Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Karena Harga Dan Dollar

Pangdaeral II, laksma ta natanegara, berkunjung ke perbatasan dengan singapura. Ia mengadakan percakapan dengan nelayan yang ramai di situ. Mereka menjual ikan tangkapan ke singapura. (dh)

22 Mei 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DARI Sambu Besar pulau terdepan Indonesia di Kepulauan Riau hanya berjarak 2,5 mil dengan Singapura Tapi ramainya bukan main. Mulai sampan, perahu layar sampai tanker-tanker raksasa memadati selat sempit tersebut.Bagi Pangdaerah II, Laksamana Pertama Teddy Asikin Natanegara, suasana tersebut tentulah tak aneh lagi. Tapi 3 jam berada di kawasan terdepan Indonesia itu, 22 April lalu, ternyata memberi suasana lain pada Laksamana itu. Seoab menyaksikan berseliwernya perahu-perahu kecil nelayan di sana, selain langsung teringat soal keamanan - apalagi kalau bukan penyelundupan -- ia terdorong merenungkan bab kehidupan nelayan kecil di perbatasan tersebut. "Saya kepingin sekali lihat dan berdialog dengan para nelayan", cetusnya kepada Mayor Laut (P) Sugito Pwr, Komandan KRI Krapu yang membawanya melakukan inspeksi ke Stasion Angkatan Laut (Sional) Dumai itu. Maka nongkronglah kapal perang tersebut di perbatasan selama 3 jam. Ternyata yang jadi tujuan utama armada nelayan yang makin petang makin ramai itu ialah pulau Semakau,salah satu pulau kecil di kawasan Singapura. Para nelayan yang hiruk pikuk itu, tak mempedulikan kapal perang, yang ditumpangi Laksma Teddy. Bahkan tatkala Panglima minta sebuah sampan dan perahu motor tempel 4 pk. agar mendekat dan para nelayannya naik ke kapal, tak sedikit pun rasa gentar menyelimuti mereka. Tampak tulus dan polos. Tak terlihat tanda-tanda mereka terlibat penyelundupan -- meski mungkin cuma kebetulan bukan mereka. Selanjutnya Pembantu TEMPO Rida K Liamsi yang menyertai Panglima dalam pelayaran tersebut melaporkan hasil percakapan Panglima dengan para nelayan tersebut sebagai berikut. Para nelayan itu melego hasil tangkapan mereka di pulau Semakau. Menurut Buntal, 42 tahun, anak 7, nelayan asal kecamatan Moro, setiap hari para penadah selalu siap di sela-sela batu pulau tersebut. "Kami tak boleh naik ke darat", tutur Buntal. Ikan langsung ditimbang di perahu. Kalau butuh barang, mereka sediakan. Harga terganung jenis ikan. Paling mahal jenis krapu merah: 3 sampai 4 ringgit sekati. Ikan biasa sekitar 1,7 dollar Singapura. Ikan yang dibawa para nelayan biasanya tak banyak, paling-paling 15 kati. Menurut Buntal, hasil tersebut cukup buat 3-4 hari. Tak Kenal KB Kenapa tak dijual di Moro saja atau Belakang Padang? "Kadang-kadang tak habis dijual di sana. Dan harganya murah", sela Rajab, nelayan asal Pemping. Meski mereka tahu harga kebutuhan sehari-hari tak berbeda dengan di tempat tinggal mereka. Jadi ke Semakau karena harga dan dollar. Sedang kebutuhan sehari-hari dibeli di kampung. Sebab di Semakau, 10 batang rokok 45 sen, di kampung 20 batang Rp 50. Ada pula yang pergi ke Semakau bukan bermaksud menjual ikan. Tapi untuk membeli bahan bangunan bekas.Kebetulan di sana sedang ada penggusuran bangunan-bangunan. Sisa-sisa rumah itulah yang mereka boyong untuk membangun rumah di kampung. Menurut mereka tak ada larangan berbuat begitu. Karena yang mengizinkan orang Semakau sendiri. Dan ternyata antara penduduk kawasan perbatasan Indonesia dengan penduduk pulau-pulau kecil Singapura itu masih ada kaitan darah. Hingga kunjungan tersebut bak jenguk-menjenguk atau tolong menolong belaka, tak memerlukan surat izin atau surat keterangan. Bahkan mereka jarang membawa kartu penduduk. Tentu saja hal tersebut -- yang sudah amat lama brlangsung - sangat mengkhawatirkan Mayor (P) Sugito Pwr, Komandan KRI Krapu. Sebab, menurutnya, "bisa dimanfaatkan fihak lain. Menitipkan candu atau barang larangan lainnya." Meski ini merupakan tugas Kamla (Keamanan Laut) mengontrolnya. Tapi menurut Panglima, unit Kanla ini kedudukannya ternyata menimbulkan masalah. Sebab meski kedudukannya penting sebagai "mata dan telinga", terbatasnya fasilitas komunikasi menyebabkan unit-unit tersebut sulit untuk saling berhubungan. Sedang anjuran Mayor Sugito, agar kepala desa yang disinggahi kapalnya, menertibkan para nelayan tersebut dengan surat-surat keterangan, tak ada yang berani melaksanakannya. Sebab tentu saja tak ada Kepala Desa yang berani melegalisasikan urusan terobos menerobos garis larangan tersebut. Alhasil Laksma Teddy Natanegara cenderung berkesimpulan, penanganan para nelayan tersebut tak cukup cuma memperbaiki aparat keamanan. Juga mesti disertai perbaikan kehidupannya. Misalnya memperbaiki sektor pemasaran hasil para nelayan kecil tersebut. Dan distribusi kebutuhan sehari-hari agar lebih disebarkan dengan baik. Tapi yang menggembirakan Laksma Teddy, ternyata para nelayan kecil itu mengenal dengan baik nama Presidennya. Tapi tak kenal KB. Anak-anak bersekolah hanya sampai kelas 5.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus