KASUS Tanah Abang tampaknya cuma satu dari pekerjaan besar Gubernur DKI Jakarta, Wiyogo Atmodarminto. Banyak persoalan lain yang tak kalah pentingnya, yang memerlukan tangan tegas "Bang Wiek". Setelah Tanah Abang lalu apa? Banyak warga Jakarta bertanya-tanya. Sebab, bukan rahasia lagi, banyak pembangunan di Jakarta yang jelas menyimpang dari peraturan atau rencana semula. Ada pertokoan di jalur hijau. Ada pasar swalayan di dekat pasar tradisional. Di Cikini, Jakarta Pusat, misalnya, kini berdiri sebuah bagunan yang jelas melanggar peraturan. Namanya Pasar Swalayan Sinar Gloria. Semula, berdasarkan Perencanaan Tata Kota 1985-2005, di lokasi tersebut akan dibuat jalan arteri selebar 32 meter yang menghubungkan Jalan Cikini Raya dan Jalan Salemba Raya serta jalur hijau. Para pedagang kembang, yang menggelar dagangan di situ sejak 1964, dengan sukarela melepaskan dan pindah ke bedeng sementara di pinggir rel kereta api. Mereka dijanjikan akan ditampung di Sinar Gloria bila pembangunannya selesai. Namun, hingga pasar swalayan itu berdiri, pertengahan tahun lalu, para pedagang belum juga pindah. Padahal, untuk membangun kios darurat di pinggir rel kereta api, mereka kena iuran Rp 1,5 juta. Protes pun dilayangkan. Dan janji tinggal janji. Untuk menempati kios berukuran 4 X 4 meter di Gloria, para pedagang harus menebus dengan harga Rp 36 juta. "Jelas, itu di luar kemampuan kami," kata Haji Djamhuri, 37 tahun, seorang pedagang bunga di sana. Sialnya, baru setahun mereka bercokol di kios sementara, pihak PJKA meminta mereka hijrah secepatnya karena dianggap membahayakan lalu lintas kereta api. Alhamdulillah, pihak Wali Kota Jakarta Pusat rupanya cukup tanggap. "Sekarang ini yang penting kami pindah dulu. Soal harga dirundingkan belakangan," sambung Djamhuri, Ketua Pedagang Pasar Kembang Cikini, itu kepada Tri Budianto Soekarno dari TEMPO. Protes datang juga dari para pedagang Pasar Cikini. Berkali-kali para pedagang di pasar tradisional itu mengirim utusan ke DPRD DKI Jaya memprotes berdirinya pasar swalayan itu. Mereka menunjukkan ketentuan Pemda DKI Jaya yang melarang berdirinya supermarket dalam jarak 500 meter dari pasar tradisional. Hingga kini belum jelas mengapa dan bagaimana Sinar Gloria bisa memperoleh izin. Unjuk perasaan datang pula dari PT Mastin Raya Gemilang (MRG) karena sebagian tanahnya termakan gedung Gloria itu. Martin Manurung, Direktur Utama MRG, tak habis pikir, sepulang dari luar negeri tahu-tahu sudah berdiri bangunan. Ia bertanya-tanya, bagaimana mungkin pusat perbelanjaan itu bisa dibangun. Sementara itu, jalan arteri yang rencananya dibikin selebar 32 meter, kenyataannya, tinggal 18 meter. Merasa dirugikan, Martin mengadukan PT Sinar Surya Sembada (SSS), pemilik Sinar Gloria, ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat beberapa waktu lalu. Ia menuntut ganti rugi atas penyerobotan tanahnya seluas 141 m2, sebesar hampir Rp 400 juta. Sengketa yang berjalan lebih dari dua tahun itu memenangkan Martin. PN Jakarta Pusat memutuskan SSS dan direktur utamanya membayar sekitar Rp 200 juta plus bunga 6 persen per tahun sampai lunas. Kendati sudah ada keputusan dari pihak yang berwenang, Martin mengaku hingga kini belum bisa berbuat apa-apa. "Gedung belum juga dibongkar," tuturnya. "Yang saya herankan, pihak swasta kok bisa mendirikan bangunan dan bisa mengubah lebar jalan yang sudah direncanakan Tata Kota." Termasuk jalur hijau yang juga dimakan bangunan. Keheranan Martin boleh jadi keheranan banyak warga Jakarta. Banyak lagi "kelainan" yang membuat kening berkerut. Contoh lain: menjelang pelebaran Jalan Warung Buncit Raya diumumkan bahwa di sepanjang jalan itu nantinya tidak akan diizinkan didirikan pertokoan agar tidak ada parkir kendaraan yang bisa memacetkan lalu lintas. Eh, belum lagi jalan itu rapi benar, berjejer-jejer toko -- sebagian bertingkat -- memenuhi sepanjang jalan tersebut. Ada kesan, di masa lalu sering aparat Pemda DKI gampang sekali mengubah kebijaksanaan. Soal jalur hijau di kawasan Tebet, umpamanya. Ketika lahan kosong itu ditempati penduduk yang dipindahkan dari Senayan -- yang dipakai untuk membangun kompleks olah raga menjelang Asian Games -- pemerintah menyediakan tanah di daerah Tebet. Pemerintah juga menetapkan bahwa tanah seluas 26 hektar yang ada di situ dijadikan jalur hijau. Namun, perkembangan penduduk yang begitu pesat dan kurangnya kontrol menyebabkan ratusan bangunan liar berdiri dalam waktu singkat. Sejumlah gebrakan yang dilakukan tak sepenuhnya berhasil. "Hanya di bagian selatan yang dapat ditertibkan," kata seorang pejabat teras di DKI. Pendataan yang dilakukan pada 1985 mencatat ada 2.000 kepala keluarga tinggal secara tidak sah di situ. Bila tetap berpegang pada aturan semula, berarti harus menggusur para penghuni liar itu. "Lantas, mereka mau dipindahkan ke mana?" kata sumber yang enggan disebutkan namanya itu. Yang terang, sisa jalur hijau Tebet -- memanjang dari Jalan Seno di Selatan hingga Lapangan Roos di utara -- sedapat mungkin terus dipertahankan. Pepohonan dibiarkan tumbuh subur. Sementara ini Dinas Pertamanan memanfaatkannya untuk kebun bibit. Tantangan bukannya tidak ada. Beberapa developer terus "merayu" Pemda untuk membangun real estate di kawasan itu. Sementara ini memang belum mempan. "Kami akan tetap berpegang pada prisip, sebagai jalur hijau," ujar pejabat tadi. Terbetik kabar, pemda sudah punya rencana mengadakan peremajaan Jalur Hijau Tebet. Termasuk dalam peremajaan itu adalah pembangunan beberapa bangunan untuk kepentingan umum, seperti balai pertemuan, stadion mini, dan berbagai sarana olah raga. Konon, sarana umum itu termasuk juga pembangunan rumah susun. "Namun, luas tanah yang ditempati berbagai bangunan itu tak boleh melebihi 20 persen dari jalur hijau," ujar sumber yang sama. Diangkatnya Wiyogo menggembirakan banyak pecinta lingkungan hidup. Sebab, Wiyogo, yang pernah menjabat dubes di Jepang, agaknya sangat memperhatikan soal penghijauan dan pelestarian lingkungan. Tampaknya, harapan itu ada. Ucapan Wiyogo ketika melantik sejumlah pejabat baru di lingkungan DKI, akhir Oktober lalu, menunjukkan sikapnya itu. "Penataan fisik kota di masa mendatang harus berdasarkan keadaan obyektif, dan semua rencana mengenai hal ini tidak boleh ditutup-tutupi bagi masyarakat luas. Sementara lahan yang sudah ditetapkan sebagai jalur hijau harus tetap berfungsi sebagai paru-paru kota. Jangan sampai diulah menjadi kuning atau bahkan jadi merah." Jalur kuning diperuntukkan bagi permukiman. Jalur merah khusus untuk perdagangan. Namun, kenyataannya, kini banyak hijau yang menjadi kuning atau merah. Baru dua bulan Wiyogo menjadi Bapak Jakarta. Walau begitu, besar harapan warga ditumpahkan kepadanya. Berkali-kali selama delapan pekan ini ia turun sendiri. Apakah dalam masa jabatannya nanti ia akan bisa menggerakkan aparat hingga mesin pemda akan berjalan mulus, tanpa ia sendiri harus menggebrak? Bisakah segala kebijaksanaan dan rencana yang sudah diputuskan, berjalan lurus tanpa dibelokkan? Bisakah hijau akan tetap hijau? Sejauh ini titik berat Wiyogo tampaknya masih berkisar pada masalah-masalah. fisik. "Ia belum berbicara tentang pembinaan sosial politis. Padahal, ini juga tak kalah pentingnya," kata seorang pejabat unggi. Lagi-lagi, sebuah PR buat Wiyogo. Yusroni Henridewanto, Yopie Hidayat, dan Muchsin Lubis (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini