PARA pelaku bisnis oli palsu kini tak bisa lagi berkutik. Sebab, penegak hukum sudah punya jaring baru, yakni Undang- Undang Merek Tahun 1992. Dengan perangkat hukum yang diberlakukan 1 April 1993 itu, pemalsu pelumas bisa diancam hukuman tujuh tahun penjara dan denda Rp 100 juta. Selama ini, berbagai kasus oli palsu sepertinya licin dari jerat hukum. Kalaupun tersandung, mereka cuma dibidik pasal- pasal usang di KUHP. Entah pasal 256 -- lebih dimaksudkan untuk merek pajak sepeda -- pasal 263 (pemalsuan, yang sebenarnya berlaku untuk surat), ataupun pasal 382 bis (persaingan curang, untuk segala objek bisnis). Di Pengadilan Negeri Bandung, misalnya, belum lama ini pelaku kasus oli palsu bahkan dibebaskan oleh hakim. Sebelumnya, jaksa mengenakan tuduhan dengan pasal-pasal di atas (TEMPO, 19 Maret 1994). Sekarang polisi tampaknya menyidik dengan Undang-Undang Merek. Itulah yang ditempuh untuk pertama kalinya oleh Kepolisian Daerah Jawa Tengah, terhadap Nardi Basuki, 42 tahun, pekan-pekan ini. Pengusaha bengkel motor dan kios oli di Semarang itu ditangkap April lalu. Sedangkan dua mitranya, Darmadji (asal Surabaya) dan Marbun (warga Jakarta), diringkus sebulan kemudian. Nardi dkk. dituduh memproduksi oli merek Mesran Super milik Pertamina dan Federal Oil tanpa hak. Dari Nardi, polisi menyita 11 kotak yang masing-masing berisi 24 botol oli, dan 59 kotak yang tiap kotaknya berisi 20 botol oli berukuran satu liter. Pengusaha yang hidupnya berkecukupan itu diduga sudah lama melakoni bisnis oli palsu. Di Manado, pemilik Megaria Service Motor, Soerja Koesnandar, juga disidik dengan Undang-Undang Merek. Soerja dituduh membisniskan oli palsu, yang diberinya label merek Mesran Super milik Pertamina. Dari Soerja, yang ditangkap Januari silam, disita 101 drum oli palsu dan 400 kemasan kotak kecil. Hanya saja, terhadap Soerja, yang tak ditahan, penyidik agaknya kurang optimistis dengan keampuhan Undang-Undang Merek. Untuk berjaga-jaga, kepolisian juga melapisi dakwaan dengan pasal 382 bis. "Supaya tersangka tak lolos dari tuduhan," ujar Kepala Kepolisian Resor Kota Manado Letnan Kolonel Irawan Sumarno. Nardi dan dua rekannya mengaku tak begitu mengerti Undang- Undang Merek yang dituduhkan. "Ya, kami sedang sial saja," ucap mereka. Nardi mengaku baru dua bulan mencoba bisnis oli palsu. Dari 13 drum (2.600 liter) oli produksinya, sudah terjual 1.200 liter dengan harga Rp 4.000 per liter -- di bawah harga oli Pertamina. Soerja sendiri, seperti dilaporkan Hamim Pou dari TEMPO, tampak stres berat. Namun, istrinya, Liesye Gunawan, mencak- mencak mengomentari tudingan pembajakan merek Pertamina. "Suami saya hanya menjualkan oli dari Jakarta. Lagi pula, hampir di semua daerah ada oli seperti itu," katanya. Masalahnya, bisakah Undang-Undang Merek menangkal bisnis oli palsu dengan efektif. Soalnya, mengurusi bisnis oli tiruan bukan perkara gampang. Ini betul-betul benda licin dan mudah berkelit dari hukum. Beberapa pengusaha diketahui mendaur ulang oli bekas, kemudian memasarkannya dengan merek Pertamina. Mereka sebenarnya tak bisa dipidana, lantaran mengantongi izin dari Pertamina. Tapi Pertamina memberi izin dengan ketentuan bahwa penggunaan oli daur ulang itu hanya untuk pelengkap bahan di pabrik dan pembakaran kapur -- bukan untuk kendaraan bermotor. Izin penggunaan inilah yang dilanggar. Kemudian di Manado, CV Faisal Yunus mendaur ulang oli bekas tanpa seizin Pertamina. Bisakah ia diciduk dengan Undang-Undang Merek? Sulit, sebab ia menjual oli itu tanpa merek. Berarti, tanpa pemalsuan merek sama sekali. Akhirnya, ia dijaring dengan Undang-Undang Perindustrian Tahun 1984.Happy Sulistyadi dan Bandelan Amarudin (Semarang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini