Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Joko Widodo atau Jokowi meminta Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) untuk bekerja keras mengawasi proses penyusunan Daftar Pemilih Tetap (DPT), yang menurut dia selalu menjadi polemik. Jokowi juga menyebut DPT selalu dijadikan bahan oleh sejumlah pihak untuk menuding ada kecurangan pemilu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Selalu diulang-ulang," kata Jokowi dalam acara Konsolidasi Nasional Bawaslu di Jakarta, Sabtu, 17 Desember 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Untuk itu, Jokowi meminta Bawaslu melaporkan langsung kepada dirinya bila ada pihak yang menghambat proses penyusunan DPT. Terlebih bila hambatan itu datang dari pihak pemerintah. "Karena urusan DPT ini sangat krusial, dari tahun ke tahun," kata dia.
Selain soal DPT, Jokowi mengingatkan lagi beberapa hal lain kepada Bawaslu. Pertama, Jokowi meminta Bawaslu segera memetakan potensi masalah dan kemungkinan terjadinya pelanggaran. "Jangan ada yang terlewat, siapkan langkah pencegahan, mitigasi, antisipasi, jangan sampai ada kejadian kita baru pontang panting," ujarnya.
Kedua, fokus pada upaya pencegahan. Jokowi berpesan agar Bawaslu fokus pada upaya pencegahan dan tidak hanya bekerja saat terjadi pelanggaran pemilu. Jokowi meminta Bawaslu tidak diam saja menunggu pengaduan, tapi sejak dini mencegah terjadi pelanggaran maupun benturan sosial. "Gesekan sekecil apapun, segera selesaikan saat itu juga, jangan tunggu membesar," kata dia.
Ketiga, Jokowi meminta Bawaslu bergerak cepat dan bekerja dalam koridor hukum. Bawaslu diminta merespons pengaduan dengan cepat dan tidak memihak. "Jangan sampai Bawaslu jadi Badan Pembuat Was-was Pemilu," sentul Jokowi.
Meski demikian, Jokowi berpesan bahwa hingar bingar pemilu tetap harus terasa. Sebaliknya, jangan sampai pemilu senyap dan malah tidak terlihat terjadi apa-apa. "Kuncinya menurut saya aturan main harus jelas dan disosialisasikan," kata dia.
Terakhir, Jokowi mengingatkan Bawaslu soal praktik politik uang masih terus berlangsung di setiap gelaran pemilu. Pengakuan ini disampaikan Jokowi karena pengalamannya berlaga di Pemilihan Wali Kota Solo, Pemilihan Gubernur, hingga Pemilihan Presiden. "Jadi kalau ada yang membantah tidak ada, saya sampaikan apa adanya, ada (politik uang)," kata Jokowi.
Aturan sebenarnya sudah diperketat, kata Jokowi, tapi prakteknya tetap terjadi politik uang. Mereka yang terkena sanksi juga sangat sedikit. "Jika dibiarkan lama-lama, rusak demokrasi kita," kata kepala negara.
Untuk itu, Jokowi meminta Bawaslu untuk meningkatkan partisipasi masyarakat karena akan mempermudah tugas mereka dalam mengawasi politik uang. "Politik uang ini sudah menjadi penyakit di setiap Pemilu," kata dia.
Hasto vs Demokrat
Di sisi lain, persoalan DPT ini disampaikan Jokowi di tengah kisruh yang melibatkan rekannya di partai, yaitu Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto. Awalnya, mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono alias SBY mengatakan mendapatkan informasi serta mengetahui tanda-tanda Pemilu 2024 bisa digelar secara tidak jujur dan tidak adil.
SBY juga mengatakan dalam Pilpres ada pihak yang menginginkan hanya ada 2 pasangan calon presiden dan wakil presiden yang berlaga. Pernyataan disampaikan SBY dalam forum rapat pimpinan nasional Demokrat yang digelar di Jakarta pada 15 September 2022.
SBY juga menyebut “mereka” berbuat batil dan jahat. Karena itulah, SBY memutuskan untuk “turun gunung”.
Hasto lalu menyebut pernyataan SBY menunjukkan kecurigaan dan kekhawatiran yang berlebihan. Dia menyebut SBY hanya menuduh tanpa didasari fakta. Menurut dia, Rapimnas mesti digunakan untuk menyampaikan politik kebenaran.
“Rapimnas hendaknya dipakai untuk menyampaikan politik kebenaran, bukan politik fitnah. Kami tidak terima karena hal tersebut dituduhkan secara langsung pada pemerintahan Joko Widodo,” kata Hasto dalam gelaran konferensi pers daring pada Ahad, 18 September 2022.
Menanggapi tudingan SBY, Hasto memaparkan pelbagai kecurangan yang diduga dilakukan oleh Partai Demokrat dan SBY dalam Pemilu 2009. Saat itu, SBY nyapres untuk kedua kalinya setelah menang dalam Pemilu 2004.
Pada 2009, kata Hasto, kenaikan suara Partai Demokrat mencapai 30 persen. Menurutnya, ini merupakan anomali dalam Pemilu. Hasto memaparkan pendapatnya disandingkan dengan analisis Marcus Mietzner, peneliti dan dosen asal Australia, dalam jurnalnya yang berjudul Indonesia’s 2009 Election: Populism, Dynasties, and Consolidation of Party System.
Kenaikan drastis perolehan suara Partai Demokrat dan popularitas SBY disebut Hasto imbas dari kebijakan populis SBY mendekati masa Pemilu. Dia mengatakan SBY menggelontorkan dana negara sebesar miliaran USD untuk kepentingan elektoral dalam bentuk kebijakan, seperti penurunan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), pembagian Bantuan Langsung Tunai (BLT), hingga beras miskin atau raskin.
“Ini ada data semua, dan ini tidak dilakukan Jokowi. Bagaimana SBY bisa katakan bahwa Jokowi jahat? Merencanakan kecurangan Pemilu? Pemilunya saja masih jauh,” kata Hasto.
Hasto turut menduga sumber dana yang digunakan SBY untuk memenangkan Pemilu berasal dari Bank Century yang kala itu sedang terlilit kasus. Selain itu, ia mengatakan ada penggunaan instrumen negara, penyusupan agen ke Komisi Pemilihan Umum (KPU), hingga pengerahan aparatur negara.
Hasto mengatakan SBY membuat Pemilu 2009 semakin kompleks dengan mengubah sistem Pemilu. Ia menyebut SBY meniadakan nomor urut pada Pemilu 2009. “Ini ada dalil dari Afrika, semakin kompleks pemilu, semakin mudah dimanipulasi. Perubahan sistem Pemilu saat itu dilakukan 4 bulan sebelum Pemilu, itu seharusnya tidak boleh,” ujarnya.
Selain itu, Hasto turut menuding Pemilu 2009 diramaikan dengan manipulasi Daftar Pemilih Tetap (DPT). Menurutnya, DPT dimanipulasi begitu masif di bawah kepemimpinan SBY. “Zaman Pak Harto saja nggak pernah lakukan manipulasi DPT. Ini dapat dimanipulasi secara masif,” kata dia.
Hasto menjelaskan, manipulasi DPT memberikan sumbangsih besar atas kemenangan SBY pada Pemilu 2009. Adapun dokumen Pemilu 2009, kata dia, sudah dihancurkan untuk menutupi jejak.
Juru Bicara partai Demokrat Herzaky Mahendra Putra lalu menanggapi tudingan Hasto soal DPT pada Pemilu 2009. Herzaky menyampaikan bahwa tidak ada DPT yang bermasalah atau hasil manipulasi.
"Bang Hasto, Demokrat tahun 2009 suaranya bisa meningkat tiga kali lipat karena prestasi pemerintahan SBY yang dirasakan manfaatnya oleh rakyat," jelas Herzaky saat dihubungi pada, Minggu, 18 September 2022.
Herzaky menyampaikan, prestasi era kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono yaitu rakyat miskin dan pengangguran semakin sedikit. Gaji Pegawai Negeri Sipil atau PNS termasuk guru, TNI dan Polri hampir tiap tahun meningkat. Daya beli masyarakat tinggi. Pendapatan per kapita meningkat drastis dan keuangan negara stabil serta hutang negara minim. Bahkan, dalam pembangunan infrastruktur juga berjalan dengan baik.
Lebih lanjut ia menambahkan, dalam hubungan antar-umat beragama dan antar suku bangsa pada era SBY itu sangat rukun. Dalam penjelasannya, Herzaky memaparkan, tidak ada polarisasi antar anak bangsa. Begitu juga dengan oposisi, masyarakat sipil, serta mahasiswa bebas mengkritik tanpa takut diintimidasi dan dikriminalisasi.
"Ya makanya wajar saja, suara Demokrat tahun 2009 meningkat drastis. Jadi, rakyat benar-benar merasakan hasil pembangunan di pemerintahan era SBY. Bukan hanya dirasakan oleh segelintir pihak saja," katanya.
Herzaky juga menyinggung pada pemilu 2019 tentang komisioner Komisi Pemilihan Umum atau KPU yang ditangkap karena kasus suap. Ia menyampaikan bahwa salah satu pelaku yang melakukan yaitu kader anggota partai PDIP Harun Masiku yang sampai saat ini masih buron.
Herzaky mengatakan, bahwa dalam pidato SBY pada Rapat Pimpinan Nasional atau Rapimnas hanya mengingatkan agar aspirasi rakyat tidak dihalangi. Rakyat hanya ingin pada pemilihan presiden atau pilpres tahun 2024 terdapat lebih dari dua pasangan.
"Namanya Bapak bangsa, wajar saja kalau beliau mengingatkan agar para elit politik tidak berupaya mengamputasi harapan rakyat. Apalagi, dengan cara-cara yang tidak demokratis dan menyalahgunakan kekuasaan. Tidak perlulah terlalu reaktif. Apalagi mengumbar hoaks dan fitnah. Kecuali, kalau memang merasa skenario jahatnya ketahuan," tutur Herzaky.