TAK biasanya pada dinihari sekitar jam 01.30 seorang Gubernur DKI Jaya sudah muncul di pelataran gedung Balai Kota. Namun, Minggu pagi pekan lalu, pada jam itu Gubernur Wiyogo Atmodarminto ternyata sudah siap di situ. Hari itu ia mengenakan jaket abu-abu yang menutupi kaus putih berkrah biru, dipadu celana olah raga warna abu-abu. Kakinya dibungkus sepatu putih merk Reebok. Ia juga mengenakan topi pet biru. Tampaknya, pakaian tersebut untuk menyesuaikan diri dengan acaranya dinihari itu: menyambut peserta lomba gerak jalan Jakarta-Bogor yang finisnya di gedung Balai Kota. Seorang peserta yang tertua, Johar Hamzah, 88 tahun, yang menyelesaikan lomba sekitar jam 02.30 malah mendapat sambutan istimewa dari Gubernur. Begitu Johar menjejakkan kakinya di garis finis, Wiyogo tiba-tiba berteriak, "Haaiit!" Tanpa canggung Johar membalas, "Haaiit!" sambil mengacungkan lengan kanannya dan kemudian menepuk bahu Wiyogo. "Dia gubernur yang baik, tengah malam begini mau-maunya menyambut peserta," komentar Johar. Lain halnya dengan Hendra. Siswa STM Pembangunan Jakarta ini tampak menyesal ketika tahu bahwa yang mengalaknya bersalaman tadi adalah Gubernur DKI. "Saya tak tahu dia itu Gubernur. Padahal, wajahnya sering saya lihat di koran-koran, tapi enggak hafal, mungkin karena dia masih baru," katanya. Menjelang jam 4.30 pagi, Wiyogo meninggalkan Balai Kota dan kembali pulang ke rumahnya di Jalan Banyumas yang terletak di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Hari itu sebenarnya hari istimewa buat Wiyogo. Pada Minggu, 22 November lalu itu, ia berulang tahun yang ke-61. Itu sebabnya sejak jam 11.00 pagi sudah banyak tamu berdatangan ke rumahnya. "Padahal, saya tak ngundang-ngundang. Lagi pula, begini saja sudah ramai, bagaimana kalau disebarkan undangan, wah bisa repot saya nanti?" kata Wiogo dengan wajah cerah. Ia didampingi oleh istrinya, Rubinetta Rubini, 56 tahun. Meski baru dua bulan menjabat gubernur, Wiyogo telah "mengguncangkan" Jakarta. Sejumlah pejabat Pemda digebraknya, kebersihan kawasan Monas diserahkannya pada perusahaan swasta. Yang terakhir, bangunan tambahan di Pasar Tanah Abang yang telah selesai dibangun dan bernilai sekitar Rp 9 milyar diperintahkannya dibongkar, karena tak punya IMB. Selama beberapa hari, pekan lalu, sejumlah reporter TEMPO -- antara lain Linda Djalil dan Bachtiar Abdullah -- mengikuti Wiyogo dan mewawancarainya. Petikannya: Apakah Bapak sudah memikirkan dengan matang keputusan pembongkaran bangunan di Tanah Abang itu? Ya, sudah! Tapi terus terang, saya prihatin sekali ketika membuat keputusan itu. Tapi bagaimana lagi? Ini untuk menjaga wibawa pemerintah. Yang akan datang, supaya tidak ada lagi hal-hal begini. Jangan bangun seenak-enaknya sendiri. Bagaimana dengan penyimpangan-penyimpangan lainnya, seperti bangunan supermarket di dekat Pasar Cikini, atau pertokoan sepanjang Jalan Warung Buncit Raya yang menyalahi ketentuan? Bagaimana sih ini. Satu-satu dulu, to. Ini baru soal Tanah Abang, yang kebetulan belum sempat berfungsi. Jangan tanya-tanya lokasi lain dulu. Suatu ketika, kenapa Bapak bisa marah kepada Wali Kota Jakarta Timur, Sabenny Effendhy ? Ya, habisnya cara dia melaporkan hasil kerjanya enggak gerah gitu. Apa tidak kasihan, Pak, memarahi anak buah di depan orang banyak? Maaf saja, saya memang sifatnya begini. Kadang-kadang plos-plos. Tapi sebetulnya saya tak ada niat apa-apa, kalau marah sekarang sebentar nanti tidak saya pikirkan lagi. Marah pada saat itu salah. Mengurusi soal mesin ketik, kalkulator, bahkan memeriksa WC kelurahan, apa itu bukan masalah kecil? Siapa bilang? Itu justru masalah dasar, kok. Bagaimana bisa beres kerjanya, kalau yang kecil-kecil saja belum bisa beres? Akhir-akhir ini Bapak sering meninjau Jakarta sendirian saja, apa saja yang sudah Bapak lihat? Ya, pagi-pagi di hari Minggu, saya naik motor sendiri. Tapi tidak dengan Harley yang gede itu. Saya ke Monas mengamati orang-orang yang habis jogging. Ya, ampun, mereka kok seenaknya saja buang-buang sampah sisa makanan. Enggak yang berjualan, enggak pembelinya. Padahal, yang sering jogging ke Monas 'kan orangnya itu-itu saja, bahkan dari kalangan menengah ke atas banyak juga. Bagaimana ini, ya? Apakah nanti seluruh penanganan sampah akan dikelola oleh swasta? Saya kira tak mungkin untuk menswastakan semuanya. Pola yang saya terapkan adalah penggabungan antara swasta dan aparat pemerintah. Untuk tahap pertama, kawasan yang ditangani oleh pihak swasta di daerah Monas dan sekitarnya. Lalu Kampung Bali di Jakarta Pusat dan Kelurahan Selong di Jakarta Selatan. Itu pun masih dalam percobaan selama empat bulan ini. Yang penting harus dihitung secara cermat, agar pihak Pemda dan swasta sama-sama tak dirugikan. Jika nanti penanganan sampah oleh swasta ini meliputi kawasan yang luas, barangkali harus dipikirkan apakah perlu memberikan truk pengangkut sampah kepada swasta atas suatu kesepakatan sewa beli atau leasing. Dengan cara ini 'kan beban Dinas Kebersihan DKI bisa dikurangi. Apakah swastanisasi ini juga akan ditularkan ke bidang-bidang lainnya? Saya kira juga akan diterapkan di sektor perparkiran dan pengelolaan taman. Anggaran Pemda DKI Jaya 'kan terbatas. Dengan memadukan swasta dan pemerintah, subsidi bisa dikurangi bahkan hasilnya bisa masuk ke kas Pemda DKI. Tapi kontrolnya harus bener jangan ada main. Maka, masyarakat kita ikut sertakan untuk mengontrolnya. Sebagai contoh, Balai Sidang Senayan, yang sudah dikelola swasta kini bisa berdiri sendiri. Mereka kini sudah bisa menanam investasi dengan meningkatkan faslitas. Begitu juga TIM. Apakah harus terus disubsidi seperti sekarang ini? Kalau misalnya nanti pengelolaan oleh swasta berhasil, TIM akan bisa meningkatkan peranannya. Kita harus menumbuhkan kepercayaan masyarakar bahwa TIM hisa mengelola bangunannya dengan baik. Dengan demikian, TIM bisa mendukung tumbuhnya kesenian dengan baik. Target PBB di DKI tahun silam tak terpenuhi. Bagaimana komentar Bapak? Mudah-mudahan nanti bisa diperoleh peningkatan yang berarti. Perbaikan administrasi sedang dilakukan, sekarang belum selesai komputerisasinya. Bila sudah diketahui pasti jumlah gedung dan bangunan yang ada kami bisa mengontrol pemasukan PBB-nya. Begitu juga dengan SWP3D untuk kendaraan yang sudah tertib administrasinya. Dengan begini, kami bisa mengontrol peningkatannya. Bagaimana dengan becak. Apakah masih akan terus dibuang ke laut? Becak masih akan tetap kami pertahankan. Oleh karena itu, kami usahakan untuk jangan dibuang ke laut. Namun, kami juga mengharapkan becak bisa tertib. Kalau sampai melanggar ketentuan-ketentuan yang ada, mau tidak mau harus diambil langkah-langkah penertiban. Banyak yang mengatakan bahwa langkah-langkah Bapak sebagai gubernur membawa angin segar buat warga DKI? Insya Allah kalau memang begitu. Kami hanya mengawali, supaya Pemda bisa membuktikan tekadnya sebagai pelayan masyarakat. Tentu ini suatu cita-cita yang mungkin dalam kurun waktu lima tahun saya bertugas nanti, belum akan terwujud. Tapi barangkali bisa mendekat ke arah itu. Entah berapa dekat itu nanti, tentu ada faktor berpengaruh. Karena, masalah yang dihadapi menyangkut manusia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini