Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial
Koordinator Jaringan Islam Liberal, Ulil Abshar Abdalla:

Berita Tempo Plus

Kami Tidak Membangun Mazhab

7 Maret 2005 | 00.00 WIB

Kami Tidak Membangun Mazhab
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ULIL Abshar Abdalla tidak pernah menyangka keberadaan Jaringan Islam Liberal (JIL) yang dia prakarsai bisa berumur panjang. "Awalnya kita hanya coba-coba," kata koordinator jaringan ini, Kamis pekan lalu. Berawal dari kongko-kongko sejumlah pemikir di Komunitas Utan Kayu, Jakarta, mereka akhirnya menggagas pembentukan forum diskusi melalui Internet. Selasa pekan lalu, kelompok ini merayakan ulang tahun keempat, yang ditandai dengan sejumlah diskusi dan pemutaran film.

Ulil mengakui kelahiran JIL merupakan reaksi dari kehadiran kelompok-kelompok Islam garis keras yang menginginkan penerapan syariat Islam dalam kehidupan bernegara. Kehadiran JIL, menurut menantu K.H. Mustofa Bisri, Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatuh Tholibin di Rembang, Jawa Tengah itu dimaksudkan untuk memberikan bandingan pemikiran yang menjadi keyakinan kelompok tersebut. "Kami tidak bermaksud membuat sekte atau mazhab terpisah," katanya.

Tetapi pro-kontra terhadap gagasan-gagasan liberal yang mereka usung tak bisa dielakkan. Tentangan terutama mencuat dari kalangan—untuk memudahkan penyebutan—Islam literal. Beberapa pemikiran JIL yang menuai kecaman keras antara lain berkaitan dengan gagasan antipoligami, tidak wajib berjilbab, memberikan ucapan selamat pada hari besar agama lain, hingga menyebut semua agama itu benar meski tidak sama.

Kolom Ulil yang berjudul "Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam" di harian Kompas, akhir 2002, menimbulkan reaksi keras dari Forum Ulama Umat Indonesia di Bandung. Forum itu bahkan menghalalkan darah Ulil.

Ancaman itu memang tidak sampai berakibat fatal. Namun, buntutnya, posisi Ulil sebagai Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) di NU ikut dirongrong dalam Muktamar NU, akhir tahun lalu. Peserta muktamar mendesak agar Ulil dipecat dari lembaga kajian itu. "Tapi sampai sekarang secara de facto saya masih jadi ketua," kata Ulil.

Untuk mengetahui perkembangan pemikiran Jaringan Islam Liberal, wartawan Tempo Agung Rulianto dan fotografer Arif Fadillah mewawancarai Ulil Abshar Abdalla di Teater Utan Kayu, Jakarta, Kamis pekan lalu.

Setelah empat tahun, bagaimana Anda menilai Jaringan Islam Liberal?

Kelahiran JIL membuat diskusi tentang Islam hidup lagi dengan cara yang kritis. Maksudnya, ada sisi lain dari cara memandang agama yang kemudian membuat diskusi tentang Islam menjadi lebih segar. Ibaratnya kita berhasil mengkilik-kilik bagian tubuh umat Islam yang bermasalah.

Apa yang baru dari JIL, liberalisasi pemikiran Islam toh sudah dimulai oleh Gus Dur, Cak Nur, dan Ahmad Wahib?

Yang baru adalah konteksnya. Dulu kelompok radikal tidak secara resmi muncul di muka publik. Cak Nur dan Gus Dur masuk ke gelanggang perdebatan yang dikuasai Orde Baru. Sekarang kelompok radikal diakui secara legal.

Itu dalam konteks, dalam gagasan, apakah ada yang baru?

Gus Dur dan Cak Nur hidup dalam zaman ideologi besar. Mereka membicarakan soal hubungan negara, Pancasila, dan agama. Sekarang kami berhadapan dengan isu yang lebih kecil tapi konkret. Misalnya soal mengucapkan selamat Natal, jilbab, poligami, hukum keluarga, dan syariat Islam. Ini lebih rumit dan njelimet.

Anda merasa JIL berhasil mengemban misinya?

Salah satu alasan kemunculan JIL adalah kita ingin memberikan opini bandingan terhadap syariat Islam seperti yang ditafsirkan dan diperjuangkan oleh kelompok Abu Bakar Ba'asyir, juga oleh kelompok Komite Persiapan Penegakan Syari'ah Islam (KPPSI) di Makassar dan Aceh. Sekarang kelompok-kelompok ini mulai kehilangan momentum. Artinya, kalau kami disebut "menggembosi" itu, kami berhasil.

Bagaimana hubungan Anda dengan kelompok yang Anda "gembosi" itu?

Saya memandang mereka semua sebagai kawan dalam diskusi, meski ada perbedaan yang terkadang tajam sekali. Saya ingin menyitir kalimat yg terkenal dari Abu Hanifah (pendiri mazhab Hanafi): "Pendapat saya benar, mungkin salah. Pendapat lawan diskusi saya salah, tetapi mungkin benar." Jadi pandangan saya tentang Islam bukanlah sesuatu yang absolut, sejauh menyangkut interpretasi. Misalnya mencuri itu absolut salah, tetapi apakah hukumannya dipotong tangan atau dipenjara itu tidak ada yang absolut.

Orang melihat JIL bersikap asal berbeda?

Kontroversi itu muncul karena kita punya pendapat yang tidak sesuai dengan arus utama. Bukan kami ingin cari kontroversi dulu dengan memberikan pendapat yang berbeda, tetapi pendapat kami mula-mula berbeda lalu menimbulkan kontroversi. Semua yang berbeda kan menimbulkan daya tarik.

Apa yang membedakan JIL dengan kelompok Islam lainnya?

Dari segi doktrin keagamaan dan ritual kita tetap sama, ya rukun Islam itu. Namun kita berbeda dalam memandang persoalan hubungan antara Islam dan agama lain, aurat perempuan, jilbab, atau tentang nikah beda agama. Nah, perbedaan wilayah interpretasi ini yang memunculkan kelompok-kelompok.

Anda pernah melakukan interpretasi ritual tentang tidak perlunya salat Jumat?

Memang, saya pernah meninggalkan salat Jumat sebelum usai karena saya mendengarkan khotbah yang penuh kebencian. Daripada hati saya menjadi penuh kebencian, lebih baik saya pulang dan salat zuhur biasa di kantor. Salat Jumat yang menjadi sarana memecah belah tidak wajib buat saya. Tetapi saya tidak menganjurkan orang lain untuk meninggalkan salat itu.

Jawaban itu tidakkah terlalu sosiologis? Banyak yang mengkritik Anda tak memiliki argumentasi teologis?

Dalam kerangka berpikir orang liberal yang sosiologis dan teologis itu berkaitan. Sesuatu yang secara teologis benar sebetulnya bisa batal oleh yang sosiologis. Contohnya adalah hukuman potong tangan kepada pencuri. Secara teologis, jelas ada dalilnya. Tapi hukuman itu kan tidak bisa diterima secara sosiologis.

Dalam diskusi JIL, Jalaluddin Rakhmat mengkritik gerakan Anda sebagai gerakan liberal yang tidak kuat dasarnya?

Pernyataan Kang Jalal itu adalah pernyataan retoris. Bukan berarti teman-teman JIL tidak punya dasar literal. Dalam pandangan kami teks tetap penting. Yang kami pertimbangkan adalah teks, tafsir, dan argumen sosiologis.

Anda menyadari bahwa JIL lemah secara metodologis?

Kesadaran untuk mencari metodologi kuat buat JIL berkembangan di kalangan teman-teman. Beberapa misalnya mencoba merumuskan kaidah penafsiran baru. Misalnya kaidah bahwa kepentingan umum bisa menjadi alasan untuk menginterpretasi teks hukum secara berbeda. Jadi, kalau teksnya berbunyi A tapi kepentingan umum berkata lain, tafsir yang dipakai bisa B.

Dulu JIL pernah mempersoalkan berbagai bias dalam Al-Quran?

Kita dulu berencana menerbitkan Al-Quran dalam edisi kritis. Lalu ada pendapat dari teman kita, antara lain Taufik Adnan Amal (penulis buku Islam dan Tantangan Modernitas, Mizan, 1989). "Mengapa tidak memilih bacaan-bacaan Al-Quran yang lebih sesuai dari segi makna dengan pandangan Islam yang liberal?"

Apa dasar rencana itu?

Bahasa Arab itu semuanya konsonan. Ketika dihidupkan dengan memberikan harakat, bisa dibaca berbeda-beda. Misalnya ada ayat la yamassuhu illal mutathahhirun, yang artinya orang yang tidak berwudu tidak boleh menyentuh Al-Quran. Tetapi, kalau dibaca la yamassuhu illal muththahharun, artinya menjadi Al-Quran itu tidak boleh disentuh kecuali oleh orang-orang yang hatinya suci. Menurut saya, yang kedua ini jauh lebih tepat karena wudu secara fisik tidak penting. Banyak lagi ratusan bacaan dalam Al-Quran seperti itu. Jadi, Al-Qurannya sama, cuma cara membacanya kita pilih yang lebih sesuai dengan visi kita tentang Islam yang liberal. Tetapi proyek ini berat sekali, dan akhirnya batal karena untuk menggarapnya, bisa puluhan tahun.

Dari semua pemikiran dan tindakan yang cenderung liberal itu, Anda tidak khawatir gegabah dalam beragama?

Menurut saya sikap yang sehat terhadap kekayaan intelektual Islam adalah membaca kembali dengan mata kritis. Jadi, mana yang sesuai kita ambil, dan yang tidak sesuai kita buang.

Meskipun itu menyangkut ajaran dalam Al-Quran dan Hadis?

Ya. Tidak apa-apa. Kita tidak membuang Al-Quran dan Hadisnya karena kita percaya di sana ada nilai-nilai yang universal. Tetapi kita membuang hal-hal yang ornamental dan tidak lagi sesuai dengan keadaan sekarang. Seperti masalah budak, kisah-kisah nabi, dan sebagainya, itu pesan moralnya bisa kita ambil.

Bagaimana wajah JIL ke depan?

Kita ini mengkampanyekan pemikiran, bukan membentuk sekte baru atau mazhab atau kelompok yang terpisah. Kita harus merasionalkan ajaran Islam. Habluminannas (hubungan antarmanusia) harus rasional kontekstual. Misalnya perjanjian waris harus rasional, wong keadaannya berubah. Tetapi, kalau menyangkut habluminallah (hubungan dengan Allah) seperti dalam rukun Islam, kita harus berserah diri, karena itu bukti kita tunduk kepada Allah.

Anda mau sekolah ke AS, bagaimana dengan regenerasi JIL?

Agak sulit, memang. Tapi saya berharap kegiatan ini masih tetap jalan. Setidaknya melalui milis dan e-mail saya masih bisa berpartisipasi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus