Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sjamsu Rahardja
Kita memang bukan Forrest Gump. Kita lebih suka mengenang kesuksesan ketimbang kenangan pahit. Lihat saja tayangan televisi mengenai aktivitas pertanian menyusul meninggalnya bekas presiden Soeharto. Kita terus mengingat-ingat lagi monumen kenangan manis swasembada pangan yang pernah dicapai republik ini.
Padahal kini kita memasuki zaman sulit. Dalam hitungan minggu, harga pangan terus melesat naik. Bahkan minyak goreng, tempe, dan tahu dikabarkan sempat langka di pasaran. Kegelisahan (anxiety) masyarakat makin parah akibat informasi asimetris banyak media yang mengesankan Indonesia sendirian terperosok ke dalam krisis harga pangan.
Melesatnya harga pangan belakangan ini lebih disebabkan oleh fenomena global. Setelah mengalami tren penurunan selama lebih dari 40 tahun, harga riil komoditas pangan dunia berbalik naik dalam dua tahun belakangan. Selain pertumbuhan permintaan pangan penduduk Cina dan India secara eksponensial, bahan pangan menemukan ”perut” baru, yakni tangki bahan bakar kendaraan. Konversi bahan pangan untuk campuran biofuel serentak meningkat di banyak negara.
Hasilnya, gejolak harga pangan dialami oleh banyak negara. Sebagai contoh, pada 2007, Amerika Serikat mengalami inflasi pangan sampai 4,1 persen, tertinggi sejak 1990. Inflasi pangan di Cina pada Desember 2007 mencapai 14 persen, jauh di atas angka inflasi total sebesar 3,6 persen. Profil inflasi pangan di Korea Selatan tahun lalu sangat berbeda dengan tahun sebelumnya, ketika inflasi pangan pada 2007 sering melesat di atas inflasi total.
Namun pemerintah tetap wajib turun tangan karena pangan adalah masalah serius. Data Susenas 2007 menunjukkan hampir sepertiga pengeluaran per kepala penduduk termiskin habis untuk mi, beras dan biji-bijian, serta kacang-kacangan. Sebagian besar petani kita juga net buyer pangan. Maka kenaikan harga pangan dapat menambah kemiskinan, terutama di kalangan mereka yang berpendapatan marginal di atas garis kemiskinan.
Kalau ini gejala global, apakah swasembada pangan dapat menjamin kita terbebas dari gejolak harga pangan dunia? Apakah melepas ketergantungan terhadap impor beras dan kedelai serta-merta akan membebaskan harga dalam negeri kedua produk tersebut dari fluktuasi harga dunia? Rasanya tidak. Tengok saja minyak goreng. Pada 2007, ekspor kita lebih dari 4 juta ton, sementara kebutuhan konsumsi dalam negeri hanya 3 juta ton. Swasembada minyak goreng pada kenyataannya tidak mengelakkan harga minyak goreng di Beringharjo, Yogyakarta, dari gejolak harga dunia minyak sawit.
Dalam jangka pendek, tidak banyak yang bisa kita lakukan untuk mengatasi gejolak harga pangan kecuali membantu golongan yang paling terkena, yakni rumah tangga miskin dan produsen pangan mikro seperti perajin tahu dan tempe. Menunjuk Bulog mengimpor bahan pangan juga akan menambah kompetisi terhadap segelintir importir.
Dalam jangka menengah, harga pangan yang tinggi seharusnya menarik sektor pertanian menaikkan produksi. Untuk itu, pemerintah sebaiknya tidak berlebihan merekayasa harga (distorsi) agar petani menentukan komoditas yang paling menguntungkan untuk ditanami. Bantuan kepada petani sebaiknya berfokus pada upaya meningkatkan produktivitas pertanian seperti infrastruktur desa dan irigasi, benih, dan teknologi canggih, serta menggalakkan penyuluhan pertanian. Kalau kita memang sentimental terhadap produksi pangan dalam negeri, pindahkan saja sebagian subsidi bahan bakar minyak untuk dana revitalisasi sektor pertanian.
Akhirnya perlu terobosan yang mengawinkan upaya peningkatan produksi pangan dengan risiko pasar yang dihadapi produsen pangan. Instrumen pasar seperti akses modal dan jaminan resi gudang bagi petani mutlak harus berkembang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo