SETELAH Presiden Republik Filipina Fidel Ramos mengatasi masalah buah simalakama bernama Konferensi tentang Timor Timur, beberapa pejabat tinggi negeri tetangga Indonesia itu kini tampaknya bisa bersikap lebih leluasa. Yakni, menghentikan -- meski sementara -- konferensi yang sedianya akan berlangsung Rabu sampai Sabtu pekan ini di kampus University of the Philippines, Manila, itu. Mula-mula Ramos menurunkan derajat konferensi internasional yang rencananya akan dihadiri para peserta yang anti integrasi Timor Timur ke dalam wilayah RI itu menjadi lokal, dengan menangkal peserta dari luar Filipina. Cara itu rupanya tidak menyalahi konstitusi Filipina yang menjamin hak berpendapat warganya. Tapi, itu cukup menyenangkan Indonesia yang semula berharap agar konferensi yang melulu akan mengupas masalah Tim-Tim itu dibatalkan. Kini mestinya pihak Indonesia bisa merasa benar-benar lapang, karena tuntutan semula terkabul. Dua pekan lalu, Menteri Luar Negeri Ali Alatas menyambut baik keputusan Presiden Fidel Ramos. Sabtu pekan lalu, menurut sumber TEMPO di Rumah Sakit Medistra, Jakarta, Ali Alatas tampak tersenyum lega mendengar dibatalkannya konferensi itu. "Ya, saya dengar itu atas permintaan Philindo," katanya pelan. Alatas sejak Rabu petang pekan lalu mendadak harus menjalani perawatan intensif di rumah sakit itu akibat fatique (terlalu letih), paling tidak selama dua minggu. Tapi, menurut sumber TEMPO yang mengetahui, sejak akhir pekan lalu itu kesehatannya mulai membaik. Adapun pembatalan konferensi itu datang dari Pengadilan Quezon City, kawasan yang masih termasuk Metro Manila. "Saya keluarkan pembatalan sementara itu atas dasar petisi yang diajukan Masyarakat Persahabatan Filipina-Indonesia (Philindo)," kata Hakim Marciano Bacalla kepada para wartawan di Manila pekan lalu. Persisnya, itu pembatalan sementara, berjangka 20 hari sejak diumumkan. Setelah lewat 20 hari, akan ada pembicaraan, apakah konferensi yang konon akan membahas masalah hak asasi dan referendum di provinsi ke-27 Indonesia itu bisa diselenggarakan atau tidak. Tentu saja para penyelenggara naik pitam. "Itu terang- terangan melanggar hak kelompok akademik untuk menyelenggarakan suatu pertemuan," kata Renato Constantino, Jr, ketua panitia penyelenggara konferensi itu. Salah seorang penyelenggara tak ambil peduli pada pembatalan itu. Ia mengatakan konferensi akan tetap diselenggarakan meski itu bisa dinilai melecehkan pengadilan. "Kami akan menanggung risiko itu," katanya. Sebab, tak pernah ada pertemuan di universitas dilarang oleh pemerintah, paling tidak di zaman pasca-Marcos. Ia khawatir, pembatalan kali ini bisa menjadi preseden. Karena itulah, kini yang dikibarkan oleh para pendukung Konferensi tentang Timor Timur bukan lagi kebebasan berkumpul dan menyatakan pendapat, melainkan kebebasan akademis. Konon, jumlah para pendukung itu tampaknya bertambah. Mereka ada di senat, di antara para ilmuwan dan cendekiawan, dan di beberapa pers lokal. Mereka menuduh proses pembatalan itu direkayasa oleh unsur-unsur pemerintah. Sebab, menurut mereka, adalah aneh bahwa permohonan yang diajukan Philindo itu langsung diterima hanya dalam satu hari. Padahal, di Filipina, setiap petisi harus dipertimbangkan oleh para hakim terlebih dahulu selama satu minggu, dan baru diberlakukan jika disetujui. Masyarakat Persahabatan Filipina-Indonesia itu sendiri kabarnya baru dibentuk April lalu, setelah kabar akan diadakannya Konferensi tentang Timor Timur terdengar. Dan, baru Selasa pekan lalu terdaftar resmi pada Securities and Exchange Commission, lembaga yang mendaftar setiap organisasi yang hendak berurusan dengan mitra di luar negeri. Ketuanya, Jose Laurel, mantan duta besar Filipina di Jepang, dikenal dekat dengan Ramos. Tapi di Filipina, yang konstitusinya menjamin hak mengeluarkan pendapat, tak cuma suara menentang pembatalan yang terdengar. Begitu Presiden Ramos mengumumkan soal penangkalan peserta konferensi dari luar negeri, muncul pula desakan agar Ramos bertindak lebih keras. Umpamanya, itu datang dari para pengusaha Filipina yang merasa bisnisnya bakal dirugikan akibat konferensi tersebut. Sebab, contoh yang merugikan itu sudah terjadi. Gara-gara delegasi Indonesia mogok ikut East ASEAN Business Convention and Exhibit, pertemuan yang semula akan diadakan di Kota Davao, akhir pekan lalu, ditunda sampai bulan Oktober. Padahal, menurut seorang pejabat Kementerian Luar Negeri Filipina, dalam Pertemuan dan Pameran Bisnis ASEAN Timur itu 12 proyek patungan Filipina-Indonesia akan disepakati. "Kami dirugikan jutaan dolar akibat penundaan itu," katanya. Keluhan paling keras berasal dari perkumpulan para nelayan di Filipina. "Kami minta para penyelenggara Konferensi Timor Timur itu meninjau dampak tindakan mereka," kata Adelberto Antonino, wali kota General Santos, di Provinsi Mindanao, kepada surat-surat kabar setempat. Akibat ketegangan hubungan Indonesia-Filipina karena konferensi tersebut, dalam waktu satu pekan saja, 25 kapal nelayan ikan tongkol milik Filipina ditahan pihak keamanan lautan Indonesia. Mereka dituduh melanggar batas yang ditentukan. Padahal, sebelumnya kapal- kapal nelayan Filipina itu pun mencari ikan di lokasi itu juga, tanpa diganggu. Yang menarik, masyarakat Filipina yang tinggal di Indonesia, berjumlah sekitar 3.000 orang, merasa terancam. Mereka, kebanyakan bekerja sebagai konsultan manajemen, mempunyai kelompok-kelompok masing-masing. Dan pekan lalu, tujuh kelompok dipimpin oleh Setiakawan Alaala Foundation dan Indo-Phil Association mengirim surat terbuka kepada penyelenggara Konferensi Timor Timur. Isinya, agar pertemuan yang berpotensi merusak hubungan antara dua negara itu dibatalkan. Mungkin sekali, usulan Philindo hanyalah menjadi pemicu saja. Pertimbangan sebenarnya adalah protes-protes dari sejumlah masyarakat Filipina yang merasa dirugikan itu. Tapi, bila tanggal 10 Juni nanti, setelah masa pembatalan sementara Konferensi Timor Timur usai, pihak yang menggugat pembatalan itu semakin kuat, tampaknya buah simalakama belum sepenuhnya dikalahkan oleh Ramos. Dampak buah itu tetap ada, meski bukan lagi perdebatan soal hak asasi manusia di Timor Timur. Melainkan, soal adakah atau tidak adakah pelanggaran konstitusional dalam pembatalan sementara Konferensi tentang Timor Timur itu. Yang agaknya pasti, jadi atau tidaknya konperensi itu, orang di Filipina kian banyak saja yang tahu bahwa ada hal yang belum beres di provinsi RI yang paling buncit itu. Yuli Ismartono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini