BILA para pengusaha mengeluh, lahirlah sebuah institut. Dua tahun lalu sejumlah orang bisnis berkumpul dan mengeluhkan hal yang sama. Yaitu betapa susahnya mencari tenaga manajer menengah, tutur Kwik Kian Gie, direktur sejumlah perusahaan di Jakarta. "Padahal, manajer menengah itu tulang punggung sebuah perusahaan," katanya pula. Dua tahun kemudian, persisnya Senin pekan lalu, di tanggal ketika ABRI memperingati hari jadinya, di sebuah gedung di jalan bypass, Jakarta, keluhan itu menjelma sebuah lembaga pendidikan. Disebut Institut Bisnis Indonesia (IBI), inilah sekolah manajemen yang diperuntukkan buat lulusan Sekolah Menengah Tingkat Atas, dengan target melahirkan praktikus manajemen kelas menengah siap pakai. Maka, boleh dikata, dengan program itu IBI adalah sebuah eksperimen pendidikan. Dengar saja, di hari kelima kuliah Jumat siang pekan lalu, seorang mahasiswi keluar dari ruang kuliah dengan dahi berkerut -- tapi rasanya dia bangga. "Wah, mabuk deh kuliah di sini. Tiap hari ada tes kecil," kata Lizzy, mahasiswi itu. Tes kecil, yakni semacam ulangan yang diberikan begitu sebuah kuliah selesai, rasanya baru ada di IBI. Bila sampai Lizzy, 20 tahun, lulusan SMEA Tarakanita, Jakarta, dan teman-temannya serius menghadapi tes itu, karena, "nilai tes kecil merupakan 20% nilai keseluruhan sebuah mata kuliah," tutur Lizzy pula. Memang, Kwik Kian Gie, yang kemudian menjadi Ketua Dewan Direktur IBI, merencanakan kurikulum IBI sepraktis mungkin. "Ilmu pengetahuan di IBI diberikan dalam bentuk yang sudah dirampingkan teorinya," kata pengusaha yang pernah sekolah ekonomi di Rotterdam ini. Dan untuk langsung mengecek adakah mahasiswa memahami kuliah, dipantau lewat tes kecil tadi. Dengan kata lain, habis kuliah langsung praktek. Itu saja memang belum cukup. Sejumlah hal lain ditentukan guna membuat IBI bulat sebagai lembaga pendidikan berorientasi pada kerja. "Misalnya, di sini ada kuliah Organisasi dan Teknik Tata Niaga," tutur Kwik pula. "Ini kuliah langsung berhubungan dengan kebutuhan perusahaan sehari-hari, yang justru di fakultas ekonomi tak diberikan lagi." Lalu untuk kuliah bahasa Inggris, bukan cuma IBI yang menilai, tapi semua mahasiswa diharuskan ikut tes TOEFL pula. Artinya, penilaian juga dilakukan langsung oleh lembaga yang dianggap mewakili pemakai tenaga kerja. Dari cara begini diharapkan tes terhadap mahasiswa mendekati obyektif. Maka, sesuai dengan tujuan itu, IBI tak mengitari dirinya dengan tembok pemisah. Mahasiswa IBI boleh, "malah kami mendorongnya," kata Kwik, untuk sebentar kuliah, sebentar bekerja. Jelasnya, tiap setahun kuliah, mahasiswa boleh keluar untuk bekerja, dan tetap tercatat sebagai mahasiswa IBI. Kapan saja ia ingin melanjutkan kuliahnya, tak ada persyaratan baru, tak ada uang sumbangan baru. Pokoknya, masuk begitu saja, seperti ia tak pernah meninggalkan kuliah. Hanya saja, ada batas waktu, yakni 8 tahun. Jadi, misalkan seorang mahasiswa berhenti kuliah di tingkat II, kemudian ia bekerja selama 4 tahun, bila ingin meneruskan kuliah di tingkat III, ia boleh masuk langsung. Lucunya, bila Anda mencari IBI di Koordinator Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis), tak akan ketemu. Kopertis tak mau mengakui sekolah baru ini, karena kurikulum yang diterapkan belum ada modelnya di Indonesia. IBI bisa terdaftar bila mau mengubah kurikulum sesuai dengan, misalnya, sekolah tinggi ekonomi atau fakultas ekonomi. Bagi Kwik, justru kurikulum baru itu menjadi alasan adanya IBI. Maka, guna memperoleh izin beroperasi, didaftarkanlah IBI ke Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah, Pemuda, dan Olah Raga Departemen P 8 K. Ditjen satu ini antara lain mengeluarkan izin buat segala bentuk kursus. Walhasil, memang, IBI cuma berizin kursus. "Kami tak keberatan. Karena merasa bahwa institut ini sejajar dengan pendidikan sarjana," kata Kwik. "Dan contohnya memang sudah ada. Institut Manajemen Prasetiya Mulya 'kan juga dianggap kursus, meski kurikulumnya setaraf pascasarjana." Selain itu, Kwik berpegang pada kata Menteri P & K Fuad Hassan, "boleh saja membuka sekolah eksperimen, asal jangan minta pengakuan negara." Yang menarik dicatat, pagi-pagi Kwik sudah menyatakan bahwa lembaga ini bersifat nirlaba alias tak mencari untung. Meski dana berasal dari dua pengusaha ternama, Kaharudin Ongko dari Bank Umum Nasional dan Djoenaedi Joesoef dari Konimex Pharmaceutical Laboratories. Dana itu memungkinkan penyediaan fasilitas yang memadai, meski mahasiswa masih harus bayar uang kuliah Rp 1,2 juta per tahun. Kampus yang masih kontrakan itu dilengkapi ruang diskusi, ruang komputer, perpustakaan yang sudah siap pakai, dan pesawat pendingin. "Memang enak kuliah di sini. Sejuk," kata Lizzy, mahasiswi tadi, yang tiap hari kuliah dari pagi sampai pukul 4 sore. Yang masih akan siap, laboratorium bahasa. Bagi Kwik, masalah Indonesia kekurangan dosen yang baik tak jadi soal. Sebab, "ternyata banyak orang muda yang mampu, tapi karena tidak vokal dan jarang menulis di media massa, mereka tidak dikenal," katanya. Dan untuk menambah bobot IBI, direncanakan secara berkala mengundang tokoh ternama untuk memberi ceramah. Yang menarik, bukan cuma mahasiswa wajib mengikuti ceramah ahli tadi, tapi juga dosen -- kini ada 9 dosen tetap dan 2 tak tetap. Sejauh ini, yang terasa konvensional pada IBI, yang kini punya 120 mahasiswa, adalah lembaga pendidikan ini masih memberikan gelar lokal, yaitu Bachelor of Business Administration (B.B.A.). Mungkin, itu dipasang sebagai semacam promosi. Yakni bahwa lulusan IBI bisa bergelar M.B.A. bila meneruskan ke Insitut Manajemen Prasetiya Mulya. Bagaimanapun juga, IBI, yang tampaknya ditumpukan pada nama Kwik Kian Gie, 52 tahun -- tokoh bisnis yang menjadi juru kampanye untuk PDI di pemilu lalu mencoba menjawab kebutuhan tenaga kerja. Yusroni Hanridewanto & Diah Purnomowati (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini