Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Islamisasi, Asimilasi

Seorang tokoh non-pribumi Lauw Chuan Tho/Junus Yahya, 52, masuk Islam di masjid Sl Azhar, Jakarta. Bakom PKB berharap persamaan agama akan mempermudah pembauran. (ag)

14 Juli 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INI peristiwa "luar biasa", kata Haji Ny. Haji Qomariah. Wanita ini, 35 tahun, yang dulu dikenal dengan nama The Giok Sin, berbicara di depan peringatan Isra' Mi'raj di gedung bekas Sin Ming Hui Jakarta pekan lalu. Yang diucapkannya tak meleset. Meskipun peringatan keagamaan bukan baru kali ini diselenggarakan oleh PITI (dikenal sebagai organisasi "Tionghoa Islam") tapi malam itu luar biasa yang hadir. Undangan diharapkan 400 orang datang, yang muncul sampai 1000. Mungkin karena malam itu PITI bekerja sama dengan Badan Komunikasi Penghayatan Kesatuan Bangsa (BAKOM PKB) -- yang bergerak menjalin hubungan antara kalangan "pribumi", dengan "nonpribumi". Bukan kebetulan bila di sana hadir K. Sindhunata, Ketua BAKOM PKB -- walaupun ia seorang Nasrani. Namun lebih dari itu cukup simbolis bahwa di tengah-tengah acara itu nampak seorang tokoh asimilasi terkenal, Junus Jahja, sarjana ekonomi lulusan Rotterdam. Apa Sungguh? Di tahun 1952 Junus Jahja, sewaktu masih di Negeri Belanda mulai mempraktekkan cita-cita asimilasinya secara langsung: ia, seorang penasihat Presidium Chung Hwa Hui (CHH), menganjurkan agar organisasi keturunan Tionghoa yang terpisah itu dibubarkan. Para anggotanya ia anjurkan masuk Persatuan Pelajar Indonesia. Ia sendiri sejak berdirinya PPI setahun sebelumnya sudah jadi anggota, bersama Soemantri Brodjonegoro almarhum. "Saya sepenuhnya diterima dan diperlakukan 100% sebagai sesama orang Indonesia," kata Junus yang waktu itu bernama Lauw Chuan Tho, mengenang masa muda. Keyakinan demikian pula yang mendorong Chuan Tho 17 tahun yang lalu sudah mengganti namanya menjadi Junus Jahja. "Saya tidak tahu kenapa saya pilih nama Islam itu," tutur Junus kini. Apa pun sebabnya, Junus Jahja tak berhenti menambah data baru dalam riwayat hidupnya. Dua pekan lalu, dalam usia 52 tahun, ia masuk Islam di Mesjid Al Azhar, Jakarta. Dari seorang Junus Jahja, yang sering melompat jauh dalam gagasan asimilasinya, langkah seperti itu tak terlalu mengejutkan. Tapi tak urung masuk Islam-nya seorang terpelajar seperti dia -- yang semula beragama Prorestan "tapi tak aktif" -- menimbulkan keraguan. Karena pengaruh zaman Belanda dulu, Islam di kalangan "non-pri" yang berpendidikan Barat dianggap agama "kelas tiga". Untuk pembauran di kalangan elite masa itu jalannya ialah dengan masuk agama Katolik atau Protestan. Maka menurut cerita Junus, kini dari beberapa teman intelektuilnya ada semacam sindiran kepadanya: apa dia sungguh-sungguh? Bahkan ada pertanyaan adakah ia masuk Islam untuk asimilasi belaka? "Kalau semata-mata untNk asimilasi, dari dulu saya seharusnya sudah masuk Islam," jawab Junus. Ia sendiri berperhatian kepada Islam antara lain melalui Muljoto -- anak almarhum Muljadi Djojomartono, Menteri Sosial di zaman pemerintahan Bung Karno yang juga tokoh Muhammadiyah. Muljoto adalah teman sekolahnya yang erat sejak di Negeri Belanda. Kini ia jadi Presiden Direktur Bank Ekspor-Impor, sedang Junus bekerja di sebuah bank Jerman. Meskipun Junus menyatakan bahwa orang "jangan masuk Islam hanya karena untuk asimilasi", tapi nampaknya badan seperti BAKOM PKB berharap bahwa persamaan agama akan mempermudah pembauran. Itulah sebabnya malam itu mereka ikut aktif. Dalam praktek, tentu saja, persamaan agama tak dengan sendirinya melenyapkan jurang prasangka rasial. Agama Islam sendiri memang mengajarkan persaudaraan. Bilal yang bekas budak Negro diterima jadi tokoh Islam penting dalam sejarah -- satu adegan film The Message yang mengharukan Junus Jahja. Nabi Muhammad s.a.w. sendiri berkata agar orang jangan segan mencari ilmu biarpun sampai ke negeri Cina. Dan di "negeri Cina" sendiri terdapat banyak orang Islam -- bahkan baru-baru ini pemerintah RRC bermaksud membiayai pencetakan Qur'an kembali setelah golongan komunis radikal runtuh. Tapi tidak terbatasnya Islam hanya buat "pri" saja agaknya masih perlu waktu untuk dijadikan kesadaran umum. Syarief Hidayatullah, yang sudah 10 tahun jadi muslim dan kini mubaligh PITI, masih sering diejek "Adul" -- satu ejekan buat keturunan Cina yang masuk Islam. "Sakit rasanya di kuping," kata Syarief yang dulu bernama Lauw Sin Hoat. Pengorbanan lain lazim datang dalam bentuk keterpisahan dengan keluarga. Pheng She Djiang, mahasiswa Perguruan Tinggi Ilmu Qur'an kelahiran Malang yang pernah berhasil dalam urutan juara MTQ tingkat propinsi, masuk Islam 10 tahun yang lalu. Waktu itu orang tuanya menentang. "Padahal saya masih membutuhkan kasih sayang mereka," kata Djiang yang kini baru 24 tahun. "Sedih sekali rasanya." Sulitnya, pengorbanan sedemikian sering tak disadari kalangan Islam "pri" --yang umumnya jadi muslimin karena orang tua mereka, dan biasanya lupa bahwa agama justru penting dalam mengatasi kesempitan sukuisme atau rasialisme.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus