RAMAI-RAMAI makanan yang katanya berlemak babi berulang. "Karena penyelesaiannya tak tuntas," kata Permadi, S.H., bekas Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Misalnya soal bakso babi di Bandung, 1984, yang dianggapnya dahsyat. Namun, YLKI menghadapinya dengan tenang, setelah belajar dari kasus keju kraft beberapa tahun sebelumnya. Heboh keju berlemak babi untuk jamaah haji itu, kata Permadi, sengaja dikipas. Itu ada kaitannya dengan persaingan bisnis. Tapi umat Islam tak peduli pada latar belakang itu, kecuali mendesak agar pemerintah memberi jaminan "halal" bagi makanan mereka. Setelah didesak MUI, Menteri Agama dan Menteri Kesehatan melahirkan Surat Keputusan Bersama Nomor 68. 1985, tentang pencantuman tulisan "halal" di label makanan. Menurut SKB itu, produsen harus mencantumkan keterangan tentang proses pengolahan dan komposisi bahan yang digunakan. Dan agak ganjil juga karena prosedur memperoleh keterangan "halal" tak dijelaskan di SKB itu. Dan Tim Penilaian Pendaftaran Makanan Depkes hanya bertugas melakukan pengawasan preventif. Tapi bagaimana menjamin pengawasan itu? Dalam heboh barusan, malah pihak Indomie kembali memasang rekomendasi (1982) yang sudah dicabut oleh Departemen Agama. Dan pihak departemen ini tak bertanggung jawab terhadap kata "halal" itu, setelah SKB itu dikeluarkan. Alasannya menurut Djamil Latief, Kabid Hukum Departemen Agama, "Karena kami tak punya laboratorium untuk meneliti." Pihak Departemen Kesehatan sebaliknya sembunyi tangan. "Tugas kami menyangkut kesehatan. Halal atau tidak, itu Depag yang lebih tahu," ujar Slamet Soesilo, Dirjen Pengawasan Obat dan Makanan (POM) pada Sri Pudyastuti dari TEMPO. Ditjen POM, hanya bertugas mengawasi makanan dari aspek mikrobanya. Pencantuman "halal" itu, kata Slamet, tak wajib. Kecuali kalau untuk makanan berbabi saja, dan perlu diberi tanda kotak merah: bergambar babi. Pencantuman label "halal" itu, diberikan atas permintaan produsen, konon supaya produknya laku. Formulir dari Depkes itu diberikan kepada produsen sesuai dengan permintaan. Di situ produsen "dengan ikhlas" menyebutkan isi bahan makanan dan proses pembuatannya. Setelah itu, pihak Depag dan Depkes meninjau ke pabrik. "Hanya sebatas itu," tambah Slamet. Karena itu, Menteri Kesehatan dr. Adhyatma, M.P.H. berjanji akan menyempurnakan peraturan-peraturan yang ada. "Pengujian periodik oleh pihak pengawas akan ditingkatkan," ujar Depkes di depan Komisi VIII DPR pekan lalu. Pada label, misalnya, nanti harus disebut bahan-bahan makanan secara rinci. Bahan shortening yang selama ini tanpa penjelasan harus disebut terbuat dari hewani atau nabati kemudian diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Bila hewani, harap disebutkan dari sapi atau babi. Adapun bahan makanan impor, juga harus ada keterangan lengkap. Selama ini, menurut Permadi, hampir semua barang impor yang dipasarkan menyalahi peraturan. Sertifikat, misalnya, bisa dibeli Rp 200 hingga 300 ribu. Atau dimanipulasi, dengan menyodorkan contoh terbaik untuk diteliti oleh pihak laboratorium. Dan itu bertambah buruk karena lemahnya kontrol dan pengawasan. Padahal, selain mempunyai polisi khusus, Departemen Kesehatan sebenarnya berhak meminta bantuan pengamanan hasil sidak. "Ini soal moral," ujar Permadi lagi. Tapi pihak YLKI tak luput dari kritik. "Mereka hanya menampung keluhan," kata Dr. A.M. Saefuddin kepada TEMPO. Dosen IPB itu menunjuk Malaysia. Di sana, soal makanan "ditanggung halal" dan "tidak ditanggung halal" mendapat perhatian serius dari pemerintah. Label "halal" yang diberikan kepada produsen diikuti pengawasan intensif. Dan semua itu diatur dalam Akte Perihal Dagangan, 1972. Kalau ada pengaduan dari masyarakat soal makanan ke Bagian Hal Ehwal Islam, pemerintah segera mengirim utusan ke tempat kejadian. Bila pemeriksaan laboratoris membuktikan keharaman satu barang, Kementerian Perdagangan diberi laporan dan data lengkap, supaya penjual dan produsennya gampang diseret ke pengadilan. Jika dia bersalah, dendanya 200 sampai 1.000 dolar Malaysia. Di sana, kesadaran konsumen untuk mengadukan kecurigaannya terhadap halal-haramnya makanan, antara lain, dibangkitkan oleh berdirinya Cumsumers Association of Penang (CAP), awal 1970. Gaung CAP semakin lantang setelah muncul isu penggunaan uri untuk kosmetika (1982). Menurut CAP, itu haram, dan tanggapan pemerintah positif. Di tahun itu pula Perdana Menteri membentuk sebuah panitia penguji makanan dan bahan pangan untuk umat Islam. Para ahli dari berbagai instansi bahkan tidak henti meneliti, hingga kini. Sejak 1985, CAP mampu mengadakan penelitian laboratoris sendiri. "Ternyata kami temukan banyak biskuit dicampuri lemak hewan," kata M. Mohamad Idris, Direktur CAP, kepada Ekram H. Attamimi, wartawan TEMPO di Kuala Lumpur. Di Mesir lain lagi. Yang menentukan label halal dan haram suatu makanan adalah Komite Bersama Departemen Kesehatan, Pertanian, Perdagangan, Koperasi, dan Lembaga Fatwa. Semua produk makanan harus melalui pengawasan komite itu. Tapi praktek pengawasannya tak terlalu serius. "Bahkan kurang melayani kemauan kami," kata Muhammad Atiyah dari Lembaga Fatwa Mesir. Maka, terjadilah keributan, mirip seperti sekarang yang terjadi di Indonesia. Dan idealnya, menurut Permadi, SKE tentang pencantuman label "halal" itu dihapus saja. Alasannya, selain tak efektif, bila dijalankan secara konsekuen, itu bisa menimbulkan kecurigaan antaragama. Melindungi konsumen muslim bukan hanya dengan label "halal". Karena itu, ia mendukung usul Muchjidin A.F. di majalah Panji Masyarakat (nomor 429) tentang harus ada Lembaga Konsumen Islam. Programnya, kira-kira, mengadakan pendidikan bagi konsumen, melakukan penelitian, mewakili konsumen menuntut ke pengadilan, serta menuntut perbaikan peraturan yang ada. Lembaga ini, bila hendak menjadi tumpuan harapan umat, harus berwibawa. Tapi menurut Tuty Alawiyah Ketua Badan Koordinasi Majelis Taklim se-Jakarta, itu tak perlu. Alasannya, lembaga konsumen yang sudah ada masih bisa disempurnakan. Lalu, apa SKB itu bakal ditinggalkan? Beberapa tokoh kini sudah merancang mendirikan Lembaga Konsumen Muslim. K.H. Yusuf Hasyim, misalnya, mau mendirikan Lembaga Perlindungan Konsumen Muslim Indonesia (LPKMI). Berbeda dari YLKI lembaga yang diinginkan Rais NU itu menitikberatkan pada kepastian halal-haram makanan, hingga ada wibawanya di mata umat. Lembaganya itu bakal dapat modal dari Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur. Insya Allah, masyarakat NU tahun depan akan menikmati makanan dan kebutuhan rumah tangga yang pakai cap bintang sembilan. Dan MUI, akhir tahun ini, katanya juga mau mendirikan Lembaga Konsumen Muslim. Selain menitikberatkan pada soal haram-halal, LKM-MUI itu, nanti, merekrut dana dari donatur, pemerintah, dan terpenting dari produsen. Konon, dengan dana itu akan ada penelitian di laboratorium. Tapi YLKI tetap diharap mengendalikan mutu makanan. Konon, keamanan pangan di sini sangat rawan. Menurut F.G. Winarno dalam simposim di UGM tahun lalu, beras Karawang mengandung diazion dan eieldrin hingga 36 dan 96 ppb. Hasil studi Kawatsuka di Yogya (1986) mengungkap bahwa kubis tomat, dan mentimun di pasaran Yogya mengandung DDT 11,9 ppb. Karena itu, Tri Susanto, peletup isu makanan itu, bahkan mengharap agar undang-undang bahan makanan, yang belum ada, segera diselesaikan. Selama ini setiap kasus pengaduan konsumen selalu kandas menuju ke meja hijau. Harapan dosen itu didukung Lukman Harun dari Muhammadiyah dan Dr. J.T.C. Simorangkir, bekas Kepala Badan Pengembangan Hukum Nasional. "Itu mendesak agar ada aturan main yang jelas, sehingga konsumen terlindungi," kata Simorangkir kepada Agung Firmansyah dari TEMPO. Kredibilitas produsen mestinya dipertaruhkan, walau harus ke pengadilan. Ahmadie Thaha dan Djafar Busyiri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini