SUHU tubuh militer kembali meninggi. Selasa malam kemarin, Dewan Jabatan dan Kepangkatan Tinggi (Wanjakti) telah rampung bersidang. Sejumlah pos strategis militer bakal kembali berputar. Ramai diperbincangkan, rotasi itu kini menuju ke satu arah: pembabatan kelompok Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) Letnan Jenderal Agus Wirahadikusumah.
Telah rampungnya sidang Wanjakti itu dibenarkan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Tyasno Sudarto. Tapi, menurut dia, ''Semuanya masih bisa berubah." Hingga Kamis kemarin, keputusan itu belum diteken Panglima TNI Widodo. Cuma, yang menarik, ia sampai perlu membuat sebuah penekanan khusus. ''Tak ada campur tangan sipil dalam mutasi kali ini," katanya.
Sejumlah sumber TEMPO dan pengamat militer dari Center for Strategic and International Studies, J. Kristiadi, memastikan terpentalnya Asisten Teritorial KSAD Mayor Jenderal Saurip Kadi. Teman dekat Wirahadikusumah ini akan kembali dimasukkan ke ''kotak" Departemen Pertahanan. ''Posnya sedang dicarikan," kata seorang jenderal. Tyasno, menurut pengamat militer M.T. Arifin, telah membicarakan soal ini dengan Presiden Abdurrahman Wahid pada 31 Mei lalu. Saurip akan digantikan Mayjen Sang Nyoman Suwisma, yang kini menjabat Kepala Staf Kostrad.
Nasib Wirahadikusumah sendiri belum jelas. Naga-naganya, bersama Kepala Staf Komando Daerah Militer (Kodam) Jaya Brigjen Romulo Simbolon—sahabatnya yang lain—dia belum akan digusur. Soalnya, kata jenderal itu lagi, ''Terlalu politis kalau kita geser mereka sekarang."
Tapi Arifin punya versi lain. Menurut dia, kalaupun masih bertahan, pada gelombang mutasi berikutnya kedua jenderal itu tak ampun lagi bakal kena libas. Sebelum Agustus, Wirahadikusumah sudah akan ''di-Bandung-kan" menjadi Komandan Komando Pendidikan dan Latihan (Kodiklat). Kandidat terkuat yang disebut akan naik menggantikannya adalah Panglima Kodam Jaya Mayjen Ryamizard Ryacudu, seorang figur tentara profesional yang apolitis. Dua nama lain juga disebut-sebut masuk bursa Pangkostrad ini: Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus Mayjen Syahrir M.S. dan Komandan Pusat Teritorial Mayjen Ismed Yuzairi.
Tanda-tanda pembabatan itu muncul berbarengan dengan beredar luasnya sejumlah ''dokumen" pertemuan yang melibatkan kelompok Wirahadikusumah. Salah satu yang paling ramai digunjingkan pekan-pekan ini adalah Dokumen Bulakrante. Dokumen dua halaman berbentuk semacam notulen rapat itu menyebut-nyebut sebuah pertemuan di rumah dinas Saurip di Kompleks Kostrad Bulakrante pada 16 April lalu. Wirahadikusumah, Saurip, Simbolon, Bondan Gunawan, Rahman Tolleng, dan sejumlah aktivis tertera hadir di situ. Agendanya adalah seputar skenario kelompok ini menguasai pucuk pimpinan Angkatan Darat dengan menyingkirkan faksi Wiranto. Untuk itu, Agus Wirahadikusumah mesti didongkrak menjadi KSAD, Saurip dinaikkan ke pos Wakil KSAD, dan Simbolon diplot sebagai Pangdam Jaya. Jenderal Tyasno bahkan sempat santer diberitakan ikut menghadiri pertemuan itu.
Para tokoh yang disebut namanya dalam Dokumen Bulakrante tegas membantah. ''Itu murni selebaran," kata Bondan, yang mengaku pada saat itu tengah berada di Tuban. Hal serupa dinyatakan Wirahadikusumah. Menurut Saurip, pertemuan di rumahnya itu sebatas syukuran kenaikan pangkat. Tyasno juga membantah telah menghadirinya.
Terlepas dari ada-tidaknya pertemuan dengan agenda di atas, kesahihan dokumen itu diragukan Kristiadi. Memang agak tak masuk akal jika agenda pertemuan sepenting itu begitu cerobohnya dibuat dalam bentuk tertulis tanpa mempertimbangkan risiko bakal bocor. Sangat boleh jadi, penyebaran dokumen-dokumen itu bagian dari sebuah permainan intelijen. Penyebarannya serentak. Dokumen berhamburan persis ketika proses Wanjakti tengah digodok.
Arah angin di Cilangkap, Markas Besar TNI, tengah berubah? Kelihatannya begitu. Pada mutasi Februari lalu, kelompok Wirahadikusumah berjaya. Bersama Saurip dan Simbolon, ia naik peringkat. Sejumlah jenderal yang dekat dengan Wiranto saat itu tergusur. Wirahadikusumah menggeser Pangkostrad Letjen Djadja Suparman, yang lalu ''di-Bandung-kan"—pos yang kini bakal giliran dihuninya. Kala itu, Presiden Wahid bahkan mengaku telah menitipkan Wirahadikusumah agar ditarik ke Jakarta.
Kini Wirahadikusumah tak lagi berada di atas angin. Nasib nahas kelompok Wirahadikusumah mulai jelas membayang ketika Penjabat Sementara Sekretaris Negara Bondan Gunawan—akses utama mereka ke istana—terpental dari kursinya.
Apalagi, menurut Kristiadi dan Arifin, dukungan terhadap kelompok Wirahadikusumah pun belakangan kian mengempis. Jenderal Tyasno, Kepala Staf Teritorial Letjen Agus Widjojo, dan Pangdam Jaya Ryamizard, yang semula menyokong langkah Wirahadikusumah membabat dwifungsi TNI, kini menarik jarak. Ditambah dengan kelompok Wiranto yang sejak awal memendam sakit hati terhadap Wirahadikusumah, lengkaplah sudah sinergi penggusuran itu.
Belum lagi, kini Tyasno, Agus Widjojo, dan Komandan Kodiklat Letjen Djadja Suparman makin merapat ke Wakil Presiden Megawati. Kedekatan Widjojo dengan Mega memang telah terjalin lama. Maklum, menantu tokoh Partai Nasionalis Indonesia, Isnaeni, ini cukup punya akar di kalangan PDI Perjuangan. Djadja pun belakangan dikabarkan menjadi amat dekat dengan Taufik Kiemas.
Ada dua ''dosa" yang ditimpakan ke kelompok Wirahadikusumah. Menurut Kristiadi, Tyasno dan Widjojo, yang semula mendukung langkah Wirahadikusumah membabat dwifungsi TNI, belakangan gerah dengan langkah kelompok itu bersama Bondan yang justru menjadi sangat politis. Mereka dinilai punya agenda tersendiri. Contohnya, kata seorang sumber militer, terjadi pada awal Mei lalu. Ketika itu, dalam sebuah pertemuan di Sekolah Staf Komando Angkatan Darat di Bandung, presentasi Wirahadikusumah soal reformasi militer dicurigai telah ditunggangi kepentingan politik Bondan. Kelompok perwira angkatan 1973 ini juga dituding terlalu eksklusif dengan menganggap perwira di luar mereka tak reformis. Pernyataan Wirahadikusumah bahwa doktrin dwifungsi TNI adalah anak haram Orde Baru, menyulut amarah petinggi Cilangkap.
''Dosa" lain, kata Arifin, adalah langkah Wirahadikusumah dan Saurip yang terlalu kencang membabat komando teritorial—satu hal yang mestinya layak mendapat acungan jempol. Mereka berniat sesegera mungkin memancung pilar penting dwifungsi TNI itu. Dalam Rapat Pimpinan Angkatan Darat, Mei kemarin, yang merekomendasikan penghapusan komando teritorial, Saurip memang berperan sentral. Saat itu, ia menjadi ketua tim perumus. Sementara itu, kelompok Agus Widjojo melihat langkah itu tak mungkin dilaksanakan saat ini karena akan menguatkan ancaman disintegrasi.
Penggusuran kelompok Wirahadikusumah ini, kata seorang perwira tinggi yang lain, tak lepas dari manuver yang gencar digelar kelompok Wiranto. ''Djadja Suparman adalah motornya," katanya geram. Buktinya, katanya lagi, Djadja sanggup secara jitu meramal bakal terpelantingnya Bondan dari istana. Sabtu, 27 Mei lalu, di sebuah acara main golf, bak ahli nujum nomor wahid, Djadja sudah memastikan bahwa dua hari kemudian tokoh Forum Demokrasi itu akan tergusur dari Sekretariat Negara.
Tapi, kepada TEMPO, Jenderal Djadja membantah tudingan telah menjadi motor manuver pendongkelan kelompok Wirahadikusumah. Ia juga mengaku tak tahu-menahu hal-ihwal dokumen Bulakrante itu, apalagi merekayasa dan menyebarluaskannya. ''Apa sih dokumen Bulakrante itu?" katanya.
Faktor lain, masih kata sumber itu, kubu Wirahadikusumah tak sempat merapatkan barisan. Sebenarnya, dua bulan setelah mutasi terakhir, rotasi berbagai pos penting telah dirancang. Cuma, niat itu selalu terganjal Cilangkap. Salah satu yang sempat terungkap adalah ketika rencana penggantian Panglima Kodam IX/Pattimura Brigjen Max Tamaela, yang sempat dilontarkan Presiden Wahid, mendadak dibatalkan. Semula, Tamaela bakal digantikan mantan Komandan Resor Militer 163/Wirasatya Denpasar Kolonel I Made Yasa. Penyebabnya, Megawati berkeberatan.
Tyasno sendiri, yang sempat rapat dengan Wirahadikusumah, kini berada dalam posisi terjepit. Di satu sisi, kursinya juga terancam. Menurut seorang sumber intelijen, jika tak mengakomodasi kelompok anti-Wirahadikusumah, Tyasno pun bakal kena potong. Kini ada tiga nama yang tengah ditimang-timang untuk menggantikannya. Mereka adalah Wakil KSAD Letjen Endriartono Sutarto, Letjen Agus Widjojo, dan Kepala Staf Umum Letjen Djamari Chaniago.
Maklum, di mata para pendukung Wiranto, Tyasno juga dipandang sebagai seorang pembelot. Dalam sidang umum lalu, sebagai Kepala Badan Intelijen Strategis, dia dinilai tak menyokong mantan Panglima TNI ini maju ke pentas wakil presiden. Saat itu, ia malah memuluskan jalan Mega ke istana. Pada detik-detik terakhir menjelang sesi pemilihan wakil presiden, Tyasnolah yang mempertemukan Mega dan Wiranto. Hasilnya, Wiranto lalu mengundurkan diri dari pencalonan. Dan Mega pun melenggang ke istana.
Namun, di sisi lain, Tyasno juga harus cermat berhitung untuk ''menggergaji" Wirahadikusumah, yang telah dititipkan Presiden Wahid dalam mutasi kemarin. Perlu dicatat, Presiden adalah pemegang kata akhir pergantian jabatan KSAD. Jika salah langkah, tongkat komando yang kini digenggamnya juga bisa lepas.
Hasil akhir ''pertarungan" masih mesti ditunggu. Tapi, di luar segala hiruk-pikuk itu, ada satu hal yang mesti terus dipastikan: penghapusan dwifungsi TNI.
Karaniya Dharmasaputra, Darmawan Sepriyossa, Iwan Setiawan, Endah W.S.Mutasi TNI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini