Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yang menarik, bersamaan dengan itu proses mutasi TNI tengah digodok Dewan Jabatan dan Kepangkatan Tinggi (Wanjakti). Ada manuver untuk menggusur Tyasno? "Sekarang ini memang ada banyak fitnah," katanya kepada TEMPO.
Proses naiknya Tyasno ke pucuk kalangan baju hijau pada awal Desember 1999 memang berliku. Meski sudah santer disebut, ketika itu namanya sempat tertahan niat Jenderal Wiranto mengegolkan jagonya, Letjen Djamari Chaniago (sekarang Kepala Staf Umum). Karena itu, ia disebut-sebut berseberangan dengan sang mantan Panglima TNI. Apalagi ketika ia terkesan membela Agus Wirahadikusumah saat berbenturan keras dengan Wiranto ketika terpental sebagai Menko Polkam.
Mesti diakui, pada masanyalah reformasi internal TNI bergulir. Meski banyak ditentang sejumlah kalangan militer, berbagai langkah terobosan untuk mengikis peran dwifungsi TNI tetap digelarnya.
Tak begitu mudah mewawancarai mantan Kepala Badan Intelijen Strategis ini. Menurut seorang stafnya, baru kepada TEMPO dan Kyodo News-lah Tyasno memberikan wawancara khusus. Kamis pekan lalu, di ruang kerjanya di Markas Besar Angkatan Darat, selama dua jam lebih jenderal kelahiran Yogyakarta, 52 tahun lalu, ini menerima Arif Kuswardono, Karaniya Dharmasaputra, dan fotografer Rully Kesuma. Berikut petikannya:
Bagaimana mutasi TNI hasil sidang Wanjakti Selasa kemarin?
Wanjakti memang sudah selesai. Bila keputusannya sudah diteken Panglima TNI, tentu akan diumumkan Kepala Pusat Penerangan TNI. Kurang etis kalau saya yang memberitahukannya. Apalagi, sampai Kamis ini ia belum ditandatangani. Sebelum diteken kan masih bisa berubah.
Benarkah ada upaya dari kubu Wiranto untuk menggusur Anda dan orang-orang dekat Anda?
Kalau tekanan seperti itu, tidak ada. Saya tidak merasakannya. Wong, saya ini tidak ada apa-apa dengan Pak Wiranto.
TNI dalam keadaan solid?
Menurut saya begitu.
Lalu, bagaimana dengan beredarnya Dokumen Bulakrante? Juga diembuskannya tudingan bahwa Anda bersama Bondan Gunawan dan Letjen Agus Wirahadikusumah sedang menggalang kekuatan?
Itu yang saya tidak mengerti. Misalnya soal pertemuan di Bulakrante, katanya saya ikut. Itu jelas tidak benar. Tapi, ada atau tidaknya pertemuan itu saya enggak ngerti. Lalu, katanya saya ikut pertemuan di Hotel Novotel. Itu semua tidak benar. Saya bisa membuktikannya. Katanya, pertemuan Bulakrante itu 26 Maret. Lha saat itu aku pas mantu. Pada saat pertemuan yang lain pun saya sedang dinas keluar. Ya, alhamdulillah, jadwal saya tidak pernah klop dengan kegiatan yang disebut-sebut itu.
Tapi, Anda kan memang kenal baik dengan Agus dan Bondan?
Betul. Saya kenal Mas Bondan. Itu pun kenalnya belum lama. Dengan Dik Agus (Wirahadikusumah) ya kenal, wong dia adik angkatan saya di akademi. Sama-sama tentara kok tidak kenal. Tapi itu tidak ada kaitannya dengan konspirasi BTA (Bondan, Tyasno, Agus) segala macam itu.
Ada juga tudingan bahwa Bondan telah campur tangan ke tubuh militer?
Itu tidak benar. Dulu, intervensi itu mungkin bisa terjadi. Sekarang, itu tidak ada lagi. Ini saya blak-blakan saja. Biasa saya dengar ada orang yang kebetulan punya teman perwira lalu bilang, "Pak, itu perwira bagus sekali." Itu biasa. Tapi, apakah itu lantas jadi acuan untuk mutasi dan sebagainya? Kan tidak.
Lalu, bagaimana dengan Presiden Wahid sendiri? Pada mutasi lalu kan sempat menitipkan Agus Wirahadikusumah?
Beliau (Gus Dur) menyerahkan masalah TNI sepenuhnya kepada Panglima TNI. Justru dari perkembangan belakangan ini, menurut saya, Gus Dur makin memahami mekanisme dalam TNI. Beliau kerap mengundang Panglima TNI dan kepala staf angkatan. Senin kemarin (29 Mei), misalnya, kami ditanya apa problem di angkatan masing-masing. Salah satunya soal persenjataan. Saya mendapat kesan, beliau ingin mendalami prosedur dan karakter TNI. Mungkin dulu di awal-awal terkesan ... ehm, mungkin karena alamnya berbeda. Tapi itu bukan niat beliau untuk melakukan intervensi. Sekarang sudah lebih enak.
Karena itu, benarkah kini sejumlah jenderal merapat ke Wakil Presiden Megawati?
Menurut saya, supaya masyarakat tidak bingung, hal-hal yang sifatnya belum pasti atau belum jelas masalahnya tidak usah dikembangkan. Itu membuat kacau. Misalnya, sebagai KSAD saya pernah dipanggil Bu Mega. Itu kan biasa. Kemudian saya lapor Panglima TNI. Waktu itu saya ditanya antara lain masalah Ambon. Begitu pulang, saya kembali melaporkannya ke Panglima TNI. Tapi, surat kabar terus menulis macam-macam.
Gerakan ini berkaitan dengan sidang tahunan Agustus depan? Sebagai pilar Presiden Wahid di militer, barangkali Anda perlu digusur dulu?
Ha-ha-ha ..., menurut saya, kita tidak perlu mengaitkannya sebegitu jauh. Memang, saya merasa sekarang ini ada banyak fitnah. Tapi saya belum bisa mengatakan apa tujuannya.
Langkah Anda memangkas dwifungsi TNI menimbulkan ketidaksenangan di sejumlah perwira tinggi?
Lo, itu kan sudah menjadi komitmen TNI sendiri untuk melakukan reformasi internal, bahwa TNI akan menarik diri dari urusan politik praktis. Dalam perjalanan sejarahnya kemarin, baik pada Orde Baru maupun Orde Lama, harus diakui terjadi penyimpangan dalam jati diri TNI. Yang paling mendasar: TNI digunakan sebagai alat kekuasaan. Blak-blakannya, waktu itu digunakan oleh Golkar.
Seharusnya, tentara itu menjadi alat politik negara dalam mempertahankan kedaulatannya. Ini karena penggunaan sistem yang keliru. Pada waktu itu, dwifungsi ABRI didefinisikan sebagai kekuatan pertahanan keamanan dan sosial politik. Bahkan, TNI juga digunakan oleh siapa saja untuk segala macam masalah. Misalnya, TNI digunakan untuk menyelesaikan masalah perburuhan dengan daya tekan yang dimilikinya. Dan ini sudah berlangsung lama sehingga mengkristal menjadi kultur. Karena itu, untuk mengembalikan peran TNI pada jati dirinya, reformasi internal TNI menyentuh tiga hal: doktrin, struktur, dan kultur.
Jadi, dwifungsi TNI akan dihapus?
Yang signifikan adalah penghapusan dwifungsi TNI itu. Peran sosial politik TNI dalam da- to-day politics dihilangkan. Keterlibatan TNI dalam berbagai masalah kemasyarakatan harus dibenahi. Kita kembali pada tugas pokok, yaitu fungsi pertahanan.
Rapim TNI AD kemarin memutuskan akan menghapus komando teritorial secara bertahap, dimulai dari penarikan Babinsa. Sudah sampai di mana langkah ini?
Yang terjadi di masa lalu adalah fungsi teritorial yang kebablasan. Ini perlu dikembalikan pada jalur yang benar, bahwa membangun pertahanan bangsa bukan monopoli TNI. Ke depan, pelaksanaan fungsi teritorial akan dibagi habis bersama komponen-komponen bangsa, dalam hal ini fungsi pemerintah dan masyarakat. Porsi TNI hanya yang berkaitan langsung dengan pertahanan fisik.
Bagaimana konkretnya?
Misalnya, bentuk Komando Daerah Militer sekarang tampaknya sudah tidak pas. Format komando teritorial selama ini telah membuat TNI menjadi pusat pembinaan teritorial. Nanti, fungsi ini akan kita sebarkan lagi ke pemerintah dan masyarakat.
Apa bentuk yang pas itu?
Itu belum diputuskan. Mungkin semacam koordinator pemberdayaan teritorial. Jadi, bukan komando, melainkan berubah menjadi sebatas koordinator. Jadi, bisa saja nanti ia kembali berbentuk divisi-divisi tempur.
Bukankah komando teritorial itu cuma akan berganti kulit menjadi kantor wilayah pertahanan di bawah Departemen Pertahanan?
Itu belum diputuskan. Masih dalam proses.
Itu kan sama saja. Di mana bedanya?
Jelas berbeda. Yang sekarang ini kan punya jalur komando, namanya Komando Daerah Militer, tapi ia lalu mengurusi masalah teritorial, mengurusi seluruh aspek kehidupan masyarakat. Akibatnya, itu mendudukkan tentara seperti penguasa tunggal. Dalam konsep kantor wilayah pertahanan, sifatnya hanya mengoordinasikan.
Apakah hasil rapim TNI AD itu telah disetujui oleh Markas Besar TNI?
Belum. Nanti akan ada seminar TNI dulu. Hasilnya lalu dikaji dan menjadi saran di seminar Departemen Pertahanan. Setelah itu, hasilnya diajukan pemerintah ke DPR. Ini sedang berjalan secara simultan.
Dalam hal peran serta masyarakat itu, bagaimana pandangan Anda terhadap kebijakan TNI terdahulu dalam pembentukan pasukan Pam Swakarsa?
Pam Swakarsa ada dua. Kalau ditujukan untuk pertahanan negara, itu memang tujuan sebenarnya Sistem Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta kita. Tapi, kalau kemudian kita mengorganisasi masyarakat untuk dihadapkan pada komponen masyarakat lainnya, itu jelas bukan tujuan Sishankamrata. Itu sama saja dengan menghancurkan bangsa ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo