsi ada 200 ribu warga Palestina yang tak bisa mencari nafkah karena adanya jam malam sejak lebih dari sepekan berselang. Yitzhak Rabin konon menjanjikan, barang komoditi sehari-hari boleh masuk ke Gaza, jika warung dan toko milik warga Arab di kawasan itu dibuka kembali. Tapi semua saudagar Arab mogok, solider dengan penderitaan sesama kaumnya yang tertangkap atau terluka. Tentara kemudian mendongkel toko-toko Arab, tanpa hasil. Pintu memang dibuka sebentar, tapi begitu tentara Israel pergi, semua toko ditutup kembali. Agaknya, inilah satu-satunya ketidakpatuhan sosial yang paling berhasil membikin pusing pejabat Israel. Setelah pelemparan batu di kawasan hunian Shuafat, Abu Tor, A-Tur, dan Issawiya, Rabu pekan silam, 28 orang P'alestina lagi ditangkap. Di pihak Israel dua polisi terluka, gara-gara jip mereka dihantam batu. Menurut Angela William, penjabat kepala Badan Pekerja Sosial PBB di Gaza, pusat perawatan PBB di kantung pengungsi Jabalya telah merawat 52 warga Palestina yang terluka F'arah, akibat dipukuli tentara Israel malam sebelumnya. Itulah modus baru Yitzhak Rabin menghadapi para pemuda Pelestina sebagai upaya menghindarkan penggunaan peluru beramunisi. Jumlah yang tertembus peluru memang belum beranjak dari sekitar 40 orang, seperti pekan sebelumnya. Tetapi patah tulang dan memar tak bisa dielakkan. Pihak Israel akhirnya harus mendatangkan sejumlah psikolog ke tempat tugas tentaranya. Ini tak lain karena sebagian dikhawatirkan menderita gangguan mental, akibat harus ikut lempar-melempar batu. "Di mana terjadi kerusuhan, di situlah akan berlaku jam malam. Akan kami buktikan kepada orang-orang Palestina bahwa mereka tak akan mendapatkan apa-apa melalui kekerasan," kata Yitzhak Rabin dalam penampilannya di layar televisi pekan lampau. Di hari lain ia menyatakan bahwa untuk meredam kebangkitan Palestina, Israel tak perlu bimbang menggunakan kekuatan, kekuasaan, dan kewenangan sebagai penakluk wilayah. Di depan parlemen Israel, Knesset, Selasa lalu Rabin menegaskan, "Memukul dan menghukum mereka dengan jam malam lebih baik daripada menembak." Menlu Shimon Peres, ketua Partai Buruh melalui radio militer menyerukan ketidaksetujuannya atas pelaksanaan jam malam. "Bukan soal pendekatan begini terlalu keras atau tidak, tetapi soalnya, pelaksanaan kebijaksanaan itu terlalu sembrono," katanya. Anggota Partai Buruh dari unsur Arab di legislatif, Abdel Wahab Darawshe, Sabtu lalu menyatakan mundur seraya mengecam Rabin sebagai pembunuh. Peace Now, organisasi masyarakat Israel yang menghendaki kehidupan damai bersama orang Palestina, hari Sabtu menggerakkan hampir 100 ribu orang untuk turun ke jalan. Di bawah sorotan cahaya matahari di Tel Aviv, mereka berbaris membawa obor. Inilah demonstrasi terbesar yang dilakukan masyarakat Israel, sebagai protes atas perlakuan tentara terhadap aksi-aksi unjuk rasa di Gaza dan Tepi Barat. Dari desa-desa di sekitar Nazareth, Israel Utara, sekitar 30 ribu orang keturunan Arab juga turun, memenuhi jalan-jalan di Tel Aviv. Mereka menuntut agar Israel menarik pasukannya dari kedua daerah pendudukan itu. Jam malam memang dicabut di sebagian kantung pengungsi, supaya 200 ribu warga Palestina yang terkurung selama dua pekan bisa kembali bergerak leluasa. Sumber militer menatakan, 50 ribu orang sudah melewati pos pemeriksaan Erez, Ahad kemarin, untuk menempuh perjalanan 12 kilometer menuju tempat kerja masing-masing. Banyak toko yang mulai buka, sementara patroli tentara mulai berkurang. Toh belum semua kantung pengungsi bisa tenang. Di Gaza, 60 ribu orang masih terpasung aturan jam malam. Di Tepi Barat, di Kota Ramallah dalam sebuah demonstrasi tentara melukai seorang Palestina dengan peluru karet. Di kawasan permukiman Arab, di Yerusalem, orang-orang Palestina masih membakari ban-ban mobil dan turun ke jalan bersenjatakan batu. Di hari yang sama, tentara Israel memberlakukan larangan bepergian bagi Salah Zuheikah, 35 tahun, redaktur Al Shaab, penerbitan yang menyokong PLO. Zuheikah, yang mestinya hendak berangkat ke Washington, dikenai tahanan administratif, setelah disekap dua minggu sebelumnya. PM Margaret Thatcher Jumat lalu sudah mendesak Israel agar membuka dialog, dan berharap AS -- yang masih membantu Israel senilai US$ 1.400 per orang -- akan mengambil prakarsa. Menurut juru bicara Kementerian Luar Negeri AS, Charles Redman, "Masih dicari jalan ke arah sana." Inisiatif diambil oleh Presiden Mesir Hosni Mubarak. Didampingi Menlu Abdel Meguid, Senin ini ia terbang ke Jerman Barat untuk menemui Kanselir Helmut Kohl Presiden Richard Von Weizsaecker, dan pejabat lainnya. Dalam rangka menawarkan formula untuk menghentikan pertumpahan darah di Gaza dan Tepi Barat, Mubarak juga akan melanjutkan perjalanannya ke London dan Washington. Ia setidaknya memperjuangkan sebuah memorandum, berisi kesediaan warga Palestina menghentikan gerakan protes, dan Juga kerelaan Israel menerima konperensi perdamaian internasional. Mohamad Cholid, kantor-kantor berita
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini