Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Jenggawah, Masih Panjang

Ekor peristiwa Jenggawah, petani yang kebagian tanah hasil pengkaplingan kembali tak berani menggarap karena takut kepada bekas pemiliknya. ptp xxvii menderita rugi karenanya. (ds)

20 Desember 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ORANG boleh kaget menyaksikan pemandangan di perkebunan tembakau di Jenggawah, Jember (Ja-Tim). Tak sebatang tanaman tembakau pun yang masill tumbuh di tanah hak guna usaha yang dimiliki PTP XXVII itu. Padahal biasanya setiap Juni para petani sudah mulai menanam tembakau. Bupati Jember Letkol. Soepomo geleng-geleng kepala. "Hitung saja kerugian yan diderita perkebunan," katanya dengan nada menyesal. Itu berarti cara penyelesaian Peristiwa Jenggawah bukan hanya merugikan para petani, tapi juga terutama pihak perkebunan sendiri. Padahal sebelum peristiwa itu ada ketentuan, bahwa selama tujuh bulan dalam tiap dua tahun petani harus bertanam tembakau untuk kepentingan PTP XXVII dan 17 bulan petani boleh menanam apa saja. Ini disebut bertanam secara glebakan. Salah satu cara penyelesaian Peristiwa Jenggawah ialah pengkaplingan kembali tanah-tanah garapan. Areal seluas 3.250 ha yang semula digarap 5.5 37 kk, telah dibagi-bagi kepada para petani. Ada 6.632 penggarap yang masing masing mendapat 0,30 ha. Petani yang semula menggarap tanah luas (ada yang sampai 5 ha) tentu saja merasa dirugikan . Dibatalkan Tapi nyatanya banyak penggarap baru (yang sudah mendapat kartu kuning sebagai tanda hak garap) tidak pernah menyentuh tanahnya. "Saya tidak mau menggarap karena saya merasa tanah itu bukan hak saya. Setahu saya tanah itu sudah dikerjakan turun-temurun oleh yang berhak," kata Abdullah, 50 tahun, yang kebagian secuil tanah yang semula milik tetangganya. Bupati Jember Soepomo sendiri mengakui keengganan para petani itu. "Mereka itu sebenarnya ingin sekali menggarap, tapi takut dibacok," katanya setengah bergurau. Pembacokan memang belum terjadi, tapi pemukulan terhadap para penggarap baru sering terdengar. Pemda, dan tentu juga pihak perkebunan, akhirnya menyadari kesulitan yang mereka hadapi. Apalagi para petani penggarap tanah luas yang semula menolak pengkaplingan kembali, belakangan minta kepada Mendagri agar tanah yang selama ini mereka garap diberikan sebagai hak milik kepada mereka, lengkap dengah sertifikat. Itulah sebabnya awal Desember Bupati Soepomo mengumumkan bahwa pengkaplingan kembali dibatalkan. Tanah tersebut bekas konversi hak Barat. Tapi dinasionalisasikan berdasarkan UU No. 86/1959, dan diberikan HGU-nya kepada PTP XXVII, lengkap dengan sertifikat. I{GU itu berakhir 1995 . Dalam waktu dekat ini Pemda Jem ber akan mendaftar kembali tanah tanah garapan. Kepada petani yang ber hak menggarap tanah akan diberikan kartu kuning tanda menggarap. Itu berarti kepada mereka akan diberikan hak garap seperti semula. Kebijaksanaan baru itu disertai catatan: kepada petani yang semula menguasai 10 - 20 ha dihimbau agar membagi sebagian tanah kepada saudara atau anak-anaknya. Yang jadi soal sekarang ialah, dengan pendekatan baru seperti itu apakah nanti pihak perkebunan berhasil membujuk petani melaksanakan kewajiban menanam tembakau? Bupati Soepomo hanya menjawab: "Kita- lihat saja tahun depan." Dilihat dari sikap petani sekarang harapan bupati itu nampaknya sulit terpenuhi. "Tak ada 3alan keluar yang baik, kecuali tanah itu dibagikan kepada petani," ujar Imam Chudhori dan Munir, bapak dan anak yang jadi tokoh pembela petani Jenggawah. Kalau kelak di tahun 1995 HGU tanah yang kini dikuasai PTP XXVII itu berakhir, Soepomo menyangsikan apakah peristiwa yang menggegerkan seperti tahun lalu itu tak bcrulang. Kalau terjadi lagi, menurut Soeromo, memang tak ada jalan keluar bagi pemerintah kecuali membagi tanah itu sama-rata kepada petani yang berdiam di wilayah perkebunan itu. Jika begitu, menurut perhitungan Soepomo, setiap kepala keluarga petani paling-paling akan memperoleh 0,5 ha. Tapi perhitungan bupui seperti itu tidak masuk di akal Imam Chudhori. Katanya "Pembagian itu harus sesuai dengan riwayat tanah itu sendiri. Kecuali bagi petani yang menggarap tanah yang menjadi obyek landreform." Seluruh tanah basah yang biasanya subur buat tanaman tembakau di sana ada 2.080 ha. Dengan cara glebakan, berarti areal yang harus ditanami tembakau seluas 1.040 ha. Setiap hektar biasanya menghasilkan dua ton tembakau kering. Di Jember, harga tembakau kering sekitar Rp 200 ribu per kuintal. Dengan adanya kericuhan itu berarti perkebunan rugi Rp 4 milyar lebih.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus