Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEPERTI laut yang tak pernah luber, Muhammad Nazaruddin menampung anak-anak sungai kasus korupsi yang bercecabang. Belum lagi kasus suap Hambalang dan Wisma Atlet Palembang tuntas, Komisi Pemberantasan Korupsi tengah menyelidiki aset-aset bekas Bendahara Umum Partai Demokrat itu setelah istrinya, Neneng Sri Wahyuni, tertangkap dua pekan lalu.
Neneng dicokok di rumahnya yang megah di kawasan Pejaten, Jakarta Selatan, sesaat setelah ia mendarat dari Malaysia lewat Batam. Menurut seorang penyidik, kepulangan Neneng ke Indonesia setelah setahun lebih buron untuk mengurus aset pasangan ini yang nilainya sekitar Rp 1 triliun.
Indikasinya dua orang Malaysia yang ditangkap Komisi dan diduga membantu Neneng selama dalam pelarian. Keduanya sudah ditetapkan menjadi tersangka. "Mereka rekan bisnisnya selama di pelarian, dan orang penting karena penasihat di Kerajaan Malaysia," kata Wakil Ketua Komisi Bambang Widjojanto pekan lalu.
Keduanya bernama Mohammad Hasan bin Khusi Mohamad dan R. Azmi bin Mohamad Yusof. Menurut seorang penyidik, sebagai imbalan membantu pelarian Neneng, keduanya mendapat upah Rp 900 juta dan Rp 250 juta.
Azmi adalah Managing Director Meram Holding Sdn, Bhd, sebuah perusahaan properti di Kuala Lumpur. Menurut seorang sumber yang dekat dengan keluarganya, Neneng sempat datang ke rumah Azmi di permukiman mewah Shah Alam, Selangor. Neneng datang ke sana sekitar akhir tahun lalu. "Firm, meeting itu memang ada membicarakan bisnis," katanya.
Tapi istri Azmi, Ashah Abubakar, yang ditemui di rumahnya di Selangor, menyangkal Neneng pernah bertamu ke rumahnya. "Saya tidak tahu dan tak kenal siapa Neneng," katanya kepada Sukma N. Loppies dari Tempo. Dia mengaku tak tahu apa yang dilakukan suaminya dalam berbisnis.
Komisioner KPK Busyro Muqoddas memastikan bahkan Azmi sempat terekam kamera penjara Cipinang mengunjungi Nazaruddin. Azmi memang kerap bolak-balik Jakarta-Selangor. Selain dengan Nazaruddin, ia dekat dengan politikus Demokrat lainnya. Salah satunya Bertha Herawati, notaris yang kerap mengurus izin dan dokumen perusahaan Nazaruddin.
Bertha mengenal Azmi sejak tahun lalu sebagai pengusaha properti dari Malaysia. Selain di Meram, Bertha memegang kartu nama Azmi lain sebagai Direktur Utama HTM Consultants Sdn, Bhd. "Dia bilang mau berinvestasi di Indonesia," kata pendiri Demokrat ini.
KPK menyidik Azmi dengan jerat pasal 21 tentang membantu tersangka kasus pidana. Neneng diduga terlibat kasus korupsi pembuatan pembangkit listrik tenaga surya di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi pada 2008.
Proyek ini dimenangi oleh PT Alfindo Nuratama Perkasa, yang dipinjam Neneng Wahyuni untuk pelbagai proyek. PT Alfindo dimiliki Arifin Ahmad. Upah meminjamkan perusahaan itu, ia mendapat satu persen dari nilai proyek PLTS sebesar Rp 8,8 miliar. Dalam kasus ini, Neneng diduga menerima keuntungan ilegal Rp 2,7 miliar. Uang itu masuk ke rekening PT Alfindo sebagai uang proyek setelah menang tender.
Oleh Neneng, proyek ini dikontrakkan lagi kepada PT Sundaya senilai Rp 5,29 miliar. Dengan begitu, dia menangguk untung Rp 2,7 miliar. Petugas pembuat komitmen lelang, Timas Ginting, sudah divonis dua tahun bui karena terbukti menerima suap Rp 77 juta plus US$ 2.000 dari Alfindo.
Menurut Yulianis, Direktur Keuangan Permai yang menggantikan Neneng pada 2006, ini perusahaan yang paling sering dikuras uangnya untuk pelbagai keperluan, termasuk suap untuk Dewan Perwakilan Rakyat serta pejabat Kementerian Pemuda dan Olahraga.
Dengan sejumlah bukti itu, Neneng agaknya sulit berkelit. Apalagi Nazaruddin mengatakan istrinya menerima Rp 750 juta sebagai pembayaran utang yang dicairkan dari rekening PT Alfindo ke rekening Neneng. "Tapi keterangan dia juga kunci untuk menelusuri kasus lain, seperti Wisma Atlet dan Hambalang," kata juru bicara Komisi, Johan Budi S.P.
Hambalang adalah proyek pusat olahraga senilai Rp 1,52 triliun yang dibuat Kementerian Pemuda dan Olahraga di Sentul, Bogor. Nazaruddin, bersama sejumlah politikus Demokrat, memuluskan proyek ini dengan meloloskan Adhi Karya dan Wijaya Karya sebagai kontraktornya.
Perusahaan Nazaruddin, Anugrah Nusantara, yang kemudian berubah menjadi Anugrah Grup, lalu berubah lagi menjadi Grup Permai, diduga menerima fee yang dipakai untuk menyuap anggota Kongres Demokrat agar memilih Anas Urbaningrum. Pengakuan Nazaruddin itu mendapat gong lebih keras dari Neneng.
Kepada penyidik KPK Senin pekan lalu, Neneng, yang menjadi dirigen keluar-masuk uang di perusahaan suaminya, menyebutkan saham PT Anugrah dimiliki Anas dan suaminya. "Pak Nazar kemudian menjual seluruh saham, sebanyak 30 persen, kepada Anas," kata Rufilus Hutauruk, pengacara Neneng.
Berkali-kali Nazar mengungkapkan penggarap proyek ini memberikan komisi sebesar Rp 100 miliar kepada Anas. Perinciannya: Rp 50 miliar untuk Anas, sisanya dibagikan kepada anggota DPR dan pejabat Kementerian Olahraga. Berkali-kali pula Anas menyangkalnya, meski tak spesifik. "Tak ada duit, yang ada hanya daun jambu," katanya.
Pengacara Anas, Firman Wijaya, sangsi akan kesaksian yang bakal diberikan Neneng. Menurut dia, apa pun materi yang akan diberikan Neneng kepada penyidik KPK tak akan berpengaruh kepada Anas, apatah lagi menyudutkannya. "Paling juga keterangannya sama dengan Nazaruddin. Nol. Validitasnya belum tentu bagus," katanya.
Masalahnya, KPK tak memegang bukti dari kedua pihak mana kesaksian yang benar tentang saham perusahaan ini. Tapi seorang penyidik KPK memastikan kesaksian Neneng akan menjadi keterangan kunci menjerat Anas. "Kesaksian dia akan melengkapi keterangan Nazaruddin dan Angelina Sondakh yang sudah mengarah ke pelaku utama," ujarnya.
Menurut Yulianis, meski ia disebut sebagai direktur keuangan, faktanya Neneng yang mengatur untuk apa saja uang ratusan miliar dikeluarkan dari kas perusahaan. "Kalau dia tak acc, mana berani saya keluarkan uang?" katanya. Perempuan kelahiran 1982 ini dengan jeli dan detail kemudian merekap semua pengeluaran, termasuk para penerimanya.
Ketua KPK Abraham Samad memastikan bukti-bukti suap proyek Hambalang sudah cukup untuk dinaikkan ke tahap penyidikan. "Sekarang tinggal melengkapi, bukti utama sudah kami pegang," katanya. Salah satu bukti suap kasus ini, kata Samad, adalah pemberian mobil Toyota Harrier dari Adhi Karya kepada Anas Urbaningrum.
Dalam keterangannya kepada KPK, Nazaruddin mengatakan mobil itu dibeli pada November 2009 dari dealer Duta Motor, Pecenongan, Jakarta Pusat. Mobil berpelat B-15-AUD itu diberikan sebagai hadiah karena Anas membantu Adhi Karya memenangi tender. Anas tak pernah spesifik menanggapi soal isu mobil ini.
Padahal mobil itu pernah ramai dibicarakan karena pelat nomornya sama dengan mobil Toyota Alphard yang dipakai Anas. "Bukti-bukti itu sudah kami dapatkan," kata Samad. Maka, seperti di laut, seorang penyidik mengibaratkan, "Neneng ikan terakhir untuk menjerat paus."
Bagja Hidayat, Tri Suharman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo