Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Krisis Subprime dan Asia

4 Februari 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Adrian Panggabean

  • Praktisi kebijakan ekonomi, penasihat ekonomi pemerintah di sebuah negara Asia

    Ini kesimpulan pengamatan saya: gejolak berkelanjutan di pasar keuangan Amerika akan meningkatkan volatilitas pasar finansial Asia. Rentang fluktuasi harga akan bertambah lebar dan arah pergerakan pasar makin tak menentu. Ketidakjelasan ini lebih berbahaya ketimbang prospek penurunan indeks saham. Buat praktisi keuangan, arah pergerakan ke bawah (asalkan diketahui) lebih baik ketimbang dihadapkan pada kegamangan mengambil posisi karena tak jelas arah angin.

    Untuk Indonesia, dampak gejolak di pasar keuangan global cenderung negatif. Akibatnya, setidaknya dalam prognosis saya, bursa kita tidak akan mampu mengulangi prestasinya pada 2006 dan 2007 karena dua hal: adanya koreksi terhadap persepsi risiko di pasar fixed income dan besarnya volatilitas di pasar ekuitas.

    Mengapa?

    Saya cukup sependapat dengan opini yang mengatakan bahwa apa yang terjadi di pasar Asia baru-baru ini masuk kategori ”crash”. Jatuhnya indeks di bursa-bursa Asia terjadi dalam periode yang singkat. Bila dihitung dari Oktober 2007 (saat pasar saham Asia berada di puncak), penurunan indeks di Hong Kong, Singapura, Shanghai, Australia, Manila, dan Seoul ternyata sangat tajam: 22-30 persen!

    Tokyo, yang kapitalisasinya terbesar di Asia, jatuh hampir 6 persen. Bila dihitung dari titik akhir Desember 2007, Nikkei malah jatuh 18 persen! Pasar lain yang kapitalisasinya relatif tipis pun terimbas. Relatif tipisnya volume pasar menyebabkan jatuhnya indeks karena transaksi yang berciri spekulatif (alias tak terkait dengan fundamental pasar). Ini tak hanya di Indonesia, tapi juga di Dubai dan Abu Dhabi.

    Hipotesis decoupling antara pasar Amerika dan Asia tampaknya kurang bergigi. Jatuhnya pasar saham di Asia kembali memperlihatkan bahwa ada kaitan yang sangat erat antara Wall Street dan Asia. Ada empat alasan mengapa gejolak di Amerika akan berimbas ke Asia.

    Pertama, karena faktor sentimen. Kedua, karena dalam prakteknya pemain di bursa-bursa dunia adalah orang-orang yang sama. Akibatnya, pada saat pasar Amerika bergerak liar, semua pasar di dunia bergerak bersamaan. Ketiga, karena globalisasi. Interdependensi global yang tercipta, dan diaksentuasi oleh ”harmonisasi” dalam ”rules of the game” di pasar finansial, menyebabkan impuls harga di suatu negara terkirim cepat ke negara lain. Keempat, krisis subprime di Amerika bersifat sistemik, sehingga dampaknya menjalar ke mana-mana. Sementara itu, mekanisme penyebaran risiko yang seharusnya dimainkan oleh industri hedge funds ternyata tidak berjalan.

    Ada banyak jalan bagi krisis subprime mortgage di Amerika untuk berinteraksi dengan instrumen finansial di luar Amerika. Ini sebabnya dampak krisis subprime, cepat atau lambat, akan masuk ke Asia.

    Mekanisme krisis

    Menurut saya, pendekatan terbaik untuk menjelaskan mekanisme transmisi krisis ke Asia adalah melalui pendekatan analisis neraca (balance-sheet approach). Mungkin perlu saya segarkan kembali bahwa genesis dari turbulensi ini adalah rendahnya suku bunga Amerika Serikat dalam jangka waktu yang terlalu lama. Murahnya biaya meminjam dan tingginya motivasi membeli aset (termasuk perumahan) menyebabkan tak hanya pasar perumahan di Amerika menjadi bubble, tapi juga korporasi Amerika menjadi agresif dalam mencari lokasi aset yang menghasilkan imbal hasil tinggi.

    Pasar keuangan, melihat kesempatan bisnis seperti itu, kemudian memunculkan berbagai instrumen finansial yang didukung oleh aset dan banyak di antaranya yang dikaitkan dengan instrumen hipotek rumah (disebut asset-backed securities dan mortgage-backed securities). Masih segar dalam ingatan saya betapa di awal tahun 2000-an banyak sekali pelatihan mengenai asset-backed securities ini karena begitu sexy-nya instrumen itu.

    Produk asset-backed securities ini menjalar begitu cepat ke setiap sektor keuangan. Credit ratings agency pun ikut-ikutan memberikan rating yang tinggi untuk produk seperti ini. Untuk kesekian kalinya, credit rating agency membuat kekeliruan dalam mengukur risiko. Kalau krisis Asia membuka mata kita bahwa credit rating agency keliru mengukur risiko negara, dalam krisis subprime mereka keliru memberikan rating untuk perusahaan atau produk finansial. Rating yang mereka berikan untuk asset-backed securities ini kelewat tinggi.

    Singkat cerita, permintaan dan penawaran di pasar finansiallah yang pada akhirnya melakukan koreksi. Distorsi harga pada produk-produk finansial itu pada akhirnya memecahkan gelembung aset dan terjadilah penyesuaian aktiva dan pasiva di neraca korporasi-korporasi Wall Street.

    Saat produk finansial yang dipegang bank-bank itu mengalami penurunan rating, mereka terpaksa menjualnya. Dan karena instrumen itu mendadak tidak likuid, jatuhlah harganya. Karena mereka tidak menemukan pembeli untuk aset-aset itu, bank harus menjual aset lainnya untuk memperbaiki kualitas neraca.

    Kerugian menyebabkan penjualan aset. Penjualan aset menyebabkan bertambahnya penawaran aset di pasar loyo yang mendadak penuh (crowded) dan yang kemudian mendorong turunnya harga saham. Dalam ronde berikutnya, susutnya nilai aktiva menyebabkan susutnya sisi pasiva dan susutnya modal. Pada saat proses penyesuaian neraca (balance-sheet rebalancing) itulah terjadi penilaian ulang harga aset, harga utang, dan harga surat berharga lainnya. Bayangkan bila itu terjadi di seluruh sistem finansial Amerika yang bernilai triliunan dolar. Karena adanya interdependensi global, sistem finansial di Eropa pun terkena.

    Situasi di Amerika lebih runyam. Masalah subprime dan turunnya harga rumah menyebabkan jatuhnya produksi rumah. Padahal sektor perumahan adalah salah satu pilar terpenting ekonomi Amerika. Retaknya pilar ini menyebabkan guncangnya ekonomi Amerika.

    Sebenarnya ada mekanisme yang bisa dipakai untuk mendiversifikasi risiko krisis. Mekanisme itu seharusnya dijalankan oleh hedge funds. Namun krisis ini membuka mata kita juga bahwa terjadi ”fenomena unik” dalam sistem keuangan global. Fenomena unik ini muncul karena lakon tiga bank besar Wall Street: Goldman Sachs, Morgan Stanley, dan Bear Stearns.

    Dalam desain teoretisnya, hedge funds seharusnya berfungsi menyebar risiko pasar dengan cara membungkus risiko kredit dan kemudian menjualnya di pasar derivatif. Tujuannya: bila terjadi default, beban kerugian bisa disebar dan tidak terkonsentrasi. Artinya, hedge funds dan pasar derivatif seharusnya berperan sebagai stabilisator di pasar finansial.

    Realitasnya, menurut informasi, ketiga bank inilah yang menjadi broker dari hampir dua pertiga total aset di industri hedge funds. Pada saat bersamaan, ketiga bank ini pula yang menjadi penyandang pembiayaan bagi kebanyakan pemain hedge funds. Bayangkan bila ada bank berperan ganda: sebagai perantara dan sebagai penyedia dana.

    Dengan ”format permainan” seperti itu, risiko finansial tidak berpindah tangan atau tersebar ke seluruh sistem finansial. Risiko dimonopoli dan tetap terkonsentrasi di tiga bank. Mereka bisa untung. Mereka pun bisa buntung. Fenomena ini menyumbang pada berlanjutnya volatilitas di pasar keuangan dunia dan menyebabkan turunnya tingkat kepercayaan pada bank-bank investasi ini.

    Pada saat yang sama, proses penyesuaian harga aset (asset repricing) juga terjadi di pasar kredit. Turunnya nilai asset-backed debt instruments sebenarnya merefleksikan turunnya harga kolateral di balik instrumen finansial itu. Penilaian ulang terhadap risiko kemudian menyebabkan melebarnya jarak antara harga aset dan harga pasiva. Akibatnya, kredit menjadi ketat. Selama proses ini belum berhenti, selama itu pula pasar kredit tetap ketat.

    Banyak yang mengatakan bahwa leverage ratio (rasio utang terhadap ekuitas) perusahaan industri di Amerika relatif rendah. Namun, menurut saya, korporasi seperti itu pun cepat atau lambat pasti akan masuk ke pasar finansial untuk mencari dana segar. Antara lain untuk mengantisipasi kemungkinan itulah The Fed menginjeksi likuiditas, memotong discount-rate dan juga Fed Funds rate secara agresif. Tapi tampaknya ini cuma sekadar ”feel good factor”. Masalah sistemik yang sudah muncul ini tidak dapat disembuhkan oleh sekadar kebijakan moneter.

    Harga minyak, nilai dolar, inflasi global

    Proses ini diiringi oleh tingginya harga minyak, lemahnya nilai dolar, dan tekanan inflasi global. Di Amerika, penyebab inflasi adalah minyak. Di Timur Tengah, penyebabnya adalah jepitan murahnya dolar, mahalnya minyak, dan dollar-peg. Di Cina, penyebabnya adalah kenaikan upah, harga makanan, dan harga komoditas. Di Asia timur, minyak dan komoditas. Dalam perspektif global, ketiga faktor ini tidak hanya mempersulit Amerika, tapi juga memunculkan kerumitan dalam proses revaluasi harga aset di pasar finansial global.

    Kombinasi ketiga faktor ini pula yang akan menimbulkan turbulensi berkepanjangan di pasar finansial global, dan yang pasti akan merembet ke Asia. Dan Asia memang masih rentan terhadap gejolak eksternal, terutama dari Amerika Serikat. Proses penyesuaian aktiva dan pasiva di perusahaan finansial di seluruh dunia akan menyebabkan turbulensi. Perlambatan ekonomi Amerika juga akan mengganggu setidaknya tiga mesin pertumbuhan dunia: Cina, India, dan Brasil.

    Saya memperkirakan ekonomi Cina, India, dan Brasil tidak akan terpengaruh oleh perlambatan Amerika karena besarnya elemen permintaan domestik. Namun perilaku ekonomi Cina dan India akan berdampak pada Asia Tenggara lewat pengurangan impor bahan mentah dan bahan baku. Sedikit-banyak, faktor itu akan mengaksentuasi volatilitas di pasar modal Asia lewat perusahaan-perusahaan yang terkait bisnis dengan Cina, India, dan Amerika.

    Untuk Indonesia, gelombang pasang-surut yang cepat dan sering di pasar finansial akan menciptakan volatilitas cukup besar pada 2008. Kita bisa berdebat panjang soal implikasi price earnings ratio (PER) atau PER-to-economic growth ratio terhadap keputusan investasi antarnegara. Tapi, dari sisi kebijakan domestik, isunya tetap sama: yang harus dicermati adalah jangan sampai volatilitas itu pada akhirnya ikut-ikutan menggerus fundamental ekonomi yang notabene belum kokoh ini.

    Bila otoritas fiskal dan moneter kita piawai, seharusnya mereka tahu mencari jurus jitu untuk membantu kapal Indonesia dalam mengarungi ombak besar pada 2008.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus