DARI Sambu Besar pulau terdepan Indonesia di Kepulauan Riau
hanya berjarak 2,5 mil dengan Singapura Tapi ramainya bukan
main. Mulai sampan, perahu layar sampai tanker-tanker raksasa
memadati selat sempit tersebut.Bagi Pangdaerah II, Laksamana
Pertama Teddy Asikin Natanegara, suasana tersebut tentulah tak
aneh lagi. Tapi 3 jam berada di kawasan terdepan Indonesia itu,
22 April lalu, ternyata memberi suasana lain pada Laksamana itu.
Seoab menyaksikan berseliwernya perahu-perahu kecil nelayan di
sana, selain langsung teringat soal keamanan - apalagi kalau
bukan penyelundupan -- ia terdorong merenungkan bab kehidupan
nelayan kecil di perbatasan tersebut. "Saya kepingin sekali
lihat dan berdialog dengan para nelayan", cetusnya kepada Mayor
Laut (P) Sugito Pwr, Komandan KRI Krapu yang membawanya
melakukan inspeksi ke Stasion Angkatan Laut (Sional) Dumai itu.
Maka nongkronglah kapal perang tersebut di perbatasan selama 3
jam.
Ternyata yang jadi tujuan utama armada nelayan yang makin petang
makin ramai itu ialah pulau Semakau,salah satu pulau kecil di
kawasan Singapura. Para nelayan yang hiruk pikuk itu, tak
mempedulikan kapal perang, yang ditumpangi Laksma Teddy.
Bahkan tatkala Panglima minta sebuah sampan dan perahu motor
tempel 4 pk. agar mendekat dan para nelayannya naik ke kapal,
tak sedikit pun rasa gentar menyelimuti mereka. Tampak tulus dan
polos. Tak terlihat tanda-tanda mereka terlibat penyelundupan --
meski mungkin cuma kebetulan bukan mereka. Selanjutnya Pembantu
TEMPO Rida K Liamsi yang menyertai Panglima dalam pelayaran
tersebut melaporkan hasil percakapan Panglima dengan para
nelayan tersebut sebagai berikut.
Para nelayan itu melego hasil tangkapan mereka di pulau Semakau.
Menurut Buntal, 42 tahun, anak 7, nelayan asal kecamatan Moro,
setiap hari para penadah selalu siap di sela-sela batu pulau
tersebut. "Kami tak boleh naik ke darat", tutur Buntal. Ikan
langsung ditimbang di perahu. Kalau butuh barang, mereka
sediakan. Harga terganung jenis ikan. Paling mahal jenis krapu
merah: 3 sampai 4 ringgit sekati. Ikan biasa sekitar 1,7 dollar
Singapura. Ikan yang dibawa para nelayan biasanya tak banyak,
paling-paling 15 kati. Menurut Buntal, hasil tersebut cukup
buat 3-4 hari.
Tak Kenal KB
Kenapa tak dijual di Moro saja atau Belakang Padang?
"Kadang-kadang tak habis dijual di sana. Dan harganya murah",
sela Rajab, nelayan asal Pemping. Meski mereka tahu harga
kebutuhan sehari-hari tak berbeda dengan di tempat tinggal
mereka. Jadi ke Semakau karena harga dan dollar. Sedang
kebutuhan sehari-hari dibeli di kampung. Sebab di Semakau, 10
batang rokok 45 sen, di kampung 20 batang Rp 50.
Ada pula yang pergi ke Semakau bukan bermaksud menjual ikan.
Tapi untuk membeli bahan bangunan bekas.Kebetulan di sana
sedang ada penggusuran bangunan-bangunan. Sisa-sisa rumah
itulah yang mereka boyong untuk membangun rumah di kampung.
Menurut mereka tak ada larangan berbuat begitu. Karena yang
mengizinkan orang Semakau sendiri. Dan ternyata antara penduduk
kawasan perbatasan Indonesia dengan penduduk pulau-pulau kecil
Singapura itu masih ada kaitan darah. Hingga kunjungan tersebut
bak jenguk-menjenguk atau tolong menolong belaka, tak memerlukan
surat izin atau surat keterangan. Bahkan mereka jarang membawa
kartu penduduk.
Tentu saja hal tersebut -- yang sudah amat lama brlangsung -
sangat mengkhawatirkan Mayor (P) Sugito Pwr, Komandan KRI Krapu.
Sebab, menurutnya, "bisa dimanfaatkan fihak lain. Menitipkan
candu atau barang larangan lainnya." Meski ini merupakan tugas
Kamla (Keamanan Laut) mengontrolnya. Tapi menurut Panglima, unit
Kanla ini kedudukannya ternyata menimbulkan masalah. Sebab
meski kedudukannya penting sebagai "mata dan telinga",
terbatasnya fasilitas komunikasi menyebabkan unit-unit tersebut
sulit untuk saling berhubungan. Sedang anjuran Mayor Sugito,
agar kepala desa yang disinggahi kapalnya, menertibkan para
nelayan tersebut dengan surat-surat keterangan, tak ada yang
berani melaksanakannya. Sebab tentu saja tak ada Kepala Desa
yang berani melegalisasikan urusan terobos menerobos garis
larangan tersebut.
Alhasil Laksma Teddy Natanegara cenderung berkesimpulan,
penanganan para nelayan tersebut tak cukup cuma memperbaiki
aparat keamanan. Juga mesti disertai perbaikan kehidupannya.
Misalnya memperbaiki sektor pemasaran hasil para nelayan kecil
tersebut. Dan distribusi kebutuhan sehari-hari agar lebih
disebarkan dengan baik. Tapi yang menggembirakan Laksma Teddy,
ternyata para nelayan kecil itu mengenal dengan baik nama
Presidennya. Tapi tak kenal KB. Anak-anak bersekolah hanya
sampai kelas 5.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini