Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HAJATAN besar itu diawali hening cipta untuk menghormati bekas presiden Soeharto, yang meninggal sehari sebelumnya. Perwakilan dari seratus lebih negara menyampaikan duka atas nama negeri yang mereka wakili. Inilah konferensi antikorupsi yang digelar Badan Obat-obatan Terlarang dan Kejahatan PBB (UNODC) dan dihadiri perwakilan Bank Dunia. Dua lembaga ini setengah tahun lalu meluncurkan dokumen yang menyebut presiden kedua itu menyembunyikan uang curian US$ 15-35 miliar.
Digelar di Nusa Dua, Bali, sepanjang pekan lalu, Konferensi tentang Konvensi Antikorupsi (UNCAC) merupakan lanjutan dari pertemuan di Yordania, Desember 2006. Konvensi yang diadopsi di Meksiko pada 2003 ini telah diratifikasi oleh 107 negara. Dari pelbagai isu yang dibahas, pengembalian aset jarahan yang disimpan di luar negeri menjadi topik yang mendapat perhatian paling besar. Ini sejalan dengan prakarsa pengembalian aset yang diluncurkan UNODC dan Bank Dunia pada 17 September lalu.
Wafatnya Soeharto membuat gaung konferensi memudar. Sorotan media pun terpusat di Jakarta dan Karanganyar, Jawa Tengah, tempat pemakaman. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang semula berencana membuka konferensi, justru memimpin upacara pemakaman Soeharto. Tapi, bagi Ketua Dewan Pengurus Transparansi Indonesia, Todung Mulya Lubis, berita duka dari Jakarta itu menjadi momentum bagi upaya pengembalian aset yang diduga disimpan presiden yang berkuasa selama tiga dekade itu.
Prakarsa pengembalian aset curian atau StAR (Stolen Assets Recovery) Initiative diharapkan membantu negara berkembang yang selama ini kesulitan mencari harta yang disembunyikan para koruptor. Bank Dunia melaporkan, uang hasil korupsi, kejahatan terorganisasi, dan penghindaran pajak yang beredar diperkirakan mencapai US$ 1,6 triliun setiap tahun. Uang yang umumnya berasal dari negara miskin itu tersimpan di bank-bank di negara maju, seperti Swiss, Amerika Serikat, dan Inggris.
Todung mendesak pemerintah menghubungi negara tempat kekayaan Soeharto disimpan untuk meminta pembekuan ”hingga kelak terbukti ada kesalahan atau tidak”. Jika harta Soeharto belum ditemukan, itu bisa dimulai dengan pembekuan aset pihak yang melakukan tindak pidana bersama Soeharto. Dari sini bisa ditelusuri kemungkinan adanya aset Soeharto. Tapi tidak gampang membekukan, apalagi memulangkan aset itu. ”Prosesnya panjang,” kata Yusfidli Adhyaksana, jaksa di Unit Kerja Sama Internasional Kejaksaan Agung.
Proses panjang yang dimaksud Yusfidli adalah dengan menggunakan instrumen Mutual Legal Assistance (MLA) atau kerja sama hukum dengan negara tempat uang itu disimpan. MLA, yang biasanya berkaitan dengan tindak pidana, harus melalui birokrasi panjang. ”Sering proposal yang kami ajukan dikembalikan lagi dan harus dilengkapi, dan kami tak tahu lagi kelengkapan seperti apa yang diinginkan,” katanya. MLA akan lebih efektif jika ada kesepahaman hukum di antara kedua negara dalam memandang perkara.
Berdasarkan pengalaman kejaksaan menarik aset dari luar negeri, proses pengadilan sipil justru lebih cepat. Dalam pengembalian aset terpidana korupsi dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, Hendra Rahardja, dari Australia, Indonesia berhasil menarik US$ 600 ribu. ”Tapi kita harus membayar mahal pengacara dari negara setempat,” katanya. Proses serupa tengah ditempuh untuk mengembalikan simpanan Tommy Soeharto di Guernsey, Inggris, yang diduga hasil korupsi dan pengemplangan pajak.
Adapun negara yang menggunakan instrumen MLA dalam pengembalian aset memang harus bersabar lebih lama. Filipina menunggu 18 tahun sebelum menarik kembali uang bekas presiden Ferdinand Marcos sebesar US$ 624 juta dari Swiss, Kepulauan Cayman, dan Amerika Serikat. Di Amerika Selatan, Peru, yang pernah dipimpin Alberto Fujimori, harus menanti lebih dari lima tahun sebelum mendapatkan kembali uang yang dicuri bekas Kepala Intelijen Polisi Vladimiro Montesinos.
Di Afrika, Nigeria menjadi negara yang paling sukses memulangkan uang yang dirampok bekas pemimpinnya, Jenderal Sani Abacha. Setelah menanti lima tahun, sejak Abacha meninggal pada 1998, negeri kaya minyak itu memulangkan aset US$ 505 juta dari Swiss, Inggris, dan Luksemburg. Nigeria menjadi contoh paling unik karena justru Mahkamah Agung Swiss yang menetapkan bahwa Sani Abacha dan keluarganya terlibat kriminal sehingga aset mereka digolongkan hasil kejahatan terorganisasi.
Melihat sukses di negara-negara itulah UNODC dan Bank Dunia meluncurkan Prakarsa StAR, yang antara lain mempermudah proses MLA. Melalui UNCAC, yang sudah diratifikasi banyak negara, seharusnya tidak ada alasan perbedaan sistem hukum, yang kerap menjadi ganjalan pengembalian aset. ”Kita berharap ada kemudahan, juga dana khusus dari PBB untuk program pengembalian aset ini,” kata Eddy Pratomo, Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Departemen Luar Negeri.
Negara maju seperti Swiss, yang terkenal sebagai surga penyimpanan duit jarahan, telah memberikan sinyal positif untuk mendukung pengembalian aset melalui kerangka Prakarsa StAR ini. Wakil Menteri Luar Negeri Swiss, Anton Thalmann, mengatakan Swiss telah mengembalikan dana ilegal US$ 1,6 miliar selama dua dekade terakhir. ”Prinsip kerahasiaan bank di negara kami tidak untuk melindungi para maling,” kata Thalmann. Ia juga menyebutkan, dalam waktu dekat, Swiss akan meratifikasi UNCAC.
Toh, sehebat apa pun negosiasi di forum UNODC dan dengan negara-negara tempat uang curian disimpan, yang lebih penting adalah negosiasi di dalam negeri. ”Dalam kasus Soeharto, negosiasi dengan keluarga dan pendukungnya yang masih berkuasa harus dilakukan,” kata Dadang Trisasongko, Penasihat Kemitraan, organisasi nonpemerintah di bidang pemberantasan korupsi. Menurut Dadang, kelompok pro-Soeharto masih kuat, sehingga dukungan politik dari pemerintah untuk mengusut harta bekas diktator itu masih lemah.
Jalan mengembalikan aset Soeharto masih panjang. Pertemuan Bali belum menghasilkan kesepakatan penting seputar teknis pengembalian aset, meski semua negara setuju dengan Prakarsa StAR. Di dalam negeri, pemerintah belum menunjukkan keinginan mengusut harta Soeharto. ”Tidak ada pencarian aset Soeharto,” kata Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Andi Mattalata. Ia merujuk hasil nihil yang diperoleh pendahulunya, Muladi, dan bekas Jaksa Agung Andi M. Ghalib ketika menyelidiki harta Soeharto di Swiss pada 1999.
Adek Media Rosa (Nusa Dua)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo