Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Kawin Lari Cara Buron

Dalam pelariannya, Noordin M. Top sempat menikahi Munfiatun. Dari perkawinan itulah Noordin mendapat KTP resmi dengan nama samaran.

7 November 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BEGITU bom mengguncang Bali pada awal Oktober silam untuk kedua kalinya, pengamanan di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Wanita Sukun, Malang, langsung ditingkatkan. Empat polisi bersiaga di sana sepanjang hari. Maklum, di salah satu sel LP wanita itu ikut ditahan Munfiatun, 28 tahun—istri Noordin M. Top, buron nomor wahid di negeri ini.

Sudah empat bulan Munfiatun mendekam di sana. Ia divonis tiga tahun oleh Pengadilan Negeri Bangil, Pasuruan, Jawa Timur, pada Juni lalu. Munfiatun terbukti memalsukan keterangan pada akta pernikahan dan menyembunyikan Noordin M. Top. Begitu masuk, perempuan bercadar itu langsung dijebloskan ke sel khusus. ”Karena kasusnya tergolong khusus,” kata Kepala LP, Purwani Suyatmi. Sejak itu pula pengamanan di LP kian ketat.

”Keberhasilan” Noordin menyunting gadis Jepara ini memang mencengangkan. Maklum, hampir semua polisi Indonesia dikerahkan memburu tersangka pelaku serangkaian bom di bumi Nusantara itu. Tapi masih sempat-sempatnya ia menyunting seorang gadis dalam pelariannya.

Sebelumnya, Munfiatun bekerja sebagai tenaga administrasi Taman Kanak-Kanak Islam Desa Troso, Jepara. Itu dilakukannya setelah lulus dari Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya pada 1996. Tetapi hidupnya berubah setelah Yati, temannya semasa kuliah, mengenalkannya dengan Noordin M. Top. Harojoum, 52 tahun, ibu Munfiatun, mengakui bahwa Yatilah yang menjodohkan keduanya.

Yati adalah istri Ahmad Hasan, terpidana mati kasus pengeboman di depan Kedutaan Besar Australia di Jakarta. Perkenalan itu sendiri memang terjadi di rumah Ahmad Hasan di Malang, Juni tahun lalu. Waktu itu Noordin mengaku bernama Abdur Rahman Aufi. Entah dengan jurus pendekatan macam apa, saat itu juga Noordin langsung meminang Munfiatun. ”Kamu harus siap menjadi istri mujahid,” kata Noordin.

Hanya perlu hitungan hari, pinangan itu pun berlanjut ke pernikahan. Mereka menikah di rumah yang disediakan Abu Fida, di Kapas Madya, Surabaya. Fida dituding polisi menyembunyikan Noordin, meski setelah melalui interogasi yang ”ganas”, ia dibebaskan. Pernikahan tersebut disaksikan Sunarto bin Kartodiharjo alias Abu Soim sebagai wali nikah dan Abu Fida sendiri sebagai pemberi khotbah nikah.

Sehari kemudian, Munfiatun diboyong Noordin ke sebuah penginapan di Tretes, Pasuruan. Perjalanan mereka berlanjut kembali ke rumah Ahmad Hasan di Malang, sebelum mengontrak rumah milik Noor Chandra di Desa Krampiyangan, Kecamatan Bugul Kidul, Pasuruan. Mereka kemudian menikah secara formal di KUA Kraton, Pasuruan.

Di sinilah problem hukum itu berawal. Sebab, saat menikah di KUA itu, Munfiatun mencatatkan nama suaminya sebagai Abdur Rahman Aufi, warga negara Indonesia, kelahiran tahun 1972, dan tinggal di Kelurahan Gading, Tambaksari, Surabaya. Keterangan ”aspal” inilah yang dipakai untuk mengurus syarat pencatatan, termasuk pembuatan KTP Noordin M. Top dengan nama Abdur Rahman Aufi.

Di Pasuruan, mereka hanya bertahan hingga Juli 2004. Setelah itu keduanya raib. Pengantin baru itu pun diketahui hidup terpisah. Tapi, menurut polisi, keduanya masih saling kontak lewat pesan pendek telepon seluler dan Internet. Untuk keperluan ini Munfiatun memakai alamat [email protected] dan Noordin memakai alamat [email protected]. Hubungan mereka baru terhenti setelah Munfiatun ditangkap pada September tahun lalu. Noordin sendiri lolos hingga kini.

Keluarga Munfiatun di Pecangaan Kulon, Jepara, tak menyangka jika nasib Munfiatun berakhir di penjara. Sejak kecil anak dari pasangan Toha Maulana dan Harojum ini dikenal pintar dan suka bergaul. ”Dia bisa membaur dengan tetangga,” kata Munawir, ketua RT di Desa Pecangaan Kulon. Munfiatun juga aktif mengaji.

Sikap Munfiatun dinilai berubah setelah diperistri Noordin M. Top. Dia tertutup dan, ”Sejak itu memaki cadar dan belum pernah kembali ke Jepara,” kata Harojum.

Sikap tertutup dibawanya terus ke penjara. Meskipun ikut salat tarawih berjemaah, dia jarang berbicara dengan sesama napi. Pernah, saat ditanya tentang keberadaan suaminya, dia hanya berucap singkat. ”Ada di bumi Allah.” Sayang, petugas penjara tak mengizinkan Tempo menemui Munfiatun. Statusnya sebagai tahanan khusus tak membuatnya mudah menerima tamu.

Zed Abidien, Bibin Bintariadi (Malang), Bandelan Amarudin (Kudus)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus