Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Musik dari Memori Sang Bocah

Semakin banyak anak memainkan komposisi musik klasik. Sekadar gengsi, bakat, atau keberuntungan.

7 November 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di atas panggung, di antara gambar Superman melayang, Batman terbang, dan sejumlah tokoh kartun, seorang bocah duduk di depan piano. Kini ia terbenam dalam Revolutionary Etude karya komponis Frederick Chopin (1810–1849). Tangan kirinya sibuk dengan nada-nada rendah, beraneka akor. Tangan kanannya hanya sesekali beraksi, tapi efeknya dramatis—beberapa nada dimainkan dengan tegas, layaknya pernyataan politik.

Si bocah, tubuhnya masih tubuh anak-anak. Begitu juga jemari dan imajinasinya. Ia seorang anak yang pikirannya dipenuhi tokoh-tokoh kartun. Tapi malam itu, di atas panggung Auditorium Pusat Kebudayaan Prancis, Bandung, dua pekan lalu, sang bocah, Kanisius Kevin Suherman, 10 tahun, lekas dewasa. Ia memainkan 50 repertoar, komposisi klasik, jazz, dan pop, tanpa partitur. Semuanya meluncur dari dalam memori, memori seorang anak.

Nama Kevin sekarang tercatat di Museum Record Indonesia sebagai pianis cilik termuda yang memainkan 50 nomor musik tanpa partitur. “Saya bisa 70 lagu, tapi yang saya mainkan dalam konser ini hanya 50 lagu,” kata Kevin.

Adakah ia seorang child prodigy, layaknya Mozart yang di usia empat tahun mampu memainkan harpsichord, setahun kemudian menulis komposisi seperti Violin Sonata dan beberapa Minuet?

Di Bandung ada Kanisius Kevin Suherman, di Jakarta ada Stephanie Onggowinoto, juga 10 tahun. Tahun depan, menurut rencana, Stephanie akan main bersama Adi Dharma Orchestra, Auditorium Universitas Atma Jaya, Jakarta. Ia di antara musikus dewasa, memeriahkan perayaan 250 tahun Mozart. Lihatlah, jemari tangan kanan gadis kecil itu. Mereka berjuang. Melompat-lompat, menjangkau tuts yang jaraknya agak berjauhan. Tiba-tiba tempo melambat dan musik jadi melodius. Karya Chopin lainnya, Concerto in E Minor mengalun. “Awalnya sulit, tapi lama-lama biasa,” katanya.

Stephanie mulai belajar musik sejak 1999. Pertengahan Juni tahun lalu, ia memainkan Concerto KV 488 bagian 1,2, 3 karya W.A. Mozart dan Richard Addinsell Warsawa Concerto di Esplanade Hall, Singapura. Kini ia sudah mahir memainkan 9 concerto, 16 sonata, etude, dan waltz. Semua ia hafal, di luar kepala.

Sudah dua tahun lebih Stephanie bergabung dengan Academy of Networked Thinking in Music (ANTIM), sebuah sekolah musik yang memiliki perhatian ekstra terhadap siswanya yang berbakat. Sekitar 100 siswanya anak-anak; mereka memiliki daya tangkap musikal yang tinggi. Untuk masuk kelas ini, siswa membayar uang pangkal Rp 1 juta dan uang bulanan Rp 400 ribu untuk grade 1.

Aron Andar Hutajulu, 10 tahun, siswa kelas VI SDN 01, Cibubur, punya cerita menarik. Sejak masuk ANTIM pada pertengahan 2002, Aron telah sembilan kali konser. Dua belas komposisi musik yang dikuasai, di antaranya Haydn Concerto D major bag. 1 dan 3, Chopin black key no. 5, Debussy, Beethoven Concerto op 15 C major, dan Weber Concerto F major.

Mengapa Aron bisa begitu cepat menghafal partitur? Selain mengikuti metode yang diajarkan ANTIM, Aron juga mempunyai imajinasi unik. Ketika belajar membaca partitur, Aron mengaku membayangkan harta karun di sebuah istana. Istana itu terletak di antara dua sungai besar, dan para pemburu itu berlomba-lomba menyeberang sungai untuk mendapatkan harta karun. “Not-not balok itu saya ibaratkan para pemburu,” tutur Aron berimajinasi.

Ya, ada bakat musik, ada kemampuan merekam yang selalu diperluas, frekuensi konser yang dibanggakan, dan kemampuan membayar ongkos belajar. Asep Hidayat, guru musik gesek cello di Yayasan Musik Internasional, Jakarta, mengingatkan satu hal. Menurut dia, di luar sosok eksepsional seperti Mozart, umumnya anak memiliki bakat bermain musik yang sama. Masalahnya, bakat satu persen saja, misalnya, bila didukung lingkungan dan pendidikan yang memadai, hasilnya akan bagus. “Kedua faktor itu sangat menentukan kemampuan anak,” tutur Asep.

L.N. Idayanie, Endang Purwati (Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus