Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Wiyogo Bertindak

Gubernur Jakarta Wiyogo Atmodarminto melakukan gebrakan. Bangunan tambahan Pasar Tanah Abang harus di bongkar. Banyak bangunan yang menyimpang dari peraturan. Wawancara dengan Wiyogo. Sampah akan diswastakan.

28 November 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KANTOR Wali Kota Jakarta Selatan tampak bersolek. Air mancur di halaman depan menari-nari, padahal biasanya kran-kran air di situ menganggur. Jalan masuk hitam berkilat akibat seharl sebelumnya dilamur aspal hotmix. "Pihak PU yang menawarkan aspal itu, tentu saja saya mau," kata Wali Kota Mochtar Zakaria. Toh pemandangan yang serba rapi itu terganggu oleh suasana yang tegang. Sebentar-sebentar semua orang menoleh ke jalan, seakan menunggu sesuatu. Tak salah. Mereka memang menanti kedatangan Gubernur DKI Jakarta, Wiyogo Atmodarminto. Pukul 11.30, Kamis pekan lalu, Wiyogo dan rombongan sampai ke sana. Seperti biasa, ia berpeci hitam dengan seragam putih. Acara dimulai dengan laporan Wali Kota Mochtar Zakaria tentang wilayahnya. Tampaknya ia menguasai keadaan. Secara terinci, diiringi pemasangan informasi di layar, ia menjelaskan permasalahan yang dihadapinya. Wiyogo tampak puas setelah acara tanya jawab yang berlangsung sekitar tiga jam usai. Dari kantor Wali Kota, rombongan Gubernur menuju ke Kecamatan Setiabudi dan Pasar Minggu. Begitu acara peninjauan selesai, semua orang menarik napas lega. "Syukur, peristiwa seperti di Jakarta Timur tidak terjadi di sini," kata seorang pejabat. Belum cukup dua bulan Wiyogo menjabat gubernur. Tapi hanya dalam waktu beberapa minggu itu ia sudah cukup membuat banyak pejabat Pemda dag-dig-dug. Tiga pekan setelah dilantik, ia mengganti sejumlah pejabat teras DKI, termasuk Kepala Dinas Pertamanan dan Kepala Dinas Tata Kota. Tapi yang paling membuat miris para pejabat Pemda adalah kejadian di Jakarta Timur. Hari itu, 11 November, Wiyogo meninjau wilayah Jakarta Timur. Tatkala mengetahui bahwa Cakung drain -- merupakan kanal yang dibangun untuk menanggulangi bahaya banjir di Jakarta Timur -- dipenuhi eceng gondok, ia marah. Lebih-lebih setelah Wali Kota Sabeny Effendy mengatakan bahwa itu adalah tanggung jawab Kopro Banjir, badan pengendali banjir di Jakarta, yang berada di bawah Departemen PU. Langsung saja Wiyogo menyemprot. "Saudara ditunjuk di sini bukan untuk nongkrong saja. Apalagi Saudara 'kan anggota ABRI. Jadi, harus sigap bertindak, tidak usah menunggu," tegurnya keras. Laporan Wali Kota yang berbelit-belit dan terasa terburu-buru juga membuatnya jengkel. Wiyogo -- didampingi istrinya -- juga mengingatkan agar istri pejabat Pemda DKI tidak ikut campur urusan dinas suaminya. "Dengan demikian, wibawa suami sebagai pejabat bisa ditegakkan, dan kepercayaan rakyat pada pamongnya tak akan luntur," ujarnya. Ucapan-ucapan Wiyogo memang terdengar segar buat masyarakat. Sebaliknya, ucapan-ucapan itu membuat banyak pejabat Pemda waswas. Seorang camat secara terus terang mengakui, ia sangat takut kalau-kalau "kebagian nasib" seperti Sabeny. "Maka, saya sekarang siap-siap. Takut nanti Pak Gubernur marah," ujar seorang lurah. Wiyogo memang ceplas-ceplos. Tapi sukar ditebak. Sering ia mendadak meledak-ledak marah. Tapi segera setelah itu ia bisa bergurau lagi dengan santai. "Sifat saya memang begini. Kadang-kadang plos-plos. Tapi sebetulnya saya tidak ada niat apa-apa," katanya. Namun, tampaknya, bukan "plos-plos" yang pekan lalu mendorongnya untuk mengumumkan keputusannya yang mengguncang Jakarta. Ia memerintahkan untuk segera membongkar dua bangunan tambahan di Pasar Tanah Abang, karena tak memiliki IMB. Keputusan itu memang tak tanggung-tanggung. Bangunan tambahan di Blok A itu sudah 90% selesai dibangun oleh developer PT Pondok Indah Tower, berupa bangunan berlantai tiga, dengan luas lantai seluruhnya sekitar 3.700 m2. Kios-kios di dalamnya, berukuran 2x2 meter, malah ada yang sudah sempat dipasarkan dengan harga sekitar Rp 30 juta per kios. Ada 300-an kios di bangunan ini. Bila dihitung, nilai jual semua kios yang ada bisa mencapai Rp 9 milyar. Satu lagi di Blok B, berupa bangunan tiga lantai. Luasnya 918 m2, yang sudah selesai dibangun sekitar 50%, oleh developer PT Graha Saba Kencana Sakti. Kepada wartawan, Gubernur menjelaskan, keputusan itu diambilnya untuk meluruskan penyimpangan yang dilakukan kedua developer, sekaligus memenuhi aspirasi pedagang Pasar Tanah Abang. Sejak bangunan itu berdiri, para pedagang di pasar itu sudah mengeluh -- malah pernah memprotes ke DPRD DKI -- karena bangunan tambahan itu menyebabkan suasana di pasar sumpek. Ventilasinya tertutup oleh bangunan tambahan itu. Tapi tampaknya ada yang lebih penting di balik keputusan drastis Wiyogo: gubernur baru ini rupanya ingin memperbaiki citra dan wibawa aparatnya. Pembongkaran itu sekaligus juga menunjukkan tekadnya untuk menertibkan pelanggaran pembangunan di Ibu Kota. "Terus terang saya prihatin sekali membuat keputusan itu. Tapi bagaimana lagi? Ini untuk menjaga wibawa pemerintah. Yang akan datang supaya tidak ada lagi hal hegini. Jangan bangun seenak-enaknya sendiri." Wiyogo rupanya melihat ada semacam erosi dalam suasana kerja aparat yang dipimpinnya. Karena itu, dia menggebrak untuk memulihkannya. Gebrakan seperti itu rasanya jarang terdengar akhir-akhir Ini. Banyak yang terkejut, gembira, serta tentu saja waswas dan sedih paling tidak dua developer tadi. "Penertiban Tanah Abang itu, kalau betul-betul konsisten, sangat saya dukung. Pandangan Pak Wiek cukup jauh ke depan," ujar Parulian Silalahi, bekas anggota DPRD DKI yang kini menjadi anggota DPR. Ketua Komisi D (Pembangunan) DPRD DKI, Mansyur Ahmad, mengatakan bahwa keputusan Gubernur itu cukup tepat, demi tegaknya citra aparat yang bersih dan berwibawa. Citra Pemda perlu ditegakkan, didukung, dan diterima oleh semua pihak dengan senang hati. Wakil Gubernur Eddie Nalapraya juga memandang langkah Wiyogo itu sebagai suatu hal yang positif. "Mungkin, secara pribadi tidak mengenakkan. Tapi ketertiban memang harus ditegakkan," katanya. Ada yang berpendapat, Wiyogo bertindak terlalu cepat. Seperti dipertanyakan seorang pejabat teras DKI, "Bagaimana pula nasib para pedagang yang sudah membeli kios di sana yang berharga puluhan juta? Ini 'kan perlu dicarikan jalan keluar." Seorang pejabat lain dengan geram mengomel, "Baru beberapa minggu saja menjabat gubernur dia sudah menggebrak. Apa dia mengira sudah tahu segalanya?" Memang tak banyak orang menduga Wiyogo begitu lekas bergerak. Mengingat menjelang dilantik sebagai gubernur, bekas dubes RI di Jepang itu masih menyatakan belum banyak tahu Jakarta, karena mengamatinya selama empat tahun cuma dari Tokyo. Wiyogo tak cuma bergerak ke satu jurusan. Ia juga memperhatikan hubungannya dengan pimpinan DPRD. Sepanjang bulan Oktober saja, selain mengadakan kontak langsung dengan pimpinan dewan, sudah tiga kali dia menghadiri sidang paripurna DPRD. Sebaliknya, Ketua DPRD Suparno Wiryosubroto diundangnya menghadiri rapat pimpinan Gubernur dengan para stafnya yang diadakan setiap minggu -- sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya. "Maksudnya agar kami bisa langsung memantau permasalahan yang dihadapi eksekutif," kata Suparno. Keterbukaan seperti itu rupanya menjadi ciri Wiyogo yang segera dirasakan. Suaranya terdengar nyaring ketika menyatakan, "Semua penataan fisik kota di masa mendatang tak boleh ditutup-tutupi bagi masyarakat luas." Padahal, selama ini bukan rahasia lagi bahwa warga kota sulit mengetahui peta rencana kota. Tak sedikit pula yang bingung karena bisa saja terjadi perubahan peruntukan suatu lokasi. Misalnya, suatu daerah yang sebelumnya jelas termasuk jalur hijau mendadak bisa berdiri kompleks pertokoan. Direktur Tata Bangunan, Ditjen Cipta Karya, Departemen PU, Ir. Hario Sabrang, menyebut ide Wiyogo itu bagus. Bila sistem informasi tata kota bebas diketahui umum, warga kota akan ikut mengontrol. "Jika itu benar-benar terbuka, tidak perlu ada mekanisme lain untuk peruntukan wilayah dan bangunan," ujarnya. Yang diperlukan hanyalah disiplin masyarakat untuk menjaga agar suatu wilayah yang sudah diketahuinya sebagai jalur hijau, misalnya, tetap dipertahankan hijau. Kini di Jakarta suara Wiyogo mulai bergema. Seragam putih dan peci hitam yang dipakainya mulai dikenal orang. "Dalam acara resmi saya memakai peci. Jadi, kalau mau menyamar cukup dengan tidak mengenakan peci. 'Kan tak ada lagi yang kenal?" ucapnya berkelakar. Wiyogo memang tidak selalu bersikap resmi-resmian. Sebelum memutuskan membongkar Pasar Tanah Abang, secara diam-diam ia pernah meninjau ke sana. Untuk mengecek kebersihan Monas, tanpa segan-segan ia naik sepeda motor mengelilingi kawasan itu. Minggu pagi lalu, tatkala seorang peserta gerak jalan Jakarta-Bogor yang akan dlsalaminya ngeloyor begitu saia -- mungkin karena capek dan tak tahu yang akan menyalaminya itu gubernur -- Wiyogo cepat-cepat mengejar orang itu dan tetap menyalaminya. Para bawahannya tampaknya belum begitu memahami gaya dan sepak terjangnya. "Ia sering cek ke sana, cek ke sini secara mendadak," kata seorang stafnya. "Pernah ia mendadak masuk ke ruangan protokol dan ajudan, dan ikut mengutak-atik komputer," cerita seorang petugas lain. Buat para aparat Pemda, semprotan Wiyogo sering terasa menyengat. Di beberapa tempat dia menegaskan, "Siapa yang tak mampu lagi, silakan out." Menurut Ketua DPRD Suparno, teguran keras Wiyogo jangan ditafsirkan sebagai aba-aba dia akan menggusur. "Hal itu tak lain untuk meningkatkan wibawa aparat." Konon, perasaan seperti itu menyubur setelah Gubernur melakukan penggantian stafnya -- seperti kepala dinas dan asisten sekwilda tadi -- dengan cara mendadak, tanpa diketahui pejabat-pejabat penting di sana sebelumnya. Padahal, yang tampil dari orang tua berpeci itu banyak juga yang lain dan segar. Dia serius tapi juga santai alias sersan. Terkadang makanan kecil yang dihidangkan ibu-ibu PKK setempat, yang setelah dinikmatinya dianggap lezat, tanpa canggung-canggung ia membagikanya. Kesan singkat tentang Wiyogo sejauh ini adalah: ia bukan tipe pejabat yang lebih suka berada di belakang meJa. Ia suka turun ke bawah, melihat sendiri permasalahan, dan tak lupa mengecek apakah perintahnya telah dilaksanakan. Satu soal yang selalu tak dilupakannya ialah kampanye kebersihan alias sampah. Maka, menarik sekali langkah Wiyogo, yang menyerahkan penanganan sampah kawasan Monas mulai 11 November yang lalu kepada swasta. Langkah itu memang baru sebuah awal untuk menarik tangan swasta membantu menangani masalah Ibu Kota dengan 7,6 juta penduduk itu. Parkir dan pengelolaan taman-taman tampaknya juga akan diswastakan. Menurut Wiyogo, ia sudah memperhitungkan, dalam jangka panjang penanganan oleh swasta biayanya akan lebih murah. Diharapkannya, pihak swasta akan memberikan hasil kerja yang lebih baik, dan dengan demikian pengutipan retribusi dari penduduk juga akan lebih lancar. Menurut Ketua DPRD DKI, Suparno, karena situasi keuangan yang tidak muluslah Pemda melirik swasta. Sekadar contoh, sektor parkir yang nanti semuanya akan ditangani swasta itu ternyata sekarang memasukkan uang jauh di bawah target. "Ditargetkan, dari parkir akan dikutip Rp 2 milyar tiap tahun, tapi yang diperoleh cuma Rp 1 milyar lebih sedikit. Di mana bocornya sedang dalam proses penelitian," katanya. Berbagai sumber keuangan lainnya juga mengalami hal yang mirip. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), iklan, dan pemasukan keuangan dari saham Pemda yang ditanam di perusahaan-perusahaan swasta, menurut Suparno, "Tidak memenuhi apa yang ditargetkan." Karena itu, Suparno menyatakan berbagai gebrakan Wiyogo, apakah penertiban aparat ke dalam, penertiban berbagai pelanggaran, maupun kampanye menaikkan citra aparat Pemda bisa berkait dengan situasi keuangan tadi. Masalahnya kini, sejauh mana dan sampai kapan Wiyogo akan menggebrak. Sebab, bagaimanapun Wiyogo sendiri tidak bisa terus-terusan mengguncang aparatnya. Ia harus bisa membuat aparat Pemda mampu bergerak sendiri, tanpa harus selalu didorong-dorong. Parulian Silalahi menyarankan, sebaiknya Gubernur Wiyogo memfungsikan semua aparat Pemda yang ada. "Tidak perlu ada penggantian besar-besaran, sebab akan menimbulkan keguncangan," katanya. Problem yang dihadapi DKI cukup kompleks. Karena itu, Parulian melihat bahwa adalah kurang pas kalau Pak Wiek terperangkap pada satu masalah saja. Misalnya kebersihan. "Jangan apa-apa langsung turun sendiri. Gebrakannya menarik, tapi jangan sampai menghabiskan energi." Mungkin, kekhawatiran Parulian agak berlebihan. Wiyogo tampaknya tak main-main. Ia sudah menyerahkan mandat kepada lima wali kota di Jakarta, untuk menjadi penanggung jawab tunggal kebersihan di daerahnya. Itu diumumkannya di tiap wilayah yang dikunjunginya. Di kantor Wali Kota Jakarta Timur itu, dua pekan lalu, ia berkata, "Tanggung jawab sampah saya serahkan mutlak kepada wali kota masing-masing. Agar menggebuknya juga gampang, ha ... ha ... ha ... ," katanya sambil tertawa berderai-derai. Amran Nasution, Moebanoe Moera, dan Linda Djalil

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus