ISLAM itu bersih. Dan tentang makanan halal dan haram, sudah ada "aturan main" yang jelas -- tanpa kontroversi. Sedangkan dalam serangkaian ayat, di Quran, yang diharamkan bukan cuma daging babi, juga bangkai, darah, dan sembelihan untuk selain Allah. Diharamkan daging dan seluruh bagian tubuhnya, selain babi mengandung penyakit, binatang tersebut karena digolongkan sebagai binatang bertaring. "Ada hadis Nabi yang mengatakan setiap binatang bertaring itu hukumnya haram," kata Achmad Azhar Basyir, M.A., ahli hukum Islam dan staf pengajar di Fakultas Filsafat UGM, Yogya. Sedangkan celeng atau babi rusa itu sama dengan babi, karena sejenis. Bedanya, celeng selain liar hidupnya di hutan. "Makan daging babi dan celeng hukumnya adalah haram mutlak secara ittifaq, kesepakatan," kata Dr. Abdullah El-Mushd, ahli hukum Islam dari Mesir. "Sedangkan daging anjing juga diklasifikasikan sebagai najis berat, seperti daging babi. Dan daging kedua binatang itu haram dimakan, berdasar kesepakatan ulama secara bulat," tambah Ketua Komite Fatwa Dar el-Ifra Kairo itu kepada Djafar Bushiri dari TEMPO. Tetapi dalam hal heboh minyak dan lemak babi yang diaduk dalam makanan, bahkan ada yang merasa sudah memakannya, karena tidak mengetahui sebelumnya, maka jalan pintas adalah ber-istigfar. Dan jangan merasa resah jika sudah telanjur memakan makanan yang diduga berlemak babi itu. Menurut Rektor IAIN Imam Bonjol Padang, Dr. Amir Syarifuddin, selama tidak diketahui, maka hukum Islam tak diberlakukan pada diri seorang umat. Bila sudah diketahui masih juga dilakukan, kata ahli hukum Islam itu, hukum itu baru berlaku. "Tapi bila ada keraguan atau syubhat segera tinggalkan dan jauhi makanan itu," kata Amir pada Fachrul Rasyid dari TEMPO. Sebenarnya, bukan dalam Islam saja babi dan anjing itu tidak diperkenankan. Bahkan Yesus Kristus, sebelumnya, tidak menyukai kedua binatang ini. "Jangan kamu berikan barang yang kudus untuk anjing dan babi. Dan janganlah kamu lemparkan mutiaramu kepada babi, agar tidak diinjak-injaknya dengan kakinya, karena akan berbalik menyoyak kamu," begitu sabda Yesus di Matius (7:6). Sebuah amsal, memang. Sedangkan riwayat lain menceritakan bagaimana Yesus mengusir roh jahat (setan) dari legion, kemudian setan itu masuk ke dalam tubuh babi. Kisah tersebut terekam dalam Matius (8:30-32) dan Markus (5:11-16). Dalam pada itu, ketika di hari penaklukan Kota Mekah, sembari memaklumkan keharaman berjualan khamar, darah (marus), babi dan patung, Nabi Muhammad saw. didebat para sahabat. "Bagaimana dengan lemak bangkai? Bukankah itu dipakai oleh orang Yahudi untuk mengecat perahu, meminyaki kulit dan lampu?" kata mereka. Senyum sebentar, lalu Muhammad Rasulullah menjawab, "Itu pun haram. Semoga Allah memerangi kaum Yahudi, karena ketika Dia mengharamkan lemak itu, justru mereka menghalalkan, bahkan menjualnya, seraya memakan hasilnya." Dan di tempat lain Rasul menegaskan, "Bila Allah mengharamkan orang memakan sesuatu, Dia pun mengharamkan hasil bisnisnya." Tapi jika minyak untuk makanan, baik dari tumbuh-tumbuhan atau dari hewani, asal tidak bercampur dengan yang najis seperti disebut tadi, itu tak haram. Demikian Dr. Abdullah ibn Muhammad al-Thari dalam kitabnya yang terbit pada 1984, Ahkam al-Ath'imah fi al-Syari'ah al-Islamiyah (Hukum Makanan dalam Syariat Islam). Minyak babi kalau dipakai untuk bahan makanan, maka makanan itu menjadi haram," tulis Abdullah. Dia juga mengharamkan minyak yang dipakai untuk hal-hal yang bukan dimakan. Ia memberi contoh di antaranya, sabun Camay, Lux, Palmolive, serta pasta gigi Colgate. "Ini semua mengandung bahan lemak babi," tulis Abdullah. Sedangkan Dr. Ahmad Husayn Shaqr, di al-Risalah al-Islamiyah (1980), menulis, terlalu banyak kalau disebut daftar makanan dan minuman yang mengandung babi. Sedangkan di pasar-pasar Amerika dan Kanada, katanya, banyak sekali beredar makanan seperti itu. "Kalau melancong ke Barat hati-hatilah Anda. Dan lihat dulu apa isi kemasannya," begitu ia menutup tulisannya di majalah itu. Kehati-hatian itu bahkan diperlihatkan oleh Haji Hasrul Azwar, 35 tahun. Pada Juni hingga Juli lalu ia bertandang ke AS, walau terpaksa dirinya menjadi sangat cerewet mengenai makanan. Di restoran atau di hotel, misalnya, ia pasti menanyai pelayan, apakah makanan yang dipesannya mengandung babi? "Saya sampai pernah bersumpah dengan seorang pelayan untuk memastikan apakah makanan itu hahal," ucap Ketua Fraksi PPP Sum-Ut itu. Gawat? Oh, tidak. Karena di setiap restoran dicantumkan di daftar menu ada tidaknya jenis makanan yang mengandung babi. Sedangkan di pesawat terbang, seperti di United Airlines, kotak makanannya diberi label moslem. Tapi selama di AS, Hasrul berusaha untuk memakan roti dengan omelet atau dadar telur, dan corn flake, sejenis tepung jagung bercampur susu. Dan kalau terpaksa, karena dianggap "darurat" lalu ia juga menyantap daging sapi. Dan karena sapi itu dikiranya disembelih tanpa bismillah, ia terpaksa dua kali membacanya. "Bismillah pertama saya tujukan untuk penyembelihan, dan bismillah yang kedua ketika saya hendak memakannya," katanya tertawa, pada Irwan E. Siregar dari TEMPO di Medan. Lalu Hasrul mengutip sebuah kaidah Islam. Dalam keadaan "darurat" yang haram itu bisa berubah halal, al-dharuratu tubih al-mahdhurat. Sementara, ayam Kalasan atau Kentucky dan semacamnya yang dipotong tanpa bismillah, kata Hasrul, haram hukumnya. Sebab, ayam itu dimakan sudah tidak lagi dalam keadaan darurat. Jadi, begitu repot kalau ke luar negeri, apalagi negara yang dikunjungi itu bukan bermayoritas muslim? Kenapa harus pusing kepala, padahal tidak seluruhnya makanan di sana haram. "Kita masih mudah memilih makanan yang jelas halalnya, seperti ikan dan sayur-sayuran, misalnya," kata Dr. Satria Effendi, staf pengajar di IAIN Jakarta. Syahdan, kembali lagi ke babi yang masih diramaikan di sini. Sebenarnya, debat riwayatnya memang panjang juga. Menurut mayoritas ulama, semua bagian babi, seperti daging, lemak, tulang, susu, dan bulunya, haram dimakan dan tidak boleh diperjualbelikan. "Di Quran, yang disebutkan memang dagingnya saja, tapi bagiannya yang lain mengikut," tulis dua Jalal di tafsirnya, al-Jalalayn. Pokoknya, semua bagian babi sudah merupakan najis. Atau, rijs, bunyi ayatnya. Belakangan, kata-kata rijs itu justru menimbulkan debat semantik. Menurut ulama fikih Malikiyah, kata rijs berbeda artinya dari najis. "Najis" berarti kotor secara material, alias bendanya. Sedangkan rijs berarti kotor secara maknawi, seperti khamar, perjudian, berkorban untuk berhala, dan adu nasib dengan panah. Itu juga kotor, karena menimbulkan dampak buruk bagi seseorang dan masyarakat. Berdasar ini, kaum Malikiyah lalu menganggap, "Babi adalah suci". Karena itu boleh dipegang. Bila piring dijilat dengan moncongnya, kata mereka, cukup dicuci dengan siraman air biasa. Sedangkan bulu atau rambutnya juga oke, untuk sikat gigi dan benang penjahit jaket, misalnya. Walau begitu, ulama ini mengharamkan "memakan" daging babi. Sebaliknya, ketiga ulama mazhab Hanafi, Syafi'i, Hanbali, sependapat bahwa semua bagian babi adalah najis esensial. Kulitnya tidak cukup dicuci dengan cara samak, dan bulunya tak halal untuk benang, tulangnya haram untuk gelatin, dan seterusnya. Ulama Malikiyah, selain agaknya "lembek" mungkin penyayang binatang. Mereka, sebagian besar di Afrika Utara, termasuk di Mesir memang suka memelihara anjing, dan entah babi. Sedangkan mayoritas ulama, di luar Malikiyah, justru bersikap keras terhadap binatang itu. Bahkan khalifah yang adil, Umar ibn Khattab, mengharapkan laknat bagi Samurah ibn Jundab -- gubernurnya di Irak yang mencampur aduk hasil pajak dari kaum muslim dan dari penduduk nonmuslim yang pembudidayakan babi. "And dilarang mencampur. Itu binatang haram, maka harga dan uangnya haram pula," kata Umar tegas. Ia lalu memerintahkan seluruh gubernurnya agar membunuh semua babi, di mana pun berada. Babi peliharaan penduduk nonmuslim, diperintahkan dibeli untuk dibunuh, tetapi beban pajak mereka diperkecil. Di surat keputusan lain, Umar menulis, "Janganlah sekali-sekali kalian hidup berdampingan dengan babi, dan jangan makan di meja bertengger khamar." Jadi, menurut Umar yang sering dijadikan rujukan reaktualisasi babi tak sekadar haram dimakan. Bahkan ia haram dibudidayakan. Bersih lingkungan model Umar hingga kini terus menusuk ke dalam bentuk keraguan umat terhadap sejumlah makanan. Mereka, misalnya, menampik permen Polo, yang menurut penelitian Dr. Tri Susanto dari Malang mengandung gelatin -- bahan campuran dari rebusan aneka tulang. Selain mesti diimpor, gelatin sulit untuk suci dari campuran babi, Siapa tahu? Soal campur aduk penyimpanan bahan babi dan sapi di satu kuali produsen menimbulkan kecurigaan tentang kesucian tiap bahan. Sebab, kata Rasulullah, najis babi atau anjing harus dicuci dengan sekali gosokan berdebu -- lalu baru disiram 7 kali dengan air. Namun, betapa sulitnya menggosok daging atau tulang sapi yang terkena najis babi dengan debu. Apalagi daging itu berton-ton. "Padahal, sedikit saja najis jatuh ke bahan, membuat semuanya tidak suci," kata K.H. Ali Yafie dosen Fiqih di Universitas Islam Assyafi'iyah, Jakarta. Tapi, menurut Kosim Norseha, pencampuran daging sapi dan babi, misalnya di cold storage, tidak apa-apa. Alasannya, menurut juru dakwah yang suaranya setiap subuh menggelegar di udara melalui Radio Kayumanis, Jakarta Timur itu, "Secara substansial, yang kita makan adalah daging sapi bukan daging babi." Dan bila yang halal dicampur dengan yang haram, asal sudah jelas, maka hukumnya dimenangkan yang haram. Karena itu, Ustad Kosim menyarankan, lebih baik daging sapi itu disimpan terpisah dengan daging babi. Keraguan muncul lagi, atau bila seseorang itu kemudian sadar, lalu mempertanyakn tentang cara penyembelihan sapi, misalnya, dijagal secara masal dan pakai mesin. Menurut hukum Islam, sapi yang halal akan jadi haram dimakan apabila menyembelihnya tanpa menyebut nama Allah. Bila tanpa "bismillah", seperti kata Hasrul tadi, ini artinya sembelihan itu untuk sesajen berhala. "Karena itu, sekali saja dibaca basmallah, bisa untuk seribu sapi atau kerbau. Dan yang penting di sini adalah akidah si penyembelihnya. Kita tak menolak kemajuan teknologi," kata Usman Shalehuddin, ahli fikih dari Pesantren Persis (Persatuan Islam) Bandung. Lalu kembali kepada "halal" yang artinya "tidak ada masalah" karena memang tak pernah bermaksud menyulitkan atau memasung umatnya dalam memilih makanan dan minuman. Pedomannya jelas di Quran "Wahai manusia. Makanlah barang yang halal dan baik yang ada di bumi ini." Dan untuk menghidari syubhat itu, kita sendirilah yang menentukan. Ada sepotong daging di dalam tubuh, ujar Rasulullah. "Kalau ia baik, maka seluruh tubuh akan menjadi baik. Namun, jika ia rusak, maka seluruh tubuh menjadi rusak. Itulah yang namanya hati." ZMP dan AT
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini