ORANG boleh kaget menyaksikan pemandangan di perkebunan
tembakau di Jenggawah, Jember (Ja-Tim). Tak sebatang tanaman
tembakau pun yang masill tumbuh di tanah hak guna usaha yang
dimiliki PTP XXVII itu. Padahal biasanya setiap Juni para petani
sudah mulai menanam tembakau. Bupati Jember Letkol. Soepomo
geleng-geleng kepala. "Hitung saja kerugian yan diderita
perkebunan," katanya dengan nada menyesal.
Itu berarti cara penyelesaian Peristiwa Jenggawah bukan
hanya merugikan para petani, tapi juga terutama pihak perkebunan
sendiri. Padahal sebelum peristiwa itu ada ketentuan, bahwa
selama tujuh bulan dalam tiap dua tahun petani harus bertanam
tembakau untuk kepentingan PTP XXVII dan 17 bulan petani boleh
menanam apa saja. Ini disebut bertanam secara glebakan.
Salah satu cara penyelesaian Peristiwa Jenggawah ialah
pengkaplingan kembali tanah-tanah garapan. Areal seluas 3.250 ha
yang semula digarap 5.5 37 kk, telah dibagi-bagi kepada para
petani. Ada 6.632 penggarap yang masing masing mendapat 0,30 ha.
Petani yang semula menggarap tanah luas (ada yang sampai 5 ha)
tentu saja merasa dirugikan .
Dibatalkan
Tapi nyatanya banyak penggarap baru (yang sudah mendapat
kartu kuning sebagai tanda hak garap) tidak pernah menyentuh
tanahnya. "Saya tidak mau menggarap karena saya merasa tanah itu
bukan hak saya. Setahu saya tanah itu sudah dikerjakan
turun-temurun oleh yang berhak," kata Abdullah, 50 tahun, yang
kebagian secuil tanah yang semula milik tetangganya. Bupati
Jember Soepomo sendiri mengakui keengganan para petani itu.
"Mereka itu sebenarnya ingin sekali menggarap, tapi takut
dibacok," katanya setengah bergurau. Pembacokan memang belum
terjadi, tapi pemukulan terhadap para penggarap baru sering
terdengar.
Pemda, dan tentu juga pihak perkebunan, akhirnya menyadari
kesulitan yang mereka hadapi. Apalagi para petani penggarap
tanah luas yang semula menolak pengkaplingan kembali, belakangan
minta kepada Mendagri agar tanah yang selama ini mereka garap
diberikan sebagai hak milik kepada mereka, lengkap dengah
sertifikat. Itulah sebabnya awal Desember Bupati Soepomo
mengumumkan bahwa pengkaplingan kembali dibatalkan.
Tanah tersebut bekas konversi hak Barat. Tapi
dinasionalisasikan berdasarkan UU No. 86/1959, dan diberikan
HGU-nya kepada PTP XXVII, lengkap dengan sertifikat. I{GU itu
berakhir 1995 .
Dalam waktu dekat ini Pemda Jem ber akan mendaftar kembali
tanah tanah garapan. Kepada petani yang ber hak menggarap tanah
akan diberikan kartu kuning tanda menggarap. Itu berarti kepada
mereka akan diberikan hak garap seperti semula. Kebijaksanaan
baru itu disertai catatan: kepada petani yang semula menguasai
10 - 20 ha dihimbau agar membagi sebagian tanah kepada saudara
atau anak-anaknya.
Yang jadi soal sekarang ialah, dengan pendekatan baru
seperti itu apakah nanti pihak perkebunan berhasil membujuk
petani melaksanakan kewajiban menanam tembakau? Bupati Soepomo
hanya menjawab: "Kita- lihat saja tahun depan." Dilihat dari
sikap petani sekarang harapan bupati itu nampaknya sulit
terpenuhi. "Tak ada 3alan keluar yang baik, kecuali tanah itu
dibagikan kepada petani," ujar Imam Chudhori dan Munir, bapak
dan anak yang jadi tokoh pembela petani Jenggawah.
Kalau kelak di tahun 1995 HGU tanah yang kini dikuasai PTP
XXVII itu berakhir, Soepomo menyangsikan apakah peristiwa yang
menggegerkan seperti tahun lalu itu tak bcrulang. Kalau terjadi
lagi, menurut Soeromo, memang tak ada jalan keluar bagi
pemerintah kecuali membagi tanah itu sama-rata kepada petani
yang berdiam di wilayah perkebunan itu.
Jika begitu, menurut perhitungan Soepomo, setiap kepala
keluarga petani paling-paling akan memperoleh 0,5 ha. Tapi
perhitungan bupui seperti itu tidak masuk di akal Imam Chudhori.
Katanya "Pembagian itu harus sesuai dengan riwayat tanah itu
sendiri. Kecuali bagi petani yang menggarap tanah yang menjadi
obyek landreform."
Seluruh tanah basah yang biasanya subur buat tanaman
tembakau di sana ada 2.080 ha. Dengan cara glebakan, berarti
areal yang harus ditanami tembakau seluas 1.040 ha. Setiap
hektar biasanya menghasilkan dua ton tembakau kering. Di Jember,
harga tembakau kering sekitar Rp 200 ribu per kuintal. Dengan
adanya kericuhan itu berarti perkebunan rugi Rp 4 milyar
lebih.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini