Forum Demokrasi mulai aktif lagi setelah lama tak terdengar kabarnya. Mereka memulainya dengan refleksi tentang kemerdekaan. BOLA yang ditendang Gus Dur alias Abdurrahman Wahid pelan-pelan terus menggelinding. Belakangan hampir tak banyak terdengar kabar dari Forum Demokrasi, yang ketika didirikan lima bulan lalu, sempat membuat gonjang-ganjing pentas politik Indonesia. Sejauh ini, kegiatan Forum yang agak ramai baru berupa halal- bihalal yang diselenggarakan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta Mei yang lalu. Suatu pertemuan santai yang oleh Gus Dur dilukiskan sebagai acara kangen-kangenan. Namun, Kamis pekan lalu ada langkah yang jauh lebih serius. Mereka mengadakan sarasehan di ruang sempit yang terletak di kompleks Gedung Joang 45 di Menteng Raya, Jakarta. Tamu yang hadir melimpah-ruah. Ada bekas gubernur Jakarta, Ali Sadikin. Juga tampak bekas Menteri Penerangan Mashuri, S.H. Di belakang, artis film Christine Hakim tampak berdiri tak mendapat kursi, dan sejumlah cendekiawan Ibu Kota. Suasana yang sudah pengap ini semakin hangat ketika pembicaraan dimulai. Maklum, tema yang diangkat bukan main- main, Kemerdekaan: Suatu Refleksi. Setiap orang bebas melakukannya menurut versi masing-masing. Mayjen. Syamsuddin, Anggota Fraksi ABRI di DPR, datang lengkap dengan makalahnya yang diberi judul "Kemerdekaan, Demokrasi, dan Keadilan Sosial". Syamsuddin, yang dikenal vokal dan menjadi pelopor isu keterbukaan di DPR, ternyata cukup tajam dalam berefleksi. Soal kemerdekaan dihubungkannya dengan demokrasi dan keadilan sosial. Soal stabilitas, "Akan tercapai dengan sendirinya jika demokrasi dan keadilan sosial sudah ditegakkan," katanya. Lebih jauh Syamsuddin berpendapat, demokrasi dan keadilan sosial ini tak bisa dikorbankan demi pertumbuhan ekonomi. Ia melihat jika dua hal itu bisa dilaksanakan dengan baik, tiga kebijaksanaan pemerintah yang selama ini didengung-dengungkan sebagai trilogi pembangunan bakal lebih mudah diwujudkan. Malam itu, nuansa pemikiran tampak tak jauh dari lontaran Syamsuddin. Habib Khirzin, bekas Ketua Pemuda Muhammadiyah, melihatnya dengan cara lain. Kita memang sudah merdeka dari kolonialisme, "Tapi masih ada musuh kemerdekaan yang lain. Kemelaratan dan ketidakadilan, itu kita temui sehari-hari." Akhirnya Gus Dur menyimpulkannya dengan tajam, "Jika kebebasan hilang, kemakmuran yang dicapai akan timpang. Cuma menyentuh sebagian kecil orang saja." Sarasehan itu akhirnya terasa seperti keluh kesah. Maklum, semua orang diberi hak berbicara. Paling tidak 15 orang dari lantai angkat suara. Kritik-kritik tajam pun dilontarkan, termasuk yang dialamatkan ke ABRI. "Sudah saya sampaikan ke atasan, kok. Paling tidak itu kan suara dari bawah," katanya. Tampaknya, Forum Demokrasi akan mulai bergaung setelah lama "tiarap". Sebenarnya, di sini masih ada ganjalan soal nama. Empat bulan lalu Dirjen Sospol Harisoegiman meminta agar namanya diganti. Alasannya, ketika itu, kata "demokrasi" agak kurang sedap jika dihubung-hubungkan dengan kegiatan seperti ini. "Nanti ada yang menilai demokrasi di negeri ini," demikian kata Harisoegiman waktu itu. Namun, setelah empat bulan, toh gagasan ganti nama itu tak jadi soal benar. Forum sekarang punya kalender yang cukup rapi. Seminggu sekali, di hari Kamis, orang-orang kelompok kerja berapat di sekretariat Forum. Untuk itu sebuah rumah di Jalan Cemara, Jakarta, dikontrak. Lengkap dengan telepon dan faksimile. Kadang pertemuan Kamisan ini dibarengi dengan diskusi yang mengundang tamu. YH
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini