Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Kepada Trunojoyo, Tertanda Mampang

Sejumlah nama polisi terekam dalam catatan keuangan perusahaan Nazaruddin. Diduga untuk menghentikan pengusutan kasus.

25 Juni 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

CATATAN itu merekam aliran duit Grup Permai yang diduga menyentuh Markas Besar Kepolisian Negara. Bukan untuk melicinkan proyek perusahaan Muhammad Nazaruddin, pengelola perusahaan itu, fulus ditengarai diguyurkan buat menghentikan perkara yang sedang diselidiki Kepolisian. Setumpuk perkara di Kementerian Kesehatan yang melibatkan Nazaruddin mulai terendus polisi pada pertengahan 2010.

Dalam catatan, sejumlah nama perwira polisi tercantum. Mulai penyidik berpangkat ajun komisaris besar hingga nama yang diduga merupakan Kepala Badan Reserse Kriminal Komisaris Jenderal Ito Sumardi. Nama Ito, kini pensiun, berderet dan ditulis dalam beberapa variasi, seperti "Ito Sumardi" dan "Ito S."

Dihubungi pada Jumat pekan lalu, pengacara Nazaruddin, Elza Syarief, membantah kliennya berulang kali menyetorkan duit ke polisi untuk membereskan kasus. "Grup Permai tak menyuap polisi," ujarnya. Toh, dalam catatan yang telah disita Komisi Pemberantasan Korupsi itu, nama-nama penerima ditulis terang-benderang.

Diajukan pada Jumat, 30 Juli 2010, duit yang disebut untuk Ito baru dicairkan kasir Grup Permai tiga hari kemudian. Hari itu—Senin, 2 Agustus 2010—perempuan bernama Ratna langsung mengantarkannya ke Markas Besar Polri. Tanpa disamarkan inisial atau nama sandi, Komisaris Jenderal Ito Sumardi ditulis menerima duit "support" US$ 20 ribu.

Sebulan kemudian, pada 2 September, Ito kembali ditulis menerima duit dari Ratna. Kali ini sebesar US$ 10 ribu. Berbeda dengan penyerahan duit pada 2 Agustus—ditulis untuk proyek "RS Rujukan 2009" di "Depkes 2009"—duit yang kedua hanya dicatat untuk "Bareskrim".

Selanjutnya, pada 8 Desember, Ito ditulis dua kali menerima duit masing-masing US$ 5.000 dari Minarsih, pegawai lain Grup Permai. Pemberian uang ini ditulis berhubungan dengan proyek pengadaan alat bantu belajar-mengajar dokter di rumah sakit rujukan 2009 dan 2010.

Pada 14 Desember, dalam sehari Ito empat kali ditulis menerima masing-masing US$ 5.000 dari Khairul, juga karyawan Grup Permai. Dalam catatan itu, US$ 10 ribu pertama untuk proyek rumah sakit rujukan 2009 dan 2010. Adapun US$ 10 ribu sisanya untuk "flu burung 2009-2010" dan "flu burung connecting 2010-2011".

Duit yang ditulis untuk Ito selalu berbentuk dolar Amerika Serikat. Terakhir, Ito disebut dua kali menerima US$ 7.500 pada 29 Desember tahun itu juga. Uang yang diserahkan Minarsih itu dicatat untuk "rujukan 2010" dan "flu burung 1 & connecting". Total, duit Nazaruddin untuk "Ito" mencapai US$ 75 ribu atau sekitar Rp 700 juta.

Di luar nama "Ito", berderet sejumlah nama. Pada 4 Agustus 2010, Grup Permai mengucurkan dana yang ditulis untuk "Jacobs Alexander Timisela" sebesar US$ 5.000, seorang ajun komisaris besar berinisial IW (US$ 3.000), dan "Bu Yeni" (US$ 1.500). Duit diantarkan seseorang bernama Dedy.

Pada 1 Oktober, nama ketiganya kembali muncul dalam catatan tersebut. Kali ini Timisela disebut kebagian Rp 30 juta, IW Rp 10 juta, dan Yeni Rp 10 juta. Ketiganya juga ditulis menerima duit lagi pada 29 Desember 2010 sebesar Rp 50 juta untuk proyek "RSUD Rujukan 2009 & 2010". Timisela kembali ditulis mendapat US$ 5.000 pada 9 November.

Dari kantor Grup Permai di Mampang Prapatan, Jakarta, duit juga mengalir kepada dua nama yang diduga jenderal polisi bintang satu di Badan Reserse. Perwira pertama menerima US$ 10 ribu pada 4 Oktober dari Minarsih. Pemberian tersebut berhubungan dengan "UPT P2PL 2009". Jumlah yang sama ditulis diterima perwira kedua pada 28 Desember untuk "flu burung connecting 2010". Sebagaimana sebelumnya, duit itu diserahkan Minarsih.

Ito Sumardi membantah pernah menerima duit Nazaruddin. "Logikanya, kalau saya terima uang, kasus dihentikan. Ini kan tidak," katanya Selasa pekan lalu. Ito menuduh namanya dicatut sebagaimana dalam kasus Gayus Tambunan, bekas pegawai pajak yang jadi terpidana perkara penyuapan. "Saya disebut terima uang dari Gayus," ujarnya. "Ternyata uangnya berhenti di pengacaranya."

Menurut Ito, pada 2010 itu Badan Reserse sudah memeriksa sejumlah orang. Tapi polisi belum menetapkan tersangka. "Belum ada indikasi kerugian negara," katanya. Polisi kemudian meminta Badan Pemeriksa Keuangan mengaudit proyek. Tapi, hingga Ito meninggalkan jabatannya, Badan Pemeriksa belum selesai mengaudit proyek. "Kasus belum mengarah ke Nazaruddin karena ini baru awal penyidikan."

Komisaris Besar Jacobs Alexander Timisela juga menyanggah pernah menerima duit. "Waktu pemberitaan terdahulu juga saya disebut begitu. Ketemu Nazar atau orang-orangnya saja enggak," ujar Kepala Subdirektorat Tindak Pidana Korupsi ini. Menurut Timisela, dia juga tak menangani kasus flu burung.

1 1 1

TERCIUM sejak 2010, baru pada Oktober 2011—setelah Nazaruddin ditangkap di Kolombia—tersangka kasus itu diumumkan polisi. Yang dijerat adalah Syamsul Bahri, pejabat pembuat komitmen proyek alat bantu belajar-mengajar dokter dan dokter spesialis di rumah sakit pendidikan dan rumah sakit rujukan pada 2009.

Proyek senilai Rp 492,9 miliar itu diteken Syamsul dengan PT Mahkota Negara—salah satu perusahaan di bawah Grup Permai. Hingga pekan lalu, polisi tak menetapkan tersangka lain dalam kasus ini. Setelah ada catatan pengeluaran Grup Permai yang merekam guyuran duit, tak diusutnya tersangka dari pihak PT Mahkota makin mengundang curiga.

Keanehan lain, polisi hanya mengusut proyek tahun anggaran 2009. Proyek tahun berikutnya, yang juga tidak beres, belakangan diusut Kejaksaan Agung. Pada tahun anggaran 2010, pemenang proyek adalah PT Buana Ramosari Gemilang. Perusahaan yang dipinjam Nazaruddin dari Bantu Marpaung itu menyabet proyek senilai Rp 417 miliar.

Dalam catatan keuangan Grup Permai pada 1 Oktober 2010, kasus yang melibatkan PT Buana Ramosari itu sempat ditangani polisi. Ratna, pegawai Grup Permai, mengantarkan duit Rp 50 juta ke penyidik buat "support untuk penyelesaian berita acara pemeriksaan atas nama Buana Ramosari".

Audit Badan Pemeriksa Keuangan pada Mei 2011 menemukan bahwa proyek yang disabet PT Buana Ramosari berpotensi merugikan negara Rp 28,5 miliar. Pada pengujung 2011, Kejaksaan mengumumkan tiga tersangka kasus 2010. Syamsul Bahri kembali dijerat. Dua lainnya Widianto Aim, ketua panitia lelang, dan Bantu Marpaung.

Ketika itu, Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Andi Nirwanto mengatakan telah berkoordinasi dengan Badan Reserse. Berkas Syamsul Bahri yang 2009 akan disatukan dengan berkas 2010 di Kejaksaan. Alasannya, perbuatannya mirip, cuma beda tempus delicti.

Kasus tak kunjung bergulir ke pengadilan. Menurut juru bicara Kejaksaan Agung, Adi Toegarisman, kasus telah diserahkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi pada 30 Maret 2012. Adapun menurut Kepala Badan Reserse Kriminal Komisaris Jenderal Sutarman, polisi masih menunggu audit Badan Pemeriksa Keuangan untuk mengetahui kerugian negara.

Sebagaimana tertulis dalam catatan Grup Permai, Trunojoyo—sebutan Markas Besar Polri—juga mengusut proyek vaksin flu burung 2008-2011. Tunggul Sihombing, pejabat pembuat komitmen proyek ini, mengatakan telah diperiksa Mabes Polri. "Dua-tiga bulan lalu," katanya.

Menurut Badan Pemeriksa Keuangan, proyek di Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan senilai Rp 1,38 triliun ini berpotensi merugikan negara hingga Rp 693,2 miliar. Perusahaan Nazaruddin yang terlibat adalah PT Anugrah Nusantara dan PT Exartech Technology Utama.

Juru bicara Markas Besar Polri, Inspektur Jenderal Saud Nasution, menyatakan polisi memang sedang mengusut proyek vaksin. Badan Reserse Kriminal, kata Saud, bahkan sudah menetapkan seorang tersangka atas nama TS. Siapa dia ? Saud bungkam.

Pada Mei 2011, jauh sebelum polisi masuk ke kasus ini, Komisi Pemberantasan Korupsi telah mengusutnya. "Sekarang kasusnya masih dalam penyelidikan," kata Johan Budi S.P., juru bicara KPK. Tunggul Sihombing mengatakan telah diinterogasi komisi antirasuah pada tahun lalu. Kata dia, "KPK dan Polri menanyakan hal yang sama."

Anton Septian, Fransisco Rosarians

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus