Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Nasional mencatat ada 45 konflik tambang yang terjadi di sepanjang 2020. Akibatnya, 714.692 Ha mengalami kerusakan lingkungan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Muh Jamil dari Divisi Hukum JATAM Nasional, jumlah konflik itu meningkat drastis dibanding 2019. "Ada 11 konflik di 2019, maka saat ini terjadi lonjakan peningkatan konflik nyaris capai lima kali lipat," ujar dia dalam diskusi daring pada Ahad, 24 Januari 2021.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jamil merinci, 45 konflik pertambangan itu terdiri dari kasus pencemaran lingkungan (22 kasus), kasus perampasan lahan (13 kasus), kasus kriminalisasi warga penolak tambang (8 kasus), dan kasus pemutusan hubungan kerja (2 kasus).
Baca: Jatam: Pencabutan Izin Tambang Syarat Mutlak Jika Ingin Kalsel Bebas Banjir
Lebih lanjut, fokus di pertambangan, JATAM Nasional menemukan, hingga 2020, ada 3.092 lubang tambang yang dibiarkan. "Tidak ada proses reklamasi atau pemulihan, perbaikan," kata Jamil.
Sebaran ribuan lubang tambang itu ada di Aceh (6), Riau (19), Sumatera Barat (22), Bengkulu (54), Lampung (9), Jambi (59), Sumatera Selatan (163), Banten (2), Kalimatan Selatan (814), Kalimatan Utara (44), Kalimantan Timur (1.735), dan Sulawesi Selatan (2).
Lubang tambang yang menganga ini kemudian menciptakan kerusakan dan pencemaran lingkungan. Bahkan, kata Jamil, sampai menimbulkan kematian. Tercatat, 24 orang meninggal lantaran jatuh ke dalam lubang. "Mayoritas anak-anak. Ada yang terbakar karena di dalam lubang itu masih ada batu baranya. Tapi tak ada penegakkan hukum atas seluruh kejadian itu," ucap Jamil.
ANDITA RAHMA