KESEHATAN dan agama sebenarnya sudah lama menyatu dalam negara. Di masa Kabinet Ali Sastroamidjojo, 1954, Menteri Kesehatan RI, Dokter Li Kiat Teng, seorang muslim, membentuk badan pertimbangan khusus, dengan nama Panitia Majelis Pertimbangan Kesehatan dan Syara' (MPKS). Kata Menkes ke-15 itu, peraturan di bidang kesehatan juga harus memperhatikan keyakinan dan kepercayaan pemeluk Islam, mayoritas penduduk di Republik ini. Majelis itu dipimpin dr. Ahmad Ramali gelar Sutan Lembang Alam. Anggotanya 12 orang -- terdiri atas ahli-ahli Quran, hadis fikih, kesehatan, dan bahasa. Tugas mereka memberi pertimbangan, kupasan, keputusan, dan fatwa dalam soal-soal kesehatan yang berhubungan dengan hukum syara'. Wibawa MPKS ditunjang pula oleh anggota koresponden, yang terdiri atas tenaga ahli pelbagai unsur. Tata tertib majelis bahkan sangat ketat, sehingga satu masalah terkadang selesai dibahas setelah tiga tahun bersidang. Sekali sidang memakan waktu 2 jam 30 menit, dengan uang duduk Rp 30. Misalnya kasus inseminasi buatan yang waktu itu sedang ramai di koran. Pihak Kementerian Agama, walau diserbu pertanyaan, tak memutuskan sendiri, sebelum meminta penjelasan dari MPKS. "Masalahnya, ternyata, pelik karena tidak ada di zaman Nabi," kata Ali Akbar, 73 tahun sekretaris MPKS saat itu. Anggota MPKS disuruh menelusuri ayat, hadis, pendapat ulama mazhab mengenai sperma dan hubungannya dengan anak. Sarwono Prawirohardjo, guru besar FK UI, diminta menjelaskan dari sudut ilmu kedokteran. Dijaring pula pendapat ulama ahli seperti Hasbi Asshiddiqie dan Moenawar Chalil. Fatwanya keluar setelah MPKS bersidang 149 kali, selama 372 jam 30 menit (18 Desember 1956-22 September 1958). Isinya: inseminasi buatan dengan sperma bukan suami (donor) terlarang. Sejak didirikan hingga 1976, MPKS telah menerbitkan 21 buku fatwa. Di antaranya soal bedah mayat, tusuk limpa (1955), transfusi darah, soal marus atau dadih (1956), bekicot (1961), kelinci, vetsin (1962), tikus (1963), transplantasi kornea (1973), dan bank air susu ibu (1976). Hampir semua yang mereka bahas itu soal baru, yang tak pernah terjadi di masa Nabi dahulu. "Keputusan fatwanya cukup berani," kata Nurcholish Madjid, peneliti dari LIPI. Misalnya bekicot atau keong darat, menurut MPKS, haram dimakan -- selain menjijikkan, bekicot tidak bisa disembelih. Dalil fatwanya, selain diambil dari Quran dan hadis, juga dari kitab-kitab klasik dan ulasan medis. Waktu itu, soal babi juga difatwakan. Ini muncul dari keraguan Dirjen Farmasi Soenarto Prawirosoejanto, masa Kabinet Ampera (akhir 1966). Agar tidak menghebohkan, ia melayangkan surat ke MPKS, menanyakan halal haramnya memakan obat yang bahannya dari babi. Soenarto juga menanyakan mengenai kosmetik (termasuk minyak rambut), obat salep, obat dalam intrinsik, obat suntik insulin yang mengandung lemak, isi perut, dan pankreas babi. Surat itu baru ditanggapi dua tahun kemudian. MPKS bersidang 56 kali, selama 7 bulan (5 Agustus 16-25 Pebruari 1969), alias 126 jam. Soal babi itu ditinjau dari sudut tafsir, hadis dan fikih serta ulasan medis. Kesimpulannya: babi adalah binatang najis, dan haram dimakan. Berobat dengan bahan najis dilarang oleh Islam, kecuali terpaksa bila tak ada obat pengganti baru. Fatwa tersebut berjudul Penggunaan Bahan-Bahan dari Babi untuk Pengobatan dan Bahan Cosmetika (1969). Hingga awal 1980-an, alhamdulillah, aman-aman saja. Tak muncul gejolak. Ketika MPKS sudah kurang aktif, muncul kasus Colgate, keju Kraft, dll. Sementara itu, pada 1975 sudah ada Majelis Ulama Indonesia (MUI), tetapi dinilai tak sepenuknya bisa menggantikan peran MPKS yang dahulu bagian organik dari Kementerian Kesehatan. MPKS, yang tak pernah dibubarkan itu, seakan terlepas, tak lagi menjadi organ Depkes. Sedangkan fatwa-fatwanya menguap entah ke mana. Ahmadie Thaha
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini