Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Kata Pakar Soal Posisi Koalisi dan Oposisi dalam Pemerintahan Prabowo

Prabowo diharapkan tidak terjebak dalam politik merangkul yang berlebihan.

8 Mei 2024 | 19.21 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Presiden terpilih Prabowo Subianto dan Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh memberikan keterangan pers di Kediaman Prabowo, Jalan Kertanegara No. 4, Jakarta Selatan, Kamis, 25 April 2024. TEMPO/Defara

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Setelah ditetapkan sebagai presiden terpilih dalam Pilpres 2024 oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 24 April lalu, Prabowo Subianto menyatakan akan merangkul semua komponen bangsa. Prabowo sudah bertemu dengan pimpinan partai politik di luar Koalisi Indonesia Maju (KIM) seperti Ketua Umum Nasdem Surya Paloh dan Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar alias Cak Imin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Namun sejumlah pihak mengatakan kekuatan partai oposisi di pemerintahan mendatang tetap dibutuhkan agar ada yang mengontrol dan mengawasi pemerintah. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Peneliti BRIN Sebut Partai Oposisi Masih Dibutuhkan

Menurut peneliti politik senior Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Siti Zuhro mengatakan partai politik yang bertindak sebagai oposisi masih diperlukan dari perspektif demokrasi dan ketatanegaraan.

Menurutnya, partai politik yang memiliki kursi di DPR RI dan berada di luar pemerintahan bisa bertindak sebagai pengawas atas kebijakan-kebijakan atau aturan-aturan yang dibentuk oleh eksekutif.

"Kalau melenceng dari haluan negara maka siapa yang mengingatkan?" kata Zuhro saat dihubungi di Jakarta, Rabu, 8 Mei 2024.

Dia mengatakan istilah oposisi tak selalu dimaknai dengan kelompok yang tidak setuju dengan pihak yang berkuasa. Oposisi yang dimaksud bisa dimaknai sebagai pihak yang mengoreksi yang memiliki tugas sama mulianya.

Setelah masa Pemilu 2024 selesai, kata dia, idealnya pihak yang menang harus dihormati. Pihak yang kalah pun perlu berposisi mengimbangi di DPR berdasarkan visi dan misi berbeda dengan pihak pemenang.

"Dalam hal ini oposisi, karena DPR itu harus jadi dewannya rakyat yang merepresentasikan," kata dia.

Mengenai pernyataan mantan calon presiden Ganjar Pranowo yang menyatakan diri akan menjadi oposisi, menurutnya hal tersebut idealnya diikuti oleh para pihak yang kalah dalam Pemilu 2024.

Prabowo Diingatkan agar Tidak Kebablasan

Adapun pendiri Haidar Alwi Institute (HAI), R. Haidar Alwi, mengingatkan agar presiden terpilih Prabowo Subianto tidak kebablasan dengan merangkul semua pihak ke dalam koalisinya. Sebab, koalisi yang terlalu gemuk dapat berpotensi mengganggu keseimbangan demokrasi dan pemerintahan.

"Waktu yang tersisa sebelum pelantikan kurang lebih enam bulan, sehingga perlu diingatkan agar waktu tersebut dimanfaatkan sebaik-baiknya dalam membentuk koalisi dan postur koalisi yang tepat sesuai tujuan di atas," kata Haidar dalam keterangan tertulis pada Selasa, 7 Mei 2024.

Dia menilai politik merangkul yang diterapkan Prabowo membuat peluang pemerintahan tanpa oposisi semakin terbuka lebar. Apalagi, Partai Nasdem dan PKB telah mendeklarasikan diri menjadi bagian dari pemerintahan Prabowo, sementara Partai Persatuan Pembangunan (PPP) siap bergabung dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) disebut bersedia jika diajak.

Menurut Haidar, kekuasaan yang besar membutuhkan kontrol yang besar pula, sehingga perlu adanya penyeimbang kekuasaan atau ruang oposisi. 

Dia menuturkan oposisi yang baik akan memberikan manfaat untuk mengingatkan pemerintahan yang berkuasa agar tetap menjalankan pemerintahan sesuai dengan perundangan. “Dan mengutamakan menuntaskan janji politik yang telah dan akan diajukan selama masa pemerintahan," ujarnya.

Haidar menyebutkan satu-satunya harapan terbesar ruang oposisi kini berada di tangan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).

Mengenai rencana pembentukan presidential club yang akan melibatkan presiden terdahulu, termasuk Joko Widodo atau Jokowi, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dan Megawati Soekarnoputri, Haidar menyebutkan rencana itu adalah salah satu upaya Prabowo untuk menaklukkan PDIP.

"Kalau akhirnya PDIP takluk, berhasil dirangkul, dapat dipastikan pemerintahan Pak Prabowo tanpa oposisi. Ini tentunya alarm bahaya untuk demokrasi kita, bahkan lebih lanjut, juga berbahaya untuk pemerintahan Pak Prabowo sendiri. Hal ini dikarenakan tidak adanya kontrol terhadap kekuasaan," tuturnya.

Karena itu, dia berharap agar Prabowo tidak terjebak dalam politik merangkul yang berlebihan. Sebaliknya, Ketua Umum Partai Gerindra itu diharapkan tetap menyediakan ruang yang cukup untuk oposisi, sehingga oposisi tidak dilihat sebagai ancaman, tetapi vitamin yang akan memperkuat pemerintahan.

"Membangun bangsa tidak harus berada di dalam kekuasaan (koalisi), tetapi juga bisa dari luar kekuasaan (oposisi). Keduanya memiliki fungsi dan manfaat yang berbeda tetapi akan menimbulkan keseimbangan, sehingga keduanya harus tetap dijaga," ujarnya.

Ia juga menyarankan agar Prabowo mengutamakan pembagian penugasan kepada "para pejuang" terlebih dahulu, yaitu relawan dan tokoh yang telah membantu menghantar kemenangannya menjadi presiden, sesuai dengan kompetensi pada bidangnya masing-masing.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus