Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Malang -Baru-baru ini, viral video pria berpakaian rompi hitam memaki dan menendang sesajen di wilayah bekas bencana Gunung Semeru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tindakan itu dilakukan, diduga karena penyajian sesajen yang dianggap perbuatan syirik. Padahal, apabila ditelisik lebih dalam, terkandung makna simbolis di dalam sesajen, salah satunya sebagai wujud keharmonisan antara manusia dengan alam. Dalam hal ini masyarakat sekitar Gunung Semeru dan alam Semeru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Melansir dari icrs.or.id, adanya pemaknaan sesajen yang hanya dipandang sebagai perbuatan syirik, sejatinya merupakan buah dari pemikiran kolonial yang kolot.
Pun disebutkan, sesajen hakikatnya adalah salah satu manifestasi dan praktik komitmen relasi ekologis. Maksudnya, terdapat hubungan antara manusia dan alam yang harmonis dan selaras.
Hal ini ditegaskan oleh pakar Agama dan Lintas Budaya Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr. Samsul Maarif yang mengatakan bahwa sesajen dalam pandangan kosmologis berarti manusia dan alam saling bergantung. Karenanya, manusia perlu memahami alam agar bisa saling melestarikan.
Terkait dengan kasus penendangan sesajen di Semeru, berdasarkan penilaian Maarif terjadi karena minimnya literasi keragaman agama. “Kasus penendangan sesajen di Semeru menunjukkan pemahaman agama yang eksklusif, atau ketidakpedulian terhadap agama lain,” ujarnya dikutip TEMPO dari Instagram @icrs_yogya, Jumat, 14 Januari 2022.
Sementara itu, melansir dari buku Kamus Antropologi (1985), asal-usul istilah sesajen atau sesaji berasal dari kata “saji” yang berarti dihidangkan. Secara khusus, sesajen yang berupa makanan diperuntukkan bagi makhluk-makhluk supernatural. Selain itu, sesajen dimaknai sebagai “srana”, sebab dipergunakan sebagai sarana mengadakan hubungan dengan alam di luar manusia.
Sesajen memang identik dengan tradisi peninggalan Hindu-Budha, bahkan yang telah berakulturasi dengan kebudayaan Jawa dan kebudayaan Nusantara lainnya.
Rasanya ada nuansa hidup yang lepas, apabila entitas sesajen ini tidak dihidangkan di tiap pelaksanaan ritus kebudayaan Jawa. Misalnya, dalam ritus kematian, Sedekah Bumi, Ruwat Rumah, dan lain sebagainya.
Selanjutnya : Bagi sebagian orang Jawa...
Bagi sebagian orang Jawa, menurut Suwardi Endraswara, sesajen dipandang sebagai bentuk “slametan”, agar dirinya terhindar dari mara bahaya. “Oleh sebab itu, dalam setiap kehidupan masyarakat tradisional Jawa, sebisa mungkin mempertahankan tradisi ini,” tulis Endraswara dikutip dari bukunya yang berjudul Agama Jawa, Ajaran, Amalan, dan Asal-usul Kejawen (2015).
Begitu pula dengan masyarakat Hindu di Bali. Ritus persembahan sesajen menjadi praktik keagamaan yang paling penting dalam kehidupan di sana. Menurut I Ketut Keriana, sesajen sebagai simbol perwujudan yadnya untuk dapat diserap isi jagat yang dirangkai dalam satu kesatuan sesaji untuk kemudian dipersembahkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa.
Fungsi memberikan sesajen, dalam tradisi Hindu Bali, di antaranya sebagai alat pengendali atau pengawas norma-norma masyarakat, dan sebagai pranata lembaga-lembaga kebudayaan.
“Di sisi lain, juga sebagai sarana kerukunan hidup antar anggota masyarakat, menumbuhkan sifat dan sikap kebersamaan dan kegotong-royongan,” terang I Ketut Keriana dalam bukunya yang berjudul Prosesi Upakara & Yadnya (2007).
Salah satu contoh penerapannya, misalnya pemberian sesajen dalam bentuk menyembelih hewan tertentu dan menyajikan darahnya kepada para dewa, leluhur, arwah penjaga bumi, dan makhluk-makhluk lain. Hal ini, sebenarnya dimaksudkan untuk menjalin hubungan dan komunikasi antara manusia dengan makhluk-makhluk tersebut. Atau dengan kata lain, sebagai bentuk solidaritas manusia kepada alam-alam lainnya.
Hal ini selaras dengan pandangan Clifford Geertz (1992), menguraikan bahwa setiap orang, dalam arti keagamaan, membutuhkan media atau sarana untuk berkomunikasi.
Media ini, yakni dalam wujud simbolis yang berperan sebagai komunikator pesan. Sebab, menurutnya, kekuatan sebuah doa dalam ritual keagamaan terletak pada kemampuan simbol-simbolnya. Agama melukiskan kekuatan imajinasi manusia untuk membangun gambaran di realitas yang ada.
Berdasarkan konsep ini, Geertz menegaskan kembali bahwa suatu proses ritual yang bersifat religius harus memiliki keyakinan untuk menjaga hubungan yang harmonis, antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama, dan manusia dengan alam. Menjaga keharmonisan antara manusia dengan alam dapat diwujudkan, salah satunya melalui wujud sesajen.
HARIS SETYAWAN
Baca juga : UIN Yogyakarta: Penendang Sesajen Semeru DO Sejak 2014
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.