Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Dari Sultan untuk Presiden

Benarkah Sultan Brunei menyumbang Presiden Wahid secara cuma-cuma atau untuk konsesi pengelolaan hutan?

11 Juni 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AKANKAH Abdurrahman Wahid menyambut Sultan Hasanal Bolkiah di tangga Istana Merdeka jika dia bukan presiden? Tentu tidak. Sebaliknya, apakah Sultan Hasanal Bolkiah akan memberikan uang US$ 2 juta jika Abdurrahman Wahid bukan presiden? Pertanyaan itulah yang masih dicari jawabannya. Presiden Wahid menyebut sumbangan Rp 17,2 miliar dari Sultan Brunei Darussalam itu sebagai sumbangan dari pribadi kepada pribadi, dan terserah dia uang itu untuk apa. Abdurrahman Wahid memberikan uang tadi kepada Yayasan Aswajah (Ahlussunnah Wal-Jamaah) Aceh untuk program rehabilitasi di provinsi yang bergolak itu. Kedekatan hubungan pribadi Abdurrahman Wahid dan sang Sultan belum berlangsung lama. Hubungan mereka diperantarai oleh Aryo Wowor, pengusaha Cina muslim yang dekat dengan istana. "Dia mengaku dekat dengan Jeffry Bolkiah, adik kandung Hasanal Bolkiah, saat bersekolah di Inggris," kata sebuah sumber TEMPO, yang tak lain adalah sahabat Wowor. Sebaliknya, Wowor juga dikenal dekat dengan Presiden Wahid, bahkan beberapa kali ikut dalam lawatan luar negeri sang Presiden. Lewat Wowor inilah, kata sumber tadi, Sultan Brunei memberikan uang itu. Secara cuma-cuma? Sumber itu menyebut Brunei mendapat konsesi hak pengusahaan hutan (HPH) di Kalimantan serta realisasi konsep industri kayu terpadu. Konsep yang disusun Departemen Kehutanan dan Perkebunan itu bertujuan menggerakkan ekonomi perbatasan Indonesia-Malaysia. "Wowor mengatakan jumlah sumbangan Sultan itu bukan cuma US$ 2 juta, tapi US$ 20 juta," kata sumber tadi. Haji Masnuh, adik seperguruan Abdurrahman Wahid saat di Pesantren Tambak Beras dan dikenal sebagai kasir pribadi Presiden, membantah pihaknya menerima sebanyak itu. "Yang diberikan kepada saya cuma US$ 2 juta," katanya. Masnuh sendirilah yang mengambil langsung uang itu atas perintah Presiden. Itu dilakukannya dua hari selepas Idul Fitri yang lalu, ketika Sultan Bolkiah sedang menyelenggarakan open house. Masnuh mengatakan bahwa sumbangan itu bukan untuk negara, melainkan untuk Abdurrahman Wahid pribadi. Pesan Bolkiah seperti yang ditirukan Masnuh, "Saya, Hasanal Bolkiah, memberikan (uang) ini kepada K.H. Abdurrahman Wahid, bukan kepada negara, bukan kepada pemerintah, bukan kepada presiden, dan bukan kepada siapa-siapa, tapi kepada K.H. Abdurrahman Wahid." Persiskah begitu? Wallahualam. Menurut Masnuh, sumbangan pribadi itu sudah dipakai untuk program kemanusiaan di Aceh dan kini sisanya tinggal ratusan ribu rupiah. Soal konsesi HPH, Masnuh tak tahu pasti. Namun, dia meragukan bahwa uang US$ 2 juta setimpal dengan konsesi HPH. "Uang segitu dipakai beli kayu paling cuma mendapat sepuluh kontainer," katanya kepada Adi Prasetya dari TEMPO. Lebih dari segalanya, kata Masnuh, "Masa, uang cuma segitu kok diributkan?" Masalahnya bukan besar atau kecil. Para anggota DPR mengatakan, sebagai presiden, Abdurrahman Wahid tak bisa begitu saja menyebut uang itu untuk dirinya pribadi. Sebab, sebagai kepala negara, dia mewakili nama bangsa, sehingga segala bentuk hadiah tentu harus dipertanggungjawabkan kepada rakyat. Apalagi jika hadiah itu akhirnya mempengaruhi keputusannya yang berpengaruh pada publik. Segala bentuk bantuan keuangan juga telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak: "Seluruh penerimaan negara bukan pajak wajib disetor langsung secepatnya ke Kas Negara." Bahkan, dalam Undang-Undang APBN Tahun 2000, terdapat kesepakatan antara DPR dan pemerintah yang isinya mengharuskan pemerintah memberi tahu DPR tentang semua kesepakatan utang, pinjaman, bantuan, dan sumbangan luar negeri. Alvin Lie Ling Piao, anggota Panitia Anggaran DPR-RI dari Fraksi Reformasi, memastikan uang itu tak pernah dilaporkan ke Direktur Jenderal Anggaran. Alvin khawatir, dengan dalih untuk membantu masalah kemanusiaan, Presiden lalu meminta bantuan dari luar negeri secara pribadi. "Kalau seperti itu yang terjadi, dia sudah menjual bangsa," kata Alvin. Alih-alih menunggu Sidang Istimewa MPR, Alvin menyarankan agar Presiden Wahid mengambil cuti agar bisa dilakukan pemeriksaan. "Kalau terbukti bersih, silakan balik lagi," ujar Alvin. Sultan Hasanal Bolkiah tak memberikan jawaban. Pangeran Sahari bin Pangeran H. Salleh, pengganti Duta Besar Brunei untuk Indonesia, mengaku tak tahu masalah sumbangan itu. Yang pasti, dana itu tak melalui Kementerian Luar Negeri dan Kedutaan Besar Brunei di Indonesia. Agung Rulianto, Adi Prasetya, Arif Kuswardono, Leanika Tandjung

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus