Dari hari ke hari, Supriyanto kian waswas. ''Seumur-umur saya tinggal di Irian, baru kali ini saya merasa takut," kata pria asal Klaten, Jawa Tengah, yang hijrah ke pulau itu pada 1985 ini. Jika matahari tenggelam, dia segera memerintahkan anak-anaknya masuk rumah. Pemilik warung makan di Jayapura itu (atau Port Numbay, nama baru yang diberikan oleh kalangan prokemerdekaan) kian mencemaskan situasi kota. ''Di mana-mana ada satgas Papua Merdeka. Kita jadi takut, jangan-jangan Irian akan seperti Timor Timur," katanya.
Supriyanto layak waswas. Menyusul Kongres Rakyat Papua yang memutuskan kemerdekaan wilayah itu dua pekan silam, posisi milisi sipil satgas Papua memang kian berkibar.
Transmigran lain, seorang sopir taksi, punya pengalaman buruk. Tengah malam pekan lalu, saat mengantarkan bibinya yang sekarat ke rumah sakit, taksinya dicegat sekawanan pemuda anggota satgas. Para pemuda memaksanya mengantarkan mereka pulang. Mereka tidak bisa menerima alasan bahwa sang bibi sakit parah. Sopir itu menyerah, setelah menitipkan bibinya ke rumah tetangga.
Michael Theys Eluy, Komandan Besar Satgas Papua Merdeka, mengaku sering menerima keluhan serupa dari teman-temannya asal Jawa. Tapi dia membantah pemaksaan dan penekanan itu dilakukan anak buahnya. ''Sekarang ini banyak sekali orang yang mengaku diri anggota satgas," katanya kepada TEMPO. ''Mereka memeras para pemilik warung, toko, dan usaha pendatang."
Michael, atau akrab dipanggil Boy Eluy, menuduh kelompok lain sengaja memperburuk citra organisasinya. Siapa mereka? ''Satgas Merah Putih," katanya. Boy percaya bahwa satgas lain itu, yang berisikan milisi sipil prointegrasi, dibentuk oleh pemerintah dan didukung militer Indonesia. Markas Besar TNI di Jakarta membantah tuduhan mendukung kelompok itu.
Kepala Staf Teritorial TNI, Letjen Agus Widjojo, bahkan santai saja menanggapi hasil kongres itu. Baginya, Kongres Papua tidak ada kaitannya dengan kebijakan TNI. ''Biarkan itu jadi keputusan politik dululah, baru kami merespons," katanya. Secara teritorial, kata Agus, TNI tidak menganggap Kongres Papua sebagai suatu ancaman.
Aparat kepolisian, di pihak lain, melihat satgas Papua sebagai salah satu sumber provokasi kekerasan yang mengancam ketertiban. Kapolda Papua, yang masih loyal kepada Indonesia, menuding Yorries Raweyai—tokoh Pemuda Pancasila yang baru dilepas dari tahanan dalam Kasus 27 Juli—berada di belakang satgas Papua dan bahkan Kongres Rakyat Papua itu sendiri.
Sejumlah sumber di Jakarta mengatakan, Yorries tengah ''memainkan kartu Cendana" untuk membuat kekisruhan di Papua. Kerusuhan di sana, menurut sumber-sumber itu, akan membuat pemerintah dan publik melupakan tuntutan terhadap mantan presiden Soeharto. Di masa lalu, Pemuda Pancasila adalah organ pendukung militer dan Golkar yang setia. Yorries sendiri sempat pula bergabung dalam Yayasan Tiara milik Siti Hardiyanti Rukmana.
Namun, mengaitkan satgas Papua dengan Cendana adalah menyederhanakan masalah. Juga sulit diyakini. Mantan presiden Soeharto pernah menjadi Panglima Komando Mandala dalam operasi militer untuk membawa Irian masuk dalam wilayah Indonesia. Mungkinkah dia mendukung pemisahan Irian?
Sumber lain mengatakan, Yorries tengah berambisi menjadi Xanana Gusmao dengan mendukung Papua Merdeka. Sebentar setelah Soeharto jatuh, Yorries memang tampil dalam unjuk rasa besar di Jayapura untuk menuntut kemerdekaan. Namun, bahkan para pemimpin tua Papua menertawai ide ini. ''Kok, hebat banget. Yorries itu anak baru kemarin," kata Tom Beanal, Wakil Ketua Presidium Dewan Papua. ''Bohong besar jika orang mengatakan dia sebagai motor gerakan ini."
Dalam salah satu keputusannya, kongres yang lalu bahkan menolak kemungkinan Yorries, yang kini masih menjabat Ketua Lembaga Adat Papua di Jakarta, untuk duduk dalam Presidium Dewan Papua. Kalangan Papua Merdeka menuduh militer berusaha mendiskreditkan gerakan mereka dengan mencantolkan nama Yorries.
Freddy Numberi, putra Papua yang kini Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN), melihat keinginan kongres itu ''murni aspirasi dari bawah". Namun, mantan gubernur Irianjaya itu percaya, tuntutan kemerdekaan tadi belumlah final. ''Yang mereka butuhkan adalah memperoleh kesejahteraan," katanya.
Papua, menurut Freddy, selama ini tak ubahnya seperti sapi perahan belaka. Provinsi itu menghasilkan devisa Rp 10 triliun setiap tahunnya. ''Rakyat Papua memandang wajar jika 40 persen atau sekitar Rp 4 triliun dikembalikan untuk kesejahteraan meraka," kata Freddy dalam wawancara dengan Tempo Interaktif. ''Ketika saya menjabat gubernur, dana yang kami peroleh cuma Rp 650 miliar."
Rakyat Papua, kata Freddy, telah lama merasakan ketidakadilan itu, tapi tak kuasa melawan kekuatan Orde Baru yang mencengkeram. Ketika rezim Soeharto runtuh, gelombang reformasi telah memberanikan diri mereka untuk tak hanya menuntut hak dan keadilan, tapi juga kemerdekaan. Namun, Freddy yakin bahwa rakyat Papua masih bisa menerima untuk tetap bergabung dengan Indonesia.
Freddy tak tertarik menjadi Presiden Papua. ''Saya lebih tertarik menjadi Presiden Republik Indonesia," katanya setengah bercanda. ''Papua termasuk penyumbang devisa Indonesia yang paling besar, jadi seharusnya putra Papua punya kesempatan jadi presiden."
Anggota Komnas HAM Syaafrudin Bahar memandang sahih tuntutan keadilan rakyat Papua. Namun, ahli hukum internasional lulusan Universitas Oxford ini melihat sulitnya Papua bisa memerdekakan diri. ''Meski masyarakat Papua mengaku punya hak menentukan nasib sendiri, mereka akan terbentur oleh Deklarasi Wina 1993, yang menjamin keutuhan teritorial dan nasional setiap negara, termasuk Indonesia," katanya.
Bahar, mantan Asisten Mensesneg Bidang Persatuan dan Kesatuan Bangsa di masa B.J. Habibie, adalah tokoh di balik dialog para pemimpin Papua dengan Kabinet Habibie pada 1998. Dialog yang semula dimaksudkan sebagai upaya perbaikan ekonomi dan budaya Irian itu akhirnya berubah menjadi pernyataan kemerdekaan dan membuat pemerintahan Habibie merasa terkhianati. Dialog terhenti, sampai kemudian Abdurrahman Wahid naik. Presiden ini merestui, bahkan mendanai Kongres Rakyat Papua II yang juga berujung pada tuntutan kemerdekaan.
Gerakan Papua Merdeka juga sejauh ini terbentur oleh minimnya dukungan internasional—salah satu prasyarat penting untuk merdeka. Tokoh mereka, seperti Willie Mandowen, Oktavianus Motte, dan Benny Giay, sempat menemui Sekjen PBB Kofi Annan dan komisi hak asasi badan internasional itu. Namun, usahanya tak membuahkan hasil. Melalui Perjanjian New York 1963, integrasi Irian ke Indonesia diputuskan melalui sebuah penentuan pendapat rakyat yang disahkan oleh sebuah resolusi Majelis Umum PBB.
Pekan lalu, beberapa negara seperti Jepang dan Uni Eropa juga menanggapi negatif hasil kongres. Bahkan Belanda, yang pada 1960-an mendukung Negara Papua, menyebutnya sebagai urusan Indonesia.
Bagaimanapun, Kongres Rakyat Papua telah meminta agar pemerintah Indonesia menanggapi tuntutan mereka sampai 1 Desember nanti. Apa yang bakal terjadi?
Melihat perkembangan terbaru di lapangan, Papua sedang terancam menjadi Timor Timur yang lain. Di Timor Timur seusai jajak pendapat yang dimenangi kubu prokemerdekaan, milisi pro-Indonesia mengamuk dan memorakporandakan kota. Di Papua, meski masih terlalu dini meramalkan kemerdekaannya, jelas ada peluang untuk terjadi bentrok antara satgas Papua Merdeka dan satgas Merah Putih.
Satgas Papua dibentuk pada 12 Oktober 1998 oleh Boy dan rekan-rekannya dari Universitas Cenderawasih. Boy sendiri, kini 31 tahun, sempat enam semester kuliah di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung. Putra Theys Hiyo Eluay ini, Ketua Dewan Adat Papua, pulang kembali ke Papua setahun lalu untuk ''membangun tanah kami".
Menurut Boy, kini organisasinya beranggotakan 17.000 orang. ''Kami sudah punya cabang di setiap kecamatan wilayah Papua Barat ini," katanya. Meski anggotanya tidak dipersenjatai, struktur organisasi satgas Papua ini mirip militer. Di kantor markas besar mereka, tak jauh dari Pelabuhan Jayapura, para anggota yang berseragam hitam—baik baju, celana, topi, maupun ikat kepala—mengucapkan ''Hormat!" kepada para komandan. Organisasi ini memiliki empat bagian: divisi daerah yang membawahkan cabang satgas; divisi provost yang bertugas mendisiplinkan anggota; divisi intelijen yang mengumpulkan informasi tentang keadaan masyarakat; dan terakhir divisi miras untuk pemberantasan minuman keras di masyarakat. ''Kalau ada orang mabuk di jalanan, kami akan menangkapnya, lalu kami serahkan ke polisi," kata Boy.
Boy mengakui organisasinya merupakan bagian dari upaya kemerdekaan Papua. ''Justru itu tujuan kami," katanya. ''Sekian puluh tahun banyak saudara kami diinjak-injak, dibunuh, dan dibantai. Sekarang tiba saatnya kami merdeka." Meski begitu, dia membantah tengah mempersiapkan perjuangan bersenjata. ''Kami antikekerasan. Tugas kami hanya melakukan penertiban di masyarakat," katanya.
Tugas lain satgas Papua, menurut Boy, adalah mengamankan agar perjuangan damai untuk mencapai kemerdekaan tidak rusak oleh provokasi kekerasan, ''oleh kelompok yang disusupi, bahkan dibentuk militer Indonesia". Dalam kongres lalu, misalnya, pihak satgas Papua berhasil menyita senjata rakitan dan bom molotov yang akan diselundupkan ke arena kongres.
Tugas memelihara perdamian itu akan semakin berat. Dalam beberapa bulan terakhir, bentrok telah terjadi antara satgas Papua dan satgas Merah Putih di berbagai daerah seperti Wamena dan Merauke. Beberapa di antaranya berakibat pada kematian. ''Mereka benar-benar ingin menjadikan Papua seperti Timor Timur," kata Boy.
Ketegangan tengah memuncak di Papua.
Farid Gaban, Arif Kuswardono (Jakarta), dan Wenseslaus Manggut (Jayapura)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini